TIMES MALANG, MALANG – Siapa yang tak kenal Gang Kauman yang berada tepat di dekat Alun-Alun Merdeka Malang? Yap! Gang tersebut merupakan wilayah atau kampung yang menjadi saksi bisu lahirnya toleransi antar umat beragama di Indonesia.
Berada tepat di sudut gang, ada wanita paruh baya bernama Farini (52) yang terlihat sedang menunggu pembeli datang.
Farini yang merupakan penjual nasi generasi ketiga di sudut gang Kauman tersebut menjadi saksi bisu bagaimana gang yang ia tempati selama berpuluh puluh tahun lamanya menjadi kampung toleransi yang banyak menginspirasi.
Warungnya berdiri di tengah dua tempat ibadah tertua di Kota Malang. Sisi kanan ada gereja GPIB Immanuel dan di sisi kiri ada Masjid Gaung Jami' Kota Malang.
Ia menyebutkan, nama Kauman sendiri ternyata memiliki arti atau akronim, yakni Kaum Beriman. Kampung itu tepat berada di tengah-tengah kedua tempat ibadah, yakni gereja dan masjid.
"Saya generasi ketiga, pertama kakek saya yang jualan sejak 1965. Saya tahu persis bagaimana disini (Gang Kauman)," ujar Farini, Selasa (18/4/2023).
Ia menceritakan, toleransi di Kauman merupakan hal lumrah. Sejak kecil, ia melihat kerukunan umat beragama berjalan dengan baik selama puluhan tahun. Apalagi, pelanggan dari warungnya adalah takdir masjid, Marbot, jemaah Masjid Agung Jami' hingga jemaat atau pe gurus gereja Immanuel.
"Mereka sering makan bareng terus ya saling ngobrol gitu. Ada dari pengurus gereja dan takmir masjid kalau ketemu ya ngobrol santai, rukun," ungkapnya.
Sementara, pemerhati budaya dan sejarah Malang, Agung Buana mengatakan, dari catatan sejarah, Masjid Agung Jami' berdiri sejak abad ke-19 atau sekitar tahun 1890an. Sedangkan Gereja GPIB Immanuel diketahui berdiri terlebih dahulu sekitar tahun 1860an.
"Artinya duluan Gereja (berdiri) daripada masjid. Masyarakat disana berarti sudah terbiasa dengan toleransi," kata Agung.
Ia menjelaskan, sebenarnya di era kolonial Belanda dulu, Gang Kauman tak terlepas dari sistem pembagian yang dijalankan dulu.
Ada pembagian penduduk berdasarkan keturunan ataupun asalnya. Mulai dari keturunan Tiong Hoa atau etnis China hingga Timur Tengah.
"Dari timur tengah kan kebanyakan Islam, mereka tak jauh dari tempat ibadahnya (Masjid Jami'). Nah etnis lain kan juga berada disitu, karena tak jauh dari tempat ibadahnya (Gereja GPIB Immanuel)," jelasnya.
Ia mengakui bahwa ada sejarah panjang dalam hal toleransi di Gang Kauman tersebut. Hal itu mulai menyebar dan terkenal ketika ada di era kepemimpinan Presiden RI ke-4, yakni Abdurrahman Wahid atau biasa dikenal dengan Gus Dur.
"Penyebutan toleransi untuk kawasan tersebut tenar sejak era Gus Dur. Di era itu banyak membuka mata, bukan hanya kerukunan, tapi juga kulturalnya," tuturnya.
Contoh sederhana realita toleransi di kawasan Gang Kauman, kata Agung, seperti saat kegiatan ibadah besar, seperti halnya Salat Idul Fitri atau Idul Adha.
Dimana, jika Salat Ied terselenggara tepat di hari Sabtu atau Minggu, dimana saat itu juga waktu perayaan misa atau ibadah bagi Nasrani, mereka saling berdampingan bahkan bergantian.
"Biasanya kalau salat Ied kan sampai meluber ke jalan. Nah itu biasanya bertempat di halaman depan gereja juga. Jika terselenggara Sabtu atau Minggu, otomatis pengurus gereja akan mempersilahkan umat muslim untuk menjalankan ibadah salat dan untuk ibadah umat Nasrani biasanya waktunya diundur saat siang hari. Jadi bergantian," jelasnya.
Terpisah, pengawas Yayasan Masjid Agung Jami', Haji Abdul Aziz mengungkapkan, modal dasar kerukukan beragama adalah saling pengertian.
Junjungan umat muslim, Nabi Muhammad SAW telah menunjukan toleransi sejak lama. Sebagai pengikutnya, wajib meneruskan sikap-sikap mulia dari sang Rasul.
"Sebenarnya sudah dicontohkan oleh Nabi Muhammad kita umatnya hanya mengikuti. Salah satu contoh pada suatu ketika Rasulullah duduk sama sahabat. Tidak lama kemudian datang orang mengusung jenazah dan nabi berdiri memberi penghormatan. Sahabat tanya, kenapa nabi berdiri padahal dia orang yahudi, dijawab iya saya tahu dan dia manusia," tutur Abdul Aziz.
Ikatan toleransi yang besar antara kedua tempat beribadatan tersebut memang sudah nyata adanya sejak lama.
Seperti yang diutarakan oleh Agung Buana, Abdul Aziz juga membenarkan bahwa sebagai contoh saat ibadah salat Ied digelar oleh Masjid Jami'. Apabila hari lebaran itu tiba pada Minggu dan bertepatan dengan jadwal kebaktian di gereja, kedua belah pihak saling berkomunikasi meminta pengertian masing-masing.
Pihak masjid meminta gereja untuk memundurkan jadwal kebaktian. Sebab, sebagai masjid terbesar di Kota Malang jemaah yang hadir saat salat Idul Fitri maupun Idul Adha cukup banyak. Sebagian yang tidak tertampung di masjid bahkan salat di depan gereja. Meski begitu mereka tetap khusyuk. Jemaat gereja pun menghormati itu dan tidak merasa keberatan.
"Toleransi dengan gereja sebelah (Immanuel) sebetulnya pada dasarnya saling pengertian. Tetapi di Alquran sudah dijelaskan Lakum Dinukum Waliyadin beda agama tetapi kemanusiaan ini kan tetap berjalan dengan baik. Modal dasarnya adalah pengertian," katanya.
Abdul Aziz menuturkan, tidak hanya saat salat Id. Saat ada gelaran pengajian, takmir masjid juga memberikan informasi sebelum pelaksanaan. Tujuannya agar tidak menganggu jemaat di gereja saat ibadah berlangsung bersamaan. Hal itu juga berlaku bagi takmir masjid. Jika gereja membutuhkan tempat untuk parkir jemaat, halaman depan masjid bisa digunakan untuk parkir.
"Kami juga perhatikan ada pengajian umum kita mengundang mereka untuk memberikan informasi. Sama dengan ibadah hari raya kita kasih informasi bahwa kita beribadah mohon untuk diundurkan jam ibadah. Begitu juga saat mereka ada kebaktian butuh tempat kita ya silakan menggunakan halaman depan masjid untuk parkir atau yang lain," ujar Abdul Aziz.
Kegiatan yang rutin dilakukan antara kedua pengurus dua tempat ibadah di Kota Malang ini adalah kerja bakti. Saat GPIB Immanuel merayakan hari ulang tahun berdirinya gereja, biasanya takmir masjid diajak untuk kerja bakti di sekitar kampung Kauman yang berada di daerah Alun-alun Merdeka, Kota Malang ini.
"Kegiatan bersama ada ulang tahun gereja minta bantuan karyawan (marbot) kami untuk ikut kerja bakti. Mereka kirim surat untuk mengecat jalan kami bantu tenaga dan mereka menyediakan bahan bangunan (cat, kuas dan lainnya)," tandasnya. (*)
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Gang Kauman Malang, Saksi Bisu Lahirnya Kampung Toleransi
Pewarta | : Rizky Kurniawan Pratama |
Editor | : Ferry Agusta Satrio |