TIMES MALANG, MALANG – Perkembangan kecerdasan buatan (AI) telah mengubah berbagai aspek kehidupan, termasuk dunia pendidikan tinggi. Sejumlah perusahaan teknologi global, seperti OpenAI, Google, dan Meta, telah berinvestasi miliaran dolar untuk menciptakan mesin AI generatif yang mampu membantu pekerjaan intelektual.
ChatGPT, Gemini, dan Claude menjadi contoh asisten AI yang dapat digunakan untuk menyusun program komputer, menganalisis data kompleks, hingga membantu dalam pembuatan makalah akademik. Namun, dominasi perusahaan Amerika Serikat (AS) dalam pengembangan AI mulai mendapat tantangan dari China dengan munculnya DeepSeek.
Meskipun dikembangkan dengan investasi yang jauh lebih kecil, DeepSeek mampu bersaing dengan AI buatan AS, bahkan mengusung pendekatan open source yang memungkinkan akses dan modifikasi lebih luas oleh pengguna.
Kehadiran AI ini membawa dampak besar bagi pendidikan tinggi, terutama dalam proses pembelajaran, penelitian, dan metode pengajaran di perguruan tinggi. Model AI seperti ChatGPT dan DeepSeek mampu menyelesaikan tugas yang kompleks dalam hitungan menit, sesuatu yang membutuhkan waktu berhari-hari jika dilakukan oleh manusia.
Perguruan tinggi yang memanfaatkan AI dengan baik dapat meningkatkan efisiensi penelitian dan mempercepat publikasi ilmiah. Namun, di sisi lain, penggunaan AI juga menimbulkan tantangan baru, terutama terkait ketergantungan mahasiswa terhadap teknologi serta etika dalam penggunaannya.
Salah satu tantangan utama dalam penggunaan AI dalam dunia akademik adalah bias yang terdapat dalam sistem AI itu sendiri. DeepSeek, misalnya, menunjukkan kecenderungan untuk menyensor jawaban terkait isu sensitif, seperti peristiwa Tiananmen 1989, sementara AI lain seperti ChatGPT dan Gemini dapat memberikan jawaban yang lebih netral.
Waleed Kadous, mantan pemrogram Google, menemukan bahwa DeepSeek sering kali menyajikan sudut pandang yang sejalan dengan kebijakan pemerintah China dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan (khususnya politik).
Fenomena bias ini menunjukkan bahwa AI tidak sepenuhnya netral, melainkan dipengaruhi oleh data yang digunakan untuk melatihnya serta kebijakan dari perusahaan pembuatnya.
Dalam dunia akademik, bias ini dapat berdampak pada penelitian dan pembelajaran, terutama ketika mahasiswa dan dosen menggunakan AI sebagai sumber utama informasi tanpa melakukan verifikasi lebih lanjut.
Bias dalam AI bukanlah masalah yang hanya terjadi pada DeepSeek. Studi yang dilakukan oleh Elif Kartal dalam International Journal of Intelligent Information Technologies menunjukkan bahwa bias juga ditemukan dalam berbagai produk AI lainnya, termasuk GPT-3 yang dikembangkan oleh OpenAI.
Studi ini menemukan bahwa AI cenderung merepresentasikan laki-laki dalam 83 persen dari 388 kategori pekerjaan yang dianalisis, hal ini menunjukkan adanya bias gender.
Bias-bias ini terjadi karena algoritma AI dilatih dengan data yang mengandung kecenderungan tertentu, yang secara tidak sadar mereproduksi pola ketimpangan sosial yang sudah ada. Jika tidak ditangani dengan baik, bias ini dapat memengaruhi riset akademik dan menciptakan kesenjangan dalam akses terhadap informasi yang akurat.
Meskipun menghadapi tantangan terkait bias, AI tetap menjadi bagian dari revolusi dalam pendidikan tinggi yang dapat dikaitkan dengan konsep creative destruction yang dikemukakan oleh Joseph Schumpeter.
Dalam bukunya Capitalism, Socialism, and Democracy, Schumpeter menjelaskan bahwa inovasi dalam teknologi dan organisasi industri adalah penggerak utama kapitalisme. AI telah menciptakan gelombang transformasi dalam metode pengajaran, riset, dan manajemen perguruan tinggi.
Perguruan tinggi yang tidak beradaptasi dengan perkembangan ini akan tertinggal dalam persaingan global. AI memungkinkan perguruan tinggi untuk mengembangkan metode pembelajaran yang lebih interaktif, personalisasi kurikulum berbasis kebutuhan mahasiswa, serta meningkatkan efisiensi administrasi akademik.
Namun, inovasi ini juga menuntut perubahan dalam sistem evaluasi akademik agar mahasiswa tidak hanya bergantung pada AI dalam mengerjakan tugas, tetapi juga mampu berpikir kritis dan kreatif.
Dengan menerapkan kebijakan yang tepat, pendidikan tinggi dapat memanfaatkan AI sebagai alat yang tidak hanya mempercepat proses akademik, tetapi juga menjaga integritas ilmu pengetahuan dalam era digital.
***
*) Oleh : Muhammad Dzunnurain, Mahasiswa Universitas Islam Malang.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Pewarta | : Hainorrahman |
Editor | : Hainorrahman |