TIMES MALANG, MALANG – Fenomena pesohor yang lagi viral, Gus Miftah Maulana, terus jadi perbincangan publik dan netizen. Meski, belakangan pengakuannya sebagai keturunan ke-9 Kyai Ageng Muhammad Besari Ponorogo, dibantah pihak keluarga yang punya garis nasab Kiai Ageng Besari.
Adalah Wirastho (45), yang mengklarifikasi pengakuan Gus Miftah, orang yang kini jadi cemoohan banyak pihak gegara ucapannya yang dianggap melecehkan penjual es teh, Sunhaji, saat acara pengajian belum lama ini. Klarifikasi ini disampaikannya dalam tele wawancara TV nasional, Selasa (17/12/2024) malam.
Tidak untuk membahas kontroversi Gus Miftah, namun tulisan ini ingin mengungkap sosok Wirastho. Tak banyak orang tahu, ternyata Wirastho yang selama ini lebih dikenal publik di Malang sebagai pecinta kopi dan punya kemampuan melukis dari cethe dari ampas kopi, merupakan salah satu keturunan ke-8 Kiai Ageng Muhammad Besari.
Wirastho memang kelahiran asli Ponorogo, dan sempat beberapa tahun bermukim di Kabupaten Malang. Tepatnya, di Dusun Mangir, Desa Mangunrejo, Kepanjen. Semasa kuliah di Universitas Negeri Malang (dulu IKIP Malang), ia karib disapa Sawir.
Saat kuliah di UM, Sawir juga satu komunitas dengan penulis di salah satu UKM seni rupa, Sanggar Minat. Sawir, yang mengambil jurusan Pendidikan Seni Rupa UM, dulu juga dikenal piawai bermain teater.
Sedikit mengulik cerita soal Wirastho, sosoknya sehari-hari lebih tampak bersahaja, tidak menampilkan diri seperti halnya seorang Gus atau kiai, meski ia sejatinya masih keturunan seorang kiai ternama pendiri Pesantren Gebang Tinatar di Ponorogo, Kyai Muhamad Ageng Besari.
Selama tinggal di Malang, Wirastho menjadi pemilik beberapa kedai kopi, namanya Kedai Cangkir Laras. Sesekali, ia bahkan menjadi penjual kopi keliling, juga memasok bubuk kopi untuk beberapa kafe atau kedai yang membutuhkannya.
"Saya pernah beberapa tahun menjual kopi dengan vespa keliling, berpindah-pindah tempat di Kota Malang. Seperti di Jalan Soekarno Hatta, atau Jalan Ijen, sebelum akhirnya mengelola sejumlah kedai kopi sendiri," cerita Wirastho, kepada TIMES Indonesia, Rabu (18/12/2024) malam.
Kegemaran sekaligus keahlianmya melukis dari ampas kopi, kata Sawir, dilakoni sejak 1999 silam. Tetapi, menurutnya di tahun-tahun pertama, masih menggunakan kombinasi cat untuk lukisan cethe-nya.
Melukis dari ampas kopi, masih kerap dilakukan Sawir di sela-sela kesibukan atau saat waktu luangnya. Dengan keahlian melukisnya yang begitu khas dan unik ini, ia pun sering diminta untuk mengisi berbagai acara. Terakhir di event nasional pada acara BUNEX 2023 di Jakarta. Lukisannya bahkan pernah sampai di Jerman juga Dubai Uni Emirat Arab, untuk dipamerkan.
Wirastho juga boleh dibilang seorang kritikus masalah sosial. Tema dari semua lukisan ampas kopi yang dibuatnya mengandung kritik dan keprihatinannya atas masalah yang terjadi.
Tak hanya itu, ia juga punya cara mengungkapkan kritik sosialnya, yakni melalui ungkapan ataupun puisi satir yang dibuatnya. Ia juga pernah memprakarsai para kartunis se Indonesia, menyuarakan tentang penyakit korupsi.
Kartun-kartun kritis ini sempat dipamerkan di Balai Kota Malang pada tahun 2018 pasca tragedi 41 anggota dewan kota malang terjerat kasus korupsi, juga di tahun 2019.
Lebih daripada itu, seperti mengikuti jejak leluhurnya, Wirastho punya sejumlah anak binaan, yang selalu diperhatikan pendidikannya juga didampingi masalahnya. Awalnya, anak-anak binaan ini dilayani di kediamannya di Dusun Pesantren Desa Mangunrejo, Kepanjen, Kabupaten Malang. Dilanjutkan, berpindah ke Dusun Mangir, di Desa yang sama.
"Ada sekitar 58 anak yang kami binaan, kita bantu akses pendidikan mereka. Juga kita dampingi masalah yang dihadapi. Pernah ada yang mengalami kekerasan seksual, juga ada yang pekerja seks anak. Tempat berkumpul mereka ini, sekaligus untuk trauma healing," ungkap Wirastho.
Setelah hampir setahun lalu berpindah ke tanah kelahirannya, di Desa Tegalsari, Kecamatan Jetis, Kabupaten Ponorogo, ia meninggalkan semua yang sudah dibangunnya dengan susah payah dan kerja keras, untuk dikelola orang yang dipercaya di Kepanjen juga Kota Malang.
"Saya tinggalkan, untuk dikelola teman untuk tetap dimanfaatkan, melanjutkan apa yang sudah kami lakukan bertahun-tahun. Seperti beberapa kedai, tetap dikelola, dan hasilnya tetap untuk anak-anak yang perlu bantuan dan pendampingan," kata Wirastho.
Baginya, melalui filosofi kopi atau bidang apapun, tetap harus bisa dimaknai dalam kehidupan ini. Ia berprinsip, apapun bisa dipelajari sebagai sebuah dinamika, proses perjalanan, untuk tidak pasrah begitu saja dalam kehidupan ini.
Kini, Wirastho lebih memilih tetap menjadi anak petani di desa kelahirannya. Ia rajin berkebun, sekaligus merawat apa yang sudah diwariskan leluhur.
Ia tidak berpangku tangan, dan mencoba meneruskan dan melestarikan program konservasi kertas dluwang asli Desa Tegalsari, Jetis Ponorogo.
"Kertas dluwang ini juga salah satu peninggalan Eyang Ageng Muhammad Besari, di Pesantren Gebang Tinatar," demikian Wirastho. (*)
Pewarta | : Khoirul Amin |
Editor | : Imadudin Muhammad |