TIMES MALANG, JAKARTA – Sejarah hari ini menyajikan kisah kelahiran Harian Kompas, yang pada 28 Juni hari ini merayakan ulang tahunnya yang ke-56. Kelahiran koran bertagline Amanat Hati Nurani Rakyat ini juga istimewa karena ada "campur tangan" Presiden RI Soekarno dalam penamaannya.
Selama 65 tahun hadir di Indonesia, Kompas mampu mewarnai dunia pers Indonesia melalui jurnalisme bermartabat dan jurnalisme pengetahuan yang diusungnya.
Sejarah hari ini juga mengulas peristiwa pembantaian di Kalimantan Barat yang dilakukan oleh tentara Jepang. Peristiwa berdarah pada 28 Juni 1944 ini dikenal dengan nama Peristiwa Mandor.
1965: Lahirnya Harian Kompas
Tepat hari ini, Harian Kompas berusia 56 tahun setelah terbit pertama kali pada tahun 1965 silam.
Dikutip dari Kompas.id, pada April 1965, Menteri atau Panglima Angkatan Darat Letjen Achmad Yani mengusulkan kepada Drs Frans Seda, Ketua Partai Katolik, agar partainya memiliki sebuah media.
Frans Seda kemudian menghubungi dua rekan yang berpengalaman menangani media massa, yakni Petrus Kanisius (PK) Ojong dan Jakob Oetama, yang dua tahun sebelumnya mendirikan majalah "Intisari".
Jakob Oetama sebelumnya menjabat sebagai redaktur mingguan "Penabur" dan PK Ojong pemimpin redaksi mingguan "Star Weekly". Kemudian, dibentuklah sebuah yayasan untuk menerbitkan koran tersebut, dan yayasan itu dinamai Bentara Rakyat, korannya juga akan bernama sama.
Seda bercerita, nama Bentara dipilih untuk memenuhi selera orang Flores karena majalah Bentara sangat populer di sana. Nama Rakyat dipilih untuk mengimbangi Harian Rakyat yang komunis, untuk menunjukkan bahwa rakyat bukan monopoli PKI.
Seda kemudian menghadap Bung Karno untuk melaporkan bahwa semua sudah siap.
"Apa nama harianmu itu?," tanya Bung Karno. "Bentara Rakyat, Bung!," jawab Seda.
Bung Karno hanya tersenyum sembari memandang wajah Seda dan kembali bertanya padanya.
"Aku akan memberi nama yang lebih bagus...Kompas! Tahu toh apa itu Kompas? Pemberi arah dan jalan dalam mengarungi lautan atau hutan rimba!," sahut Bung Karno.
Seda pun menjawab, "Baik, Bung. Akan saya bicarakan dulu dengan Redaksi dan Yayasan," jawab Seda.
Akhirnya, redaksi dan yayasan menyetujui usulan Bung Karno tersebut dan nama Bentara Rakyat yang sudah disiapkan, diubah dengan nama Kompas.
Harian Kompas terbit perdana 28 Juni 1965, Kompas edisi perdana dengan 20 halaman berita di halaman I, terbit empat halaman. Terbit sebanyak 4.828 eksemplar dengan harga langganan Rp 500 per bulan.
1944: Peristiwa Mandor
Relief yang menceritakan peristiwa Mandor di Kalimantan Barat yang ada di Momumen Makam Juang Mandor, sebuah kompleks makam korban pembantaian yang dilakukan oleh tentara Jepang pada tahun 1944. (FOTO ANTARA/Jessica Wuysang)
Peristiwa Mandor adalah peristiwa berdarah dengan korban ribuan jiwa ini terjadi pada 28 Juni 1944 di Kalimantan Barat pada masa pendudukan Jepang. Ketika itu, ribuan rakyat tidak berdosa dibantai secara keji oleh tentara Dai Nippon. Pembantaian ini menyisir seluruh lapisan masyarakat mulai dari keluarga kesultanan, kaum cerdik pandai, hingga rakyat biasa.
Dikutip dari jurnal.Unsil.ac.id, tentara Jepang mulai memasuki Pontianak pada 2 Februari 1942 dan disambut dengan baik. Jepang melakukan mobilisasi terhadap rakyat untuk kepentingan perang mereka, seperti pengerahan pemuda, pengenalan budaya Jepang dan kewajiban kerja bakti.
Akan tetapi semakin lama rakyat merasa antipati karena sikap kejam tentara Jepang, serta kondisi hidup yang semakin sulit pada waktu itu.
Peristiwa Mandor pecah karena kecurigaan dan kekhawatiran Jepang akan adanya aksi perlawanan rakyat. Kabar ini hanyalah isu dan seakan dibuat-dibuat.
Jepang kemudian melakukan pembersihan sebagai upaya pencegahan mulai dari Oktober 1943 hingga 28 Juni 1944. Jumlah korban secara resmi menurut pemerintah Kalimantan Barat ialah 21.037 jiwa.
Dampak Peristiwa Mandor antara lain hilangnya generasi cerdik pandai, terpelajar, hingga tokoh politik yang dapat menjadi modal untuk membangun Kalimantan Barat. Selain itu dua belas pemimpin swapraja/kesultanan juga gugur dan menyebabkan keguncangan pemerintahannya. Kekejaman Jepang terhadap rakyat juga memantik perlawanan etno-gerilya Suku Dayak di seluruh penjuru Kalimantan Barat.
Provinsi Kalimantan Barat melalui rapat paripurna DPRD Kalimantan Barat membuat Peraturan Daerah (Perda) Nomor 5 Tahun 2007 tentang Peristiwa Mandor pada 28 Juni Sebagai Hari Berkabung Daerah. Ini merupakan bentuk kepedulian sekaligus apresiasi dari DPRD terhadap perjuangan pergerakan nasional yang terjadi di Mandor. (*)
Pewarta | : Ratu Bunga Ambar Pratiwi (MG-345) |
Editor | : Wahyu Nurdiyanto |