TIMES MALANG, YOGYAKARTA – Menjalani sebuah kisah kehidupan yang inspiratif memang sudah menjadi kodrat masing-masing manusia. Tak lepas akan hal itu, setiap orang tentu dibekali ilmu pengetahuan dan keterampilan dalam menggapai impian dan cita-cita. Hal ini pun juga dirasakan oleh Trimah, seorang ibu penyandang difabel pengrajin batik. Dengan keterbatasannya, penyandang difabel tuba daksa ini memiliki keterampilan membatik dengan menggunakan kedua kakinya.
Perempuan yang memiliki anak satu tersebut sudah sejak dilahirkan tak memiliki kedua tangan. Bahkan ia beraktivitas sehari-hari serta merawat anaknya yang masih balita dengan menggunakan kedua kakinya hingga mampu mendedikasikan dirinya sebagai pengrajin Batik Samparan yang menjadi ciri khasnya sampai sekarang. Berikut, TIMES Indonesia mengulik kisah inspiratif hidupnya.
Penyandang difabel tuna daksa pengrajin Batik Samparan, Trimah saat menunjukkan hasil batik karyanya. (FOTO: Hendro S.B/TIMES Indonesia)
Ditemui TIMES Indonesia di rumahnya Jalan Gabus 8, Madangan, Minomartani, Sleman Yogyakarta pada Senin (17/10/2022), Trimah menceritakan, bahwa dirinya tidak memiliki kedua tangan sejak lahir. Hingga mencapai kesuksesannya sekarang ini, katanya, tak lepas dari peran orang tua terutama ibunya.
"Peran ibu saya sangat besar untuk membantu menemukan dan membentuk mental yang kuat dalam menjalani kehidupan sampai saya sudah memiliki anak dan usaha sendiri ini," ujar Trimah.
Mengenai keterampilannya sebagai pengrajin batik, Trimah mengaku telah memiliki bakat membatik pada saat dirinya masih bersekolah. Pada tahun 2010 silam, Trimah pun tergerak hatinya untuk mulai belajar membatik meski tanpa menggunakan kedua tangannya.
"Pada saat-saat awal ikut membatik itu kan kebanyakan menggunakan tangan dan saya pun penasaran kalau pakai kaki untuk membatik itu gimana?" katanya.
Di tengah perjuangan hidupnya pada masa lalu, pihaknya sempat mengalami frustasi pasca lulus SMA mengingat dengan keterbatasan fisik dan ekonomi yang menjeratnya saat itu. Bahkan, ia menilai belum ada sampai saat ini perusahaan-perusahaan besar yang mau menampung penyandang difabel tuna daksa.
"Sampai detik ini masih sulit bagi kami yang menyandang status tuna daksa untuk bekerja di perusahaan. Jadi jalan satu-satunya ya dengan meningkatkan keterampilan mandiri seperti membatik ini mas. Lagian orang tua saya juga menyarankan untuk itu," paparnya.
Namun, di samping persoalan keluh kesahnya itu, ia tetap berjuang serta membantu roda perekonomian rumah tangganya bersama suami dan anaknya. Perjuangannya itu dia salurkan dengan sebuah prestasi dalam menciptakan karyanya bernama Batik Samparan. Menariknya di sini, Trimah menjadi salah satu pencetus atau trendsetter Batik Samparan yang ada di kota Yogyakarta.
"Filosofinya gini mas, arti kata "Samparan" itu kan bahasa Jawanya disampar atau disingkirkan pakai kaki, nah itu menggambarkan seorang difabel yang notabene faktanya seorang difabel masih dipandang sebelah mata oleh sebagian besar masyarakat umum. Jadi, Samparan itu bahasa krama halusnya Jawa," tegas Trimah.
"Batik Samparan ini merupakan sebuah persembahan buat saya yang terbaik, om saya pun juga menganggap hal itu sangat benar. Boleh dikatakan ya saya menjadi satu-satunya pencetus Samparan di kota Yogyakarta," lanjutnya.
Selain itu, disinggung soal pola membatik, ia mengungkapkan polanya lebih kepada kontemporer atau bahkan tak beraturan. Hal ini pun yang membedakan pengrajin batik lainnya dengan Trimah.
"Kalau pola yang saya buat acak dan ga beraturan ya mas, jadi semacam abstrak gitu. Kadang-kadang motif kontemporer juga sering saya buat tergantung kebutuhan dan moodnya saya mas," tuturnya.
Soal prestasi keterampilannya tersebut pun juga mendapatkan apresiasi dari beberapa pejabat daerah di antaranya Wali Kota Magelang dan Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo. Mereka memberikan dukungan moral dan mengapresiasi Trimah sebagai penyandang difabel pengrajin Batik Samparan tuna daksa.
"Waktu itu saya sempat bertemu dengan pak Ganjar di event tertentu pada tahun 2015 dan beliau menyampaikan rasa senang sekaligus bangga kepada saya karena mau berusaha dan semangat hidup untuk membatik dengan kedua kaki," imbuhnya.
Tujuan utama dari adanya Batik Samparan ini, lanjut Trimah, yaitu ingin memiliki sebuah nama besar di Yogyakarta seperti Batik Danar Hadi dan lainnya. Bukan hanya soal penyandang difabelnya melainkan ada sebuah karya yang dihasilkan dari motif Samparan ini.
"Bukan karena saya seorang difabel tuna daksa saja tapi saya ingin Batik Samparan ini bisa terkenal dan lebih banyak masyarakat tahu hasil karya membatik dari saya yang menggunakan kedua kaki," harapnya.
Karena itu, Trimah berpesan kepada semua pihak yang masih memiliki fasilitas yang memadai baik dari orang tua ataupun keluarga agar bisa dimanfaatkan dengan baik. Ia menilai bahwa para orang tua difabel itu cukup kesulitan dalam memberikan fasilitas ataupun ruang perlindungan dalam menjalani roda kehidupan.
"Harapan saya jangan disia-siakan itu semua. Mohon kesetaraan terhadap kaum difabel harus dijaga dengan baik karena di balik itu semua ada hikmah yang mendalam dan Allah selalu memberikan yang terbaik untuk hamba-hamba-Nya," tutup Trimah.
Sekilas tentang Batik Samparan
Batik Samparan merupakan sebuah dedikasi dalam keterampilan membatik yang dilakukan oleh seorang ibu penyandang difabel tuna daksa bernama Trimah. Arti dari "Samparan" adalah sebuah filosofis berupa sarkasme yang yang diambil dari bahasa Jawa krama halus yang berarti disisihkan. Samparan ini menjadi satu-satunya ciri khas yang diciptakan oleh Trimah sebagai pengrajin batik dengan menyandang status difabel tuna daksa di kota Yogyakarta.
Awal mula Batik Samparan dicetuskan sekitar tahun 2010 oleh perempuan kelahiran kota Magelang, 15 April 1990 ini. Trimah menjadi salah satu pembatik yang membuat batik dengan kaki. Canting yang biasa digunakan untuk membuat batik ia jepitkan di antara jari kakinya. Lalu, kakinya mengayun membuat pola-pola abstrak pada sebuah kain.
Batik Samparan memilih kata Samparan dengan akar kata Sampar, Kesampar, Disampar yang dalam bahasa Jawa bermakna ditendang atau disisihkan menggunakan kaki. Di mana sebuah karya dari seniman difabel dianggap sepele atau disisihkan karena keterbatasan sehingga sering dianggap tidak berkualitas dan hanya mengedepankan belas kasihan melainkan bukan sebuah karya yang sejajar secara ide dan kualitas dengan seniman yang lain.
Samparan dalam bahasa Indonesia dapat diartikan kaki/telapak kaki yang diambil dari khasanah bahasa Jawa di mana samparan merupakan bahasa yang paling santun atau sering disebut Krama Inggil untuk menyebut telapak kaki. Batik Samparan dibuat dengan menggunakan kaki, hal itu bukan berarti karya seni ini merupakan karya seni yang remeh tetapi Batik Samparan merupakan persembahan sebuah karya seni yang otentik dan unik baik dari pemilihan warna, design serta proses pembuatan karya. (*)
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Kisah Perjuangan Hidup Difabel Pengrajin Batik Samparan
Pewarta | : Hendro Setyanto Baskoro |
Editor | : Deasy Mayasari |