TIMES MALANG, MALANG – Setiap tahun, ribuan hektare hutan di Indonesia lenyap begitu saja. Data Simontini (2024) mencatat deforestasi mencapai 261.575 hektare, meningkat dari tahun sebelumnya. Biasanya kita membahas angka deforestasi dari sisi kerusakan ekologis, krisis iklim, atau hilangnya habitat satwa.
Namun ada satu hal yang jarang disentuh secara serius: konflik kepentingan antara korporasi, pemerintah, dan masyarakat kecil dan bagaimana suara masyarakat nyaris tak pernah dianggap penting.
Masyarakat adat, petani, dan warga desa yang hidup bergantung pada hutan sebenarnya menjadi kelompok paling terdampak. Mereka menggantungkan sumber air, kayu, pangan, hingga identitas budaya pada ruang hidup bernama hutan.
Dalam praktiknya, mereka menjadi kelompok paling mudah disingkirkan. Hutan yang diturunkan dari generasi ke generasi tiba-tiba berubah menjadi komoditas ekonomi. Surat izin mengalahkan sejarah; modal menyingkirkan cerita.
Dalam tata ruang wilayah, idealnya masyarakat ikut hadir menyampaikan suara terkait perlindungan hutan. Nyatanya, rapat perencanaan, ruang konsultasi publik, dan forum penyusunan kebijakan justru jarang melibatkan mereka. Bila pun hadir, pendapat masyarakat hanya diperlakukan sebagai formalitas administratif dipenuhi untuk menggugurkan kewajiban, bukan untuk benar-benar didengar.
Fenomena ini selaras dengan pemikiran Johnson. Ia menekankan bahwa aspirasi suatu kelompok hanya akan diterima jika selaras dengan kepentingan pihak yang berkuasa. Ketika satu pihak memiliki kekuatan modal, akses politik, dan legitimasi hukum, sedangkan pihak lainnya hanya memiliki ruang hidup sebagai modal, maka pertarungannya sudah tidak imbang sejak awal. Kepentingan korporasi dianggap “strategis”, sementara kepentingan masyarakat dicap “emosional”, “tidak realistis”, atau “tidak teknis”.
Di sektor kehutanan, ketimpangan ini makin terasa. Perusahaan pemegang konsesi menguasai akses izin, kebijakan konversi hutan, hingga aturan yang sering tumpang-tindih.
Kajian kebijakan kehutanan ProForest (2021) menunjukkan bahwa minimnya transparansi dalam proses perizinan melemahkan kapasitas masyarakat lokal untuk membela ruang hidup mereka sendiri. Informasi hanya mengalir pada kelompok-kelompok berkepentingan, bukan pada masyarakat yang akan merasakan dampaknya.
Di sinilah gambaran kegagalan penggunaan kekuasaan untuk kepentingan bersama meminjam istilah Johnson, kegagalan use of power in good ways. Kekuasaan idealnya digunakan untuk menjaga kesejahteraan publik, terutama dalam pengelolaan ruang hidup yang saling bergantung antara manusia dan alam. Namun realitasnya, kekuasaan lebih sering diarahkan untuk menguatkan pihak yang sudah dominan.
Dari hutan adat hingga kawasan tambang, pola yang sama terus berulang. Begitu izin terbit, hutan berangsur berubah menjadi deretan tanaman monokultur: kelapa sawit, pohon industri, atau tambang terbuka.
Air mengering, satwa menghilang, dan budaya tercerabut dari akar sosialnya. Ruang hidup yang dulu menjadi sumber pangan, air, obat-obatan, dan tradisi berubah menjadi sistem produksi pasar yang mengejar harga komoditas global. Manusia digeser dari alamnya sendiri.
Konflik pun sulit dihindari. Johnson menyebut konflik ini sebagai constructive conflict: konflik yang sebenarnya dapat dikelola secara baik melalui musyawarah dan komunikasi publik. Tetapi karena kebijakan dibuat tanpa partisipasi masyarakat, konflik berubah menjadi ketidakadilan struktural. Bukan karena masyarakat tidak punya pengetahuan tentang alam, tetapi karena sistem pengambilan keputusan memang tidak dirancang untuk mendengar mereka.
Akhirnya, masyarakat kecil selalu berada di posisi “kalah”, baik secara suara maupun informasi. Kalah bukan karena lemah, tetapi karena aturan, panggung, dan mikrofonnya bukan milik mereka.
Mereka hanya datang saat diwawancara, bukan saat keputusan dibuat. Aspirasi mereka selalu datang terlambat karena kebijakan sudah disusun terlebih dahulu.
Selama masyarakat hanya diundang sebagai pelengkap, bukan sebagai subjek penentu, maka kebijakan kehutanan akan terus berat sebelah. Dan selama itulah kerusakan ekologis dan konflik sosial akan terus kita temukan.
Kita akan membaca berita yang sama berulang-ulang: banjir bandang, longsor, hutan adat terbakar, warga kehilangan akses air bersih, satwa menyerang pemukiman, hingga konflik lahan yang tak berkesudahan.
Pada titik ini pertanyaan masyarakat menjadi sangat wajar: “Untuk siapa sebenarnya hutan ini dikelola?”
Pertanyaan tersebut muncul bukan karena masyarakat tidak mengerti pentingnya pembangunan, tetapi karena mereka merasakan pembangunan tidak pernah memikirkan mereka.
Selama paradigma pengelolaan hutan masih mengutamakan korporasi dan mengabaikan masyarakat kecil, maka krisis ekologis hanya menunggu waktu menjadi semakin parah.
Karenanya, urgensi terbesar hari ini bukan sekadar menambah luasan kawasan konservasi, bukan sekadar program penanaman seribu pohon, bukan pula kampanye “cinta lingkungan” yang hanya ramai di media.
Urgensi terbesar adalah mengembalikan suara masyarakat sebagai dasar pengambilan keputusan. Hutan bukan sekadar sumber ekonomi ia adalah ruang hidup.
Jika negara benar-benar ingin mencegah kerusakan ekologis, maka jawabannya sederhana sekaligus paling sulit dilakukan: dengarkan masyarakat kecil. Berikan ruang bagi mereka untuk menentukan masa depan hutan.
Sebab alam tidak pernah meminta banyak kepada manusia. Yang ia butuhkan hanya perlakuan adil. Dan keadilan ekologis hanya mungkin tercipta jika keadilan sosial hadir lebih dulu.
***
*) Oleh : Alya Zhafira Noor Wibawa, Mahasiswa Psikologi Universitas Brawijaya.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
| Pewarta | : Hainor Rahman |
| Editor | : Hainorrahman |