TIMES MALANG, MALANG – Di negeri ini, ada satu profesi misterius yang tak pernah tercatat dalam sensus penduduk, tak punya NIK, bahkan tak dikenal tetangga, tapi selalu muncul di saat yang tepat: orang tak dikenal. Mereka seperti mitos urban yang berpindah generasi. Dari Orde Baru, Reformasi, hingga era digital, eksistensinya tak pernah punah.
Biasanya, mereka datang diam-diam. Kadang menyenggol motor wartawan yang terlalu vokal, mengirim pesan ancaman ke aktivis yang terlalu cerewet, atau sekadar mengintai mahasiswa yang nekat menulis kritik soal kampusnya. Setiap kali kasus muncul di berita, selalu saja kalimat itu muncul: “Pelaku diduga orang tak dikenal.”
Kasus terbaru yang ramai belakangan ini menimpa Yogi Firmansyah. Seorang ASN Kementerian Keuangan, mahasiswa S2 di UI, yang cuma menulis opini kritis di Detik.com soal jenderal-jenderal yang rangkap jabatan di lembaga sipil.
Opininya sederhana saja: mempertanyakan di mana posisi meritokrasi ASN kalau kursi-kursi penting diisi perwira aktif TNI. Tapi tulisan yang kelihatannya biasa itu, ternyata cukup bikin gelisah pihak-pihak tertentu.
Tak lama setelah opini tersebut dipublikasikan, Yogi mengalami dua insiden yang diduga sebagai bentuk intimidasi: Pada pagi hari setelah mengantar anaknya ke taman kanak-kanak, Yogi diserempet oleh dua pengendara motor berhelm fullface.
Beberapa jam kemudian, dua orang berbeda dengan ciri-ciri serupa menendang sepeda motornya hingga terjatuh di depan rumah. Akibat insiden tersebut, Yogi merasa terancam dan meminta pihak Detik.com untuk menghapus tulisannya.
Yang begini ini bukan cerita baru. Dari era Orde Baru, siapa pun yang bersuara tentang kekuasaan hampir pasti diintimidasi. Bedanya, dulu dibungkam lewat bredel atau penculikan. Sekarang caranya lebih halus, tapi efeknya sama: suara kritis dipaksa redup.
Lebih tragis lagi, pola teror seperti ini kini menjangkiti kampus. Tempat yang seharusnya jadi taman nalar, ruang gaduh penuh ide liar, justru berubah jadi zona steril dari kritik. Salah satu penulis Times Indonesia berasal dari kalangan mahasiswa.sekitar tahun 2022 lalu.
Saat itu, ia menulis sebuah opini, mengkritik sistem birokrasi di kampusnya yang dinilai tak sehat. Apa yang kemudian terjadi? Ancaman datang bertubi-tubi. Ia dipanggil ke dekanat, ditekan, bahkan diancam drop out. Alasannya pun terdengar ganjil: “Tulisan Anda bisa menghambat proses akreditasi internasional fakultas.”
Saya sempat berpikir, sejak kapan satu opini mahasiswa bisa bikin akreditasi fakultas turun? Tapi ya begitulah cara kerja sistem kita. Daripada berbenah, lebih mudah membungkam.
Kampus yang dulu dikenal sebagai markas perlawanan mahasiswa kini sibuk mengejar akreditasi, ranking QS, dan program internasionalisasi. Tak ada lagi ruang bagi mahasiswa yang kritis kecuali kalau kritiknya sekadar formalitas di seminar.
Sejatinya, demokrasi tanpa kritik itu hanya panggung sandiwara. Antonio Gramsci pernah bilang, kekuasaan paling kuat adalah yang membuat orang biasa takut bicara. Indonesia pasca-Reformasi memang tampak demokratis secara prosedural: ada pemilu, ada kebebasan pers, ada hak berserikat. Tapi substansinya? Rapuh.
Data Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mencatat sepanjang 2023 ada 89 kasus kekerasan terhadap jurnalis. Doxing, intimidasi fisik, ancaman hukum bentuknya makin variatif, tapi polanya tetap: pelakunya orang tak dikenal. Ironisnya, pasal-pasal dalam UU Pers yang katanya menjamin kebebasan pers, lebih sering jadi hiasan teks ketimbang perlindungan nyata.
Sheldon Wolin menyebut fenomena ini sebagai inverted totalitarianism. Negara tampak demokratis di permukaan, tapi sebetulnya kekuasaan menekan suara kritis secara sistematis dan senyap. Pers, mahasiswa, bahkan masyarakat sipil didorong untuk diam, patuh, dan pura-pura bahagia.
Yang membuat sistem ini bertahan bukan hanya negara, tapi juga mentalitas masyarakat kita sendiri. Kita tumbuh besar dalam budaya jangan ribut. Kritik dianggap cari perkara. Orang yang vokal dicap sok idealis.
Kalimat-kalimat macam “ngapain sih ikut-ikutan urusan beginian” atau “udah diem aja lah, daripada celaka” jadi mantra harian yang, tanpa kita sadari, mewariskan keberanian untuk takut.
Padahal kalau kita tengok sejarah, bangsa ini berdiri justru karena keberanian orang-orang yang bersuara saat orang lain memilih diam. Reformasi 1998 takkan ada kalau mahasiswa waktu itu main aman. Indonesia merdeka pun takkan lahir kalau Soekarno, Hatta, Tan Malaka, dan kawan-kawan dulu tunduk sama ancaman penjajah.
Saya pikir, ini bukan lagi soal jurnalis atau mahasiswa. Ini soal kita semua. Kita yang diam setiap kali ada orang kritis diintimidasi. Kita yang pura-pura tak dengar saat teman kita diancam karena beropini. Dan kita yang lebih suka aman ketimbang berpihak pada kebenaran.
Nabi Muhammad SAW pernah bilang, “Katakanlah kebenaran, walaupun pahit.” Demokrasi yang sehat butuh keberanian kolektif. Kalau kita terus membiarkan teror jadi tradisi, suara kritis pelan-pelan akan hilang. Dan saat itu terjadi, jangan heran kalau besok-besok giliran suara kita yang dibungkam.
Jadi, kalau hari ini masih ada orang yang berani bersuara entah wartawan, ASN, mahasiswa, atau siapa pun tugas kita bukan sekadar scroll berita lalu lanjut nonton TikTok. Tapi belajar angkat suara, membela, dan setidaknya menolak ikut diam. (*)
***
*) Oleh : Thaifur Rasyid, Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Islam Malang.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |