https://malang.times.co.id/
Forum Mahasiswa

Demokrasi Algoritma TikTok

Selasa, 09 Desember 2025 - 17:15
Demokrasi Algoritma TikTok Syafira Azzahra, Mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi Universitas Brawijaya.

TIMES MALANG, MALANG – Di tengah era ketika batas privat dan publik hampir lenyap, politik tidak lagi berlangsung hanya di mimbar kampanye, gedung pemerintahan, atau debat televisi. Hari ini, politik hidup di layar ponsel di video 15 hingga 40 detik yang melintas tiba-tiba di beranda TikTok. 

Di sanalah para politisi tidak hanya berkomunikasi, tetapi mengonstruksi citra dirinya. Mereka tidak lagi mengandalkan pidato panjang penuh jargon, melainkan storytelling visual: hangat, emosional, dan terasa dekat dengan kehidupan sehari-hari publik.

Salah satu contoh paling menonjol hadir melalui akun TikTok @AniesBaswedan. Setiap unggahan tidak sekadar mendokumentasikan aktivitas politik, tetapi menyusun representasi diri yang konsisten sosok pemimpin merakyat, cerdas, peduli, dan peka pada suara warga. Potret tersebut hadir bukan sebagai fakta mentah, melainkan hasil kurasi. 

Konten yang tampil adalah realitas yang dipilih, disusun, dan diperkuat untuk menghasilkan pesan tertentu. Di sinilah framing bekerja: proses menonjolkan aspek tertentu dari realitas sambil mengesampingkan aspek lain agar publik diarahkan pada makna yang sudah dirancang.

Ambil contoh momen ketika kamera mengikuti Anies memasuki pasar tradisional. Secara permukaan, video itu hanya menampilkan kegiatan kunjungan. Namun, adegan tersebut membawa pesan simbolik yang jauh lebih kuat: pemimpin ideal adalah pemimpin yang hadir tanpa jarak, menyapa tanpa barikade keamanan, mendengar bukan melalui laporan, melainkan melalui tatap muka. 

Tidak ada yang kebetulan dari pemilihan momen tersebut. Visual itu menjadi media untuk menegaskan nilai bahwa kepemimpinan yang manusiawi adalah kepemimpinan yang gelisah pada realitas rakyat.

Tahap framing berikutnya muncul melalui pemilihan gaya visual. Warna hangat pada video menciptakan suasana humanis, close-up menekankan ekspresi empati, iringan musik lembut menggugah kedekatan emosional, dan caption pendek dengan pesan kuat menjadi pengunci makna misalnya “Mendengar suara rakyat” atau “Tidak ada jarak antara pemimpin dan warga.” 

Dalam durasi yang sangat singkat, video berubah menjadi kisah mini yang bukan hanya ditonton, tetapi dirasakan. TikTok bekerja bukan pada logika argumentasi, melainkan pada logika afeksi dan di sinilah kekuatannya.

Fenomena ini memperlihatkan transformasi dalam cara publik mengonsumsi informasi politik. Generasi muda tidak lagi menilai politisi melalui rekam jejak yang disampaikan lewat panel diskusi atau debat panjang, tetapi melalui gestur kecil, intonasi suara, dan pengalaman visual yang hadir tiap hari di layar ponsel mereka. 

Politik menjadi sangat personal. Politisi bukan hanya aktor negara, tetapi karakter dalam semesta digital yang harus tampil hangat, cair, dan mudah dikaitkan dengan keseharian.

Namun, framing yang halus ini memunculkan pertanyaan kritis: apakah kedekatan emosional tersebut mencerminkan kenyataan objektif atau hanya konstruksi citra? Inilah ruang perdebatan penting dalam komunikasi politik kontemporer. 

Di satu sisi, media sosial seperti TikTok dapat menjadi inovasi yang mendekatkan pemimpin dengan masyarakat, membuat politik lebih responsif dan inklusif. Tetapi di sisi lain, ia berisiko menyederhanakan politik menjadi soal citra mengaburkan isu kompleks dan menggantinya dengan kesan visual yang menyenangkan.

Framing tidak memalsukan fakta, tetapi memilih fakta. Ia menampilkan sisi yang paling efektif menggiring persepsi. Apa yang tampak natural sesungguhnya merupakan hasil editing yang mempertahankan makna tertentu: pemimpin yang peduli, dekat dengan rakyat, dan mencerminkan idealisme moral. 

Dalam konteks TikTok, fakta tidak dibantah melalui ujaran panjang; cukup dengan satu potret empati yang menarik rasa kagum. Politik menjadi pengalaman estetis dirasakan sebelum dipahami.

Tidak mengherankan bila TikTok berkembang menjadi arena pertarungan narasi paling kompetitif hari ini. Akun @AniesBaswedan hanyalah satu contoh, tetapi representatif untuk melihat bagaimana politisi menggunakan platform ini sebagai ruang pembentukan citra dan legitimasi. 

Dengan konten yang konsisten secara tema, ritme, dan suasana, publik diarahkan untuk merasa “mengenal” sosok tersebut meskipun kedekatan itu dibangun melalui layar, bukan pengalaman langsung.

Yang menarik, audiens tidak merasa dipaksa. Justru melalui format santai dan personal, konten terasa jujur dan mudah diterima. Algoritma TikTok yang memprioritaskan keterlibatan emosional memperkuat efek ini. 

Setiap komentar positif, repost, dan like memperluas jangkauan makna yang sebelumnya telah diframing. Kampanye politik berlangsung bukan melalui baliho raksasa, tetapi melalui video sunyi berdurasi 20 detik yang berulang-ulang muncul di beranda penggunanya.

Fenomena ini menegaskan satu hal: politik hari ini tidak cukup untuk dikatakan politik harus dirasakan. Politik bukan hanya urusan janji, pencapaian, atau analisis program kerja. Ia juga menyangkut sentuhan kecil, gaya komunikasi, ekspresi emosi, dan visualitas. Ketika layar kecil menjadi jendela utama masyarakat melihat dunia, maka di layar kecil itulah citra politik dipertaruhkan, dipoles, dan direproduksi setiap hari.

TikTok telah mengubah cara publik mengenal tokoh politik, dan sekaligus mengubah cara tokoh politik menampilkan dirinya. Pertanyaan kritis bagi kita bukan sekadar apakah framing ini efektif, tetapi sejauh mana publik mampu memilah antara citra yang dibentuk dan realitas kepemimpinan yang sesungguhnya. Sebab jika politik hanya berhenti pada estetika kedekatan, maka demokrasi akan dibangun di atas kesan visual, bukan kedalaman gagasan.

***

*) Oleh : Syafira Azzahra, Mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi Universitas Brawijaya.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia  untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Malang just now

Welcome to TIMES Malang

TIMES Malang is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.