https://malang.times.co.id/
Forum Mahasiswa

Dampak Kapitalisme Pendidikan

Jumat, 15 Juli 2022 - 17:27
Dampak Kapitalisme Pendidikan Fajarudin Hekmatyar, penggemar One Piece, dan masih berstatus sebagai mahasiswa Kesejahteraan Sosial, Universitas Mummadiyah Malang.

TIMES MALANG, MALANG – Beberapa hari belakangan warga jagat maya sedang disibukan dengan perdebatan mengenai syarat penerimaan mahasiswa baru di salah satu universitas negeri yang ada di Kota Malang.

Bagaimana tidak? Pasalnya universitas tersebut mencantumkan syarat good looking atau berpenampilan menarik sebagai salah satu syarat untuk masuk ke salah satu prodi (program studi) di universitas tersebut. Mengutip dari asumsi.co pencantuman syarat good looking adalah sebagai tuntutan dari dunia industri agar lulusan prodi tersebut bisa langsung terserap ke dalam dunia kerja. Lebih lanjut, syarat good looking menjadi tuntutan bank yang menjadi rekanan kampus yang bersangkutan.

Apa yang sebenarnya terjadi—dari penjabaran peristiwa di atas—adalah salah satu dampak dari kapitalisasi Pendidikan. Kapitlisasi Pendidikan diartikan sebagai Proses yang menjadikan semua aset yang dimiliki dalam pendidikan sebagai barang modal yang harus mendatangkan keuntungan. Tentunya hal tersebut mencederai semangat Pendidikan yang seharusnya bertujuan untuk—seperti kata Tan Malaka—mempertajam kecerdasan, memperkukuh kemauan serta memperhalus perasaan.

Kapitalisasi Pendidikan semakin menguat dikarenakan pemerintah yang menjadi pihak utama dalam menjamin mutu Pendidikan nasional mengalami ketidaksanggupan dalam menajalankan tugasnya. Ketidaksanggupan pemerintah dalam memainkan peran utama sebagai penjamin mutu Pendidikan bisa berupa ketidaksanggupan secara materill, dan bisa juga ketidaksanggupan secara will (keinginan).

Secara materill pemerintah mungkin memang sedang mengalami krisis ekonomi atau keterbatasan anggaran sehingga menyebabkan tidak memiliki dana yang cukup untuk menganggarkan dana untuk sektor Pendidikan. Untuk alasan yang kedua—ketidaksanggupan will—dikarenakan pemerintah memang tidak punya visi dan misi untuk memajukan pendidikan sekaligus meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) warga negaranya.

Alasan lain menguatnya kapitalisasi Pendidikan adalah karena swastanisasi. Swastanisasi merupakan istilah yang merujuk kepada penyerahan urusan-urusan publik—yang seharusnya di-handle oleh negara—menjadi tanggung jawab pihak swasta. Swastanisasi merupakan konskuensi logis dari liberalisme. Implikasinya adalah pendidikan tidak lagi dilihat sebagai public good melainkan sebagai private good yang tidak harus lagi memerlukan campur tangan pemerintah dalam menyediakan akses Pendidikan.  Pendidikan dilihat sebagai private good sehingga menjadi kewajiban masing-masing warga negaranya untuk menjamin kualitas pendidikannya masing-masing.

Anggapan bahwa Pendidikan sudah menjadi private good berdampak pada semangat Pendidikan. Pendidikan akan lebih mengutamakan kuantifikasi, efisiensi (penyerapan tanaga kerja), dan terprediksi (prospek kerja jurusan). Selanjutnya dampak yang menjadi konsekuensi logis dari kapitalisasi Pendidikan adalah; mahalnya biaya Pendidikan dan stigmatisasi di kalangan masyarakat.

Biaya Pendidikan yang semakin mahal. Sedikit analogi. Pendidikan akan menjadi seperti kaviar (sebuah hidangan mewah yang berupa telur ikan sturgeon yang biasa disajikan di restoran mewah dengan harga sangat tinggi). Mengikuti analogi tadi, maka Pendidikan hanya akan dapat dinikmati oleh masyarakat yang berkantong tebal dikarenakan tingginya harga Pendidikan. Tingginya biaya Pendidikan berdampak semakin sedikitnya masyarakat—khususnya masyarakat ekonomi rendah—yang bisa mengakses Pendidikan yang berkualitas, yang tentu saja berimplikasi meningkatkan resiko putus sekolah pada masyarakat ekonomi rendah.

Pendidikan dengan harga yang tinggi seolah menciptakan lingkaran setan kemiskinan. Secara sederhana: karena miskin, orang tidak bisa sekolah; karena tidak bisa sekolah, maka tidak bisa mendapatkan pekerjaan yang memadai; karena tidak mendapatkan perkerjaan yang memadai, orang menjadi miskin; dan karena miskin, orang tidak bisa sekolah. Dan seterusnya hingga tak terbatas.

Dampak lainnya bisa memicu Stigmatisasi di kalangan masyarakat. Mahalnya Pendidikan akan menimbulkan anggapan di masyarakat bahwa sekolah—sebagai Lembaga penyedia jasa Pendidikan—adalah sekolah orang kaya, dan sekolah lainnya sebagai sekolah orang miskin. Pelabelan seperti itu akan memicu keterbelahan sosial dan aksi saling ejek di masyarakat. Mereka yang bersekolah di “sekolah orang kaya” akan pongah dan angkuh, sedangkan mereka yang bersekolah di “sekolah orang miskin” harus rela dianggap sebagai warga negara kelas dua hanya karena tempat bersekolah.

Lantas kemana arah Pendidikan selanjutnya? Tentu yang paling utama peningkatan will dari pemerintah untuk memperbaiki mutu Pendidikan. Pemerintah harus ambil bagian penting—atau bahkan menjadi aktor utama—dalam dunia Pendidikan. Mulai dari perencanaan kurikulum Pendidikan, penentu regulasi Pendidikan, penjamin mutu Pendidikan, hingga menyediakan fasilitas Pendidikan yang memadai guna menjawab tantangan zaman.

***

*) Oleh: Fajarudin Hekmatyar, penggemar One Piece, dan masih berstatus sebagai mahasiswa Kesejahteraan Sosial, Universitas Mummadiyah Malang. 

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

***

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

Pewarta :
Editor : Ronny Wicaksono
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Malang just now

Welcome to TIMES Malang

TIMES Malang is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.