TIMES MALANG, MALANG – Di sebuah gang sempit nan penuh rumah kolonial berarsitektur Indische, aroma masakan pedas menyeruak dari sebuah warung kecil bernama Gubuk Lombok. Seisi warung itu dipenuhi furnitur dan barang-barang jadul. Di dindingnya tergantung piring enamel, lampu minyak, jam tua, hingga radio yang masih memutar lagu-lagu lama. Kemajuan zaman seolah berhenti di sini. Kecuali satu hal: di sudut meja kasir, barcode QRIS berdiri tegak di antara toples kerupuk.
Warung itu milik Sri Arniati, warga asli Kampoeng Heritage Kajoetangan, Kota Malang, Jawa Timur. Sejak 2018, ia membuka usaha kuliner di kawasan ini, bersamaan dengan diresmikannya Kajoetangan sebagai destinasi wisata tematik oleh Pemerintah Kota Malang.
Meski pengunjung di sana cukup padat, sepanjang enam tahun usahanya berjalan, atau hingga awal 2024, perempuan yang akrab disapa Bu Atik itu sama sekali tak pernah melakukan transaksi digital menggunakan uang elektronik di warungnya. Bukan karena infrastruktur yang tidak memadai, bukan pula karena tak ada permintaan dari pelanggan. Tapi karena satu hal: takut tertipu.
“Kami takut kalau pakai pembayaran digital, takut ketipu,” katanya.
Hal itu kiranya yang dirasakan oleh kebanyakan pelaku UMKM di sana kala itu. Mereka masih berpegang pada satu perilaku transaksi: bayar tunai. Padahal tentu bukan itu nilai heritage yang seharusnya dipertahankan.
Namun, sejak awal tahun 2024, perilaku transaksi masyarakat Kampoeng Heritage Kajoetangan mulai banyak berubah. Mayoritas masyarakat sudah tidak takut lagi bertransaksi secara cashless, menandakan tingkat literasi keuangan warga di sana meningkat—termasuk di warung Bu Atik.
Lebih dari 50 persen transaksi di Gubuk Lombok kini dilakukan secara non-tunai, bahkan mencapai 80 persen saat akhir pekan. Di kawasan yang sarat bangunan tua itu, kini suara notifikasi transaksi elektronik menjadi harmoni baru yang biasa didengar. Bukti bahwa masa lalu dan masa depan bisa berjalan beriringan.
Inklusi Keuangan di Kawasan Heritage

Perubahan itu bukan kebetulan. Dua tahun terakhir, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Malang bersama Tim Percepatan Akses Keuangan Daerah (TPAKD) Kota Malang menginisiasi program Kawasan Inklusi Keuangan (KIK) di Kampoeng Heritage Kajoetangan. Program yang resmi diaktivasi pada 4 Desember 2024 ini bertujuan menjadikan kawasan wisata tematik tersebut sebagai ekosistem keuangan yang inklusif.
Warga dan pelaku UMKM diharapkan memiliki akses ke layanan keuangan formal, memahami literasi finansial, sekaligus mempertahankan identitas sejarahnya.
“Kajoetangan kami lihat punya potensi unik,” ujar Farid Faletehan, Kepala OJK Malang.
“Selain daya tarik wisata, kawasan ini punya komunitas yang kuat dan karakter lokal yang kental. Itu fondasi penting bagi inklusi keuangan yang berkelanjutan,” lanjutnya.
Dalam pandangan OJK, inklusi keuangan bukan semata soal membuka rekening atau memakai QRIS, tetapi soal mengubah perilaku keuangan masyarakat. Di kawasan heritage yang dulunya bergantung pada uang tunai dan kepercayaan personal, OJK memperkenalkan edukasi berlapis: mulai dari bahaya pinjaman daring ilegal, investasi bodong, hingga cara mengatur keuangan keluarga.
Edukasi itu tak berhenti di ruang kelas. OJK menggandeng lembaga jasa keuangan dan kelompok sadar wisata untuk mendirikan Rumah Edukasi Keuangan, Pojok Digital UMKM, hingga Posko Literasi Keuangan Komunitas di jantung kampung. Dari sinilah warga mulai mengenal manfaat produk keuangan formal—rekening tabungan, akses pembiayaan, hingga asuransi mikro.
Sinergi dan pembagian peran para pemangku kepentingan di sana juga terbilang unik. Setiap bank diberi wilayah masing-masing di setiap gang. Misalnya, BNI 46 di gerbang Jalan Basuki Rahmat Gang 6, Bank BRI di Gang 4, Bank Jatim di Gang 2, dan lainnya. Dengan demikian, inklusi keuangan tersebar merata.
“Yang menarik, perubahan itu muncul dari bawah. Masyarakat sendiri yang mulai mendorong digitalisasi transaksi karena melihat manfaatnya,” ujarnya.
Data OJK menunjukkan, pertumbuhan transaksi non-tunai di Kajoetangan meningkat tajam sepanjang 2024. Dari 21.830 transaksi senilai Rp2,6 miliar pada triwulan pertama, melonjak hampir delapan kali lipat menjadi 169.526 transaksi dengan nilai Rp19,3 miliar di akhir tahun.
Peningkatan itu sejalan dengan naiknya jumlah pengunjung kawasan hingga 193 ribu orang pada 2024, melonjak 93 persen dibanding tahun sebelumnya. Perputaran ekonomi ikut menggeliat, diiringi penurunan tingkat kemiskinan Kota Malang menjadi 3,91 persen dan turunnya pengangguran terbuka sebesar 0,7 persen.
Harmoni Baru di Kajoetangan
Kajoetangan kini menjadi ruang hidup yang mempertemukan masa lalu dan masa depan. Setiap gang masih mempertahankan langgam kolonialnya, tetapi di dalam rumah-rumah tua itu sudah berdiri usaha kopi, galeri batik, hingga toko cenderamata yang menerima pembayaran cashless.
Farid menyebut, prinsip utama pembangunan KIK adalah tidak menghapus identitas kawasan. Setiap perubahan fisik dikonsultasikan dengan Pokdarwis (Kelompok Sadar Wisata) dan warga.
“Kami ingin teknologi hadir tanpa merusak ruh heritage. Digitalisasi hanya alat bantu untuk mempermudah akses keuangan, bukan mengganti jati diri,” tuturnya.
Pendekatan ini terbukti efektif. Dalam dua tahun terakhir, kawasan yang dulu terancam kumuh kini menjadi model pemberdayaan ekonomi berbasis budaya. Data Pemkot Malang mencatat, luas kawasan kumuh menurun dari 169 hektare pada 2022 menjadi 122 hektare pada 2024. Nilai investasi lokal pun meningkat hampir tiga kali lipat.
OJK memandang integrasi antara budaya dan ekonomi sebagai satu kesatuan. Literasi keuangan yang berakar pada kearifan lokal dianggap lebih mudah diterima. Nilai gotong royong, kejujuran, dan rasa saling percaya yang menjadi ciri masyarakat Kajoetangan kini menjadi fondasi perilaku ekonomi baru yang lebih sehat.
“Budaya memperkuat integritas dan kepercayaan, sementara inklusi keuangan membuka akses ekonomi. Keduanya saling menopang untuk membangun kesejahteraan yang berkarakter,” jelas Farid.
Dengan prinsip itu, Kampoeng Heritage Kajoetangan tidak hanya menjadi etalase wisata, tetapi juga laboratorium ekonomi rakyat. Tempat warga belajar mengelola uang, menabung, dan mengakses pembiayaan untuk memperluas usaha.
Dari Kejayaan, Suram, hingga Bangkit Lagi

Sekretaris Daerah Kota Malang, Erik Setyo Santoso, menyebut pembangunan Kampoeng Heritage Kajoetangan—baik dari sisi infrastruktur maupun SDM—sebagai hal yang patut dibanggakan.
“Kajoetangan itu contoh nyata bagaimana pembangunan mestinya berjalan,” katanya.
Erik ingat betul, sebelum kawasan Kampoeng Heritage Kajoetangan ditetapkan sebagai kawasan wisata tematik, koridor Kajoetangan hanya dihuni toko-toko tutup dengan papan bertuliskan “Dijual”.
Dalam sejarahnya, koridor Kajoetangan pernah menjadi pusat perdagangan terkemuka di masa kolonial Belanda. Kemasyhuran kawasan itu pada periode 1930–1942 disebut memiliki nuansa yang sama dengan koridor pertokoan di kota-kota Eropa. Masa kejayaan itu berakhir ketika tentara Jepang menduduki Kota Malang pada Maret 1942. Kawasan Kajoetangan ditinggalkan pemiliknya karena mereka ditahan di kamp interniran.
Sekitar awal 1950-an, banyak pedagang Tionghoa mengambil alih pertokoan di kawasan tersebut, membuat daerah itu kembali ramai. Namun, kemunculan berbagai pusat perbelanjaan modern seperti mal dan plaza pada akhir 1980-an membuat Kajoetangan kehilangan daya tariknya. Satu per satu pertokoan mulai tutup, banyak yang dijual.
“Dulu lewat Kajoetangan malam hari itu sepi sekali. Kawasan yang mati segan, hidup pun enggak mau,” kenangnya.
Revitalisasi pun dimulai pada 2018, bertepatan dengan Hari Jadi Kota Malang. Pemerintah kota membangun ulang infrastruktur—jalan, drainase, plengsengan, hingga gang-gang kecil kampung Kajoetangan.
“Kita tidak hanya membangun sarana-prasarana, tetapi juga membangun manusianya,” tutur Erik.
Pemerintah kemudian menggandeng Pokdarwis agar warga terlibat aktif menjaga kawasan. Dari sinilah lahir semangat baru: membangun kawasan wisata tematik yang tak sekadar indah, tetapi berkelanjutan secara sosial dan ekonomi. Sejak saat itu, Kajoetangan berhasil mengembalikan masa kejayaannya.
Kolaborasi Inklusif
Revitalisasi fisik hanyalah satu sisi dari perubahan besar itu. Di sisi lain, OJK Malang bersama Pemkot Malang dan lembaga keuangan lainnya memperkuat sisi ekonomi kawasan melalui program Kawasan Inklusi Keuangan Kampoeng Heritage Kajoetangan.
Melalui program ini, masyarakat dan pelaku UMKM didorong untuk naik kelas—tidak lagi bertransaksi konvensional, tetapi mulai melek digital dan memahami akses keuangan formal. Literasi keuangan, pelatihan pengelolaan usaha, dan edukasi perlindungan konsumen menjadi kegiatan rutin di sana.
Menurut data OJK, tingkat literasi keuangan masyarakat di kawasan heritage meningkat signifikan. Hampir seluruh pelaku usaha kini memiliki akses layanan keuangan formal, mulai dari tabungan digital, QRIS, hingga pembiayaan modal kerja melalui lembaga keuangan resmi.
Lebih dari sekadar kemudahan transaksi, digitalisasi membuka peluang baru bagi warga kampung. Akses permodalan kini lebih luas, dengan banyak UMKM yang sudah mampu mengajukan pembiayaan resmi untuk pengembangan usaha.
“Makanya UMKM-UMKM yang dibina lewat Pokdarwis itu bisa semakin canggih sekarang ini,” ucap Sekda Kota Malang.
Ketua Pokdarwis Kampung Heritage Kajoetangan, Mila Kurniawati, bersyukur atas kepedulian OJK, Pemkot Malang, dan para pemangku kepentingan lainnya. Ia menyebut, setelah ditetapkan menjadi KIK, literasi keuangan warga di sana meningkat pesat.
“Warga dan pelaku usaha di sini mengalami peningkatan luar biasa sekarang. Mereka lebih melek digital keuangan,” kata Mila.
Perubahan perilaku dari cash ke cashless membawa dampak signifikan, termasuk pada minat masyarakat untuk datang ke Kampoeng Heritage Kajoetangan. Transaksi digital memudahkan pengunjung dan pelaku usaha.
“Masyarakat di sini harus mengikuti perkembangan itu agar pengunjung mudah bertransaksi, tidak repot dengan uang tunai,” pungkasnya.
Salah satu pengunjung, Nurhasah (29), asal Banyuwangi, mengatakan kunjungannya ke sana merupakan yang kedua kalinya. Ia mengaku senang dengan suasana wisata tematik tersebut.
“Senang saja dengan suasana di sini, jadi kalau ke Malang pasti mampir,” ucapnya.
Ia juga menilai kemudahan transaksi digital menjadi salah satu alasan ia tak pernah kapok datang.
“Kalau ke sini biasanya sekalian kulineran. Jadi ketika berbelanja, tidak takut meski tidak bawa uang tunai banyak, karena semua sudah bisa cashless,” pungkasnya. (*)
| Pewarta | : Achmad Fikyansyah | 
| Editor | : Imadudin Muhammad | 
 Ekonomi
 Ekonomi 
       
             
             
             
             
             
             
             
             
             
             
                 
                 
                 
                 
                 
             
             
             
             
             
             
             
             
             
             
               TIMES Malang
            TIMES Malang