TIMES MALANG, MALANG – Era disrupsi telah membawa dunia ke dalam pusaran perubahan yang begitu cepat, masif, dan sulit diprediksi. Revolusi digital, kecerdasan buatan, hingga ekonomi berbasis platform telah menggeser cara manusia berkomunikasi, bekerja, dan berpikir.
Batas-batas geografis seakan mencair, globalisasi menembus ruang privat setiap individu, dan budaya asing dengan mudah menjelma sebagai bagian dari keseharian. Dalam pusaran perubahan yang seakan tanpa rem ini, pertanyaan yang mendesak muncul: masihkah nasionalisme relevan, ataukah ia sekadar simbol yang perlahan terkikis oleh derasnya arus global?
Nasionalisme pada hakikatnya adalah kesadaran kolektif untuk mencintai tanah air, menjaga kedaulatan, serta mengutamakan kepentingan bangsa di atas kepentingan pribadi maupun kelompok. Namun, nasionalisme di era disrupsi tidak bisa lagi dipahami hanya sebagai semangat heroisme masa lalu, yang lahir di medan perang melawan penjajah.
Nasionalisme hari ini harus didefinisikan ulang agar tidak terjebak dalam romantisme sejarah yang kehilangan daya hidup. Ia harus hadir sebagai kesadaran kritis, responsif terhadap tantangan zaman, dan mampu menjawab persoalan-persoalan baru yang tidak lagi berbentuk kolonialisme klasik, melainkan kolonialisme digital, ekonomi, dan budaya.
Kita sedang menyaksikan paradoks. Di satu sisi, teknologi memberi ruang keterhubungan yang luar biasa. Media sosial memungkinkan komunikasi lintas benua dalam hitungan detik. Anak muda Indonesia bisa mengakses musik Korea, film Amerika, hingga ideologi politik Barat tanpa sekat.
Namun di sisi lain, keterhubungan global ini justru melahirkan krisis identitas. Banyak generasi muda lebih fasih mengutip jargon pop culture asing ketimbang memahami sejarah bangsanya sendiri.
Sebuah survei Kementerian Pertahanan tahun 2023 misalnya, menunjukkan bahwa hanya sekitar 45 persen generasi muda yang merasa bangga menggunakan produk lokal, sementara selebihnya cenderung lebih percaya diri ketika mengonsumsi produk impor. Ini gejala serius: nasionalisme sedang diuji oleh gaya hidup global yang menawarkan identitas instan.
Disrupsi juga menciptakan model ekonomi baru yang menggerus kedaulatan negara. Kehadiran perusahaan digital raksasa seperti Google, Amazon, atau TikTok tidak hanya mengubah pola konsumsi, tetapi juga mengalihkan sirkulasi kapital ke luar negeri.
Di Indonesia, misalnya, ekonomi digital diproyeksikan mencapai 109 miliar dolar AS pada 2025. Namun, sebagian besar keuntungan masih dikuasai platform asing. Jika nasionalisme tidak dipertegas, Indonesia berpotensi menjadi pasar konsumtif tanpa kedaulatan ekonomi yang kokoh.
Di sinilah pentingnya nasionalisme ekonomi mendorong preferensi pada produk lokal, memperkuat industri kreatif dalam negeri, serta memastikan regulasi negara berpihak pada kepentingan rakyat, bukan semata pada kepentingan korporasi global.
Lebih jauh, era disrupsi juga menguji daya tahan nasionalisme di bidang politik. Arus informasi yang tak terbendung membuat hoaks, polarisasi, dan ujaran kebencian dengan mudah memecah belah bangsa. Nasionalisme dalam konteks ini bukan sekadar retorika cinta tanah air, melainkan kemampuan membangun literasi digital, kesadaran kritis, dan solidaritas sosial.
Jika masyarakat gagal memilah informasi, nasionalisme akan runtuh oleh propaganda yang memecah belah. Karena itu, memperkuat nasionalisme di era digital berarti memperkuat kemampuan warga negara untuk cerdas bermedia, beretika dalam berdebat, dan menolak jebakan politik identitas yang mengancam persatuan.
Namun, kita tidak bisa menutup mata bahwa nasionalisme juga sering disalahgunakan. Ia dijadikan komoditas politik, sekadar slogan kampanye, atau bahkan alat untuk menekan kritik. Padahal, nasionalisme sejati bukanlah ketaatan buta pada negara, melainkan sikap kritis untuk menjaga agar negara tidak tergelincir dari cita-cita keadilan sosial.
Nasionalisme yang sehat justru lahir dari kesadaran bahwa mencintai bangsa berarti berani mengoreksi arah kebijakan yang melenceng. Karena itu, generasi muda harus diajak memahami nasionalisme sebagai ruang partisipasi aktif, bukan sebagai dogma yang membungkam.
Pendidikan memegang peran vital dalam menghidupkan nasionalisme di tengah disrupsi. Sayangnya, sistem pendidikan kita masih lebih banyak berorientasi pada capaian kognitif ketimbang pembentukan karakter kebangsaan. Padahal, pembelajaran sejarah, Pancasila, dan kebudayaan lokal harus dikontekstualisasikan agar relevan dengan realitas anak muda hari ini.
Nasionalisme tidak bisa lagi diajarkan dengan cara menghafal nama pahlawan atau tanggal peristiwa, melainkan harus dihadirkan dalam praktik nyata: mencintai produk lokal, menjaga lingkungan, berkolaborasi dalam inovasi teknologi, hingga berani bersuara melawan ketidakadilan.
Kita harus mengingat bahwa nasionalisme sejati bukanlah sikap eksklusif yang menutup diri dari globalisasi. Sebaliknya, ia adalah fondasi yang membuat bangsa ini mampu berinteraksi dengan dunia tanpa kehilangan jati diri.
Nasionalisme adalah akar, sementara globalisasi adalah angin yang meniup dahan. Tanpa akar, pohon akan tumbang. Tetapi jika akar terlalu kaku, pohon tidak bisa tumbuh. Maka yang dibutuhkan adalah nasionalisme yang adaptif, mampu menjaga akar sambil merentangkan cabang untuk menyerap energi global.
Era disrupsi adalah badai yang tak terhindarkan. Tetapi badai ini juga bisa menjadi peluang bagi bangsa yang kuat memegang identitasnya. Indonesia, dengan keberagaman budaya, kekayaan alam, dan semangat gotong royong, sesungguhnya memiliki modal besar untuk menjadikan nasionalisme sebagai kekuatan transformasi.
Tantangannya kini adalah bagaimana seluruh elemen bangsa pemerintah, masyarakat sipil, dunia pendidikan, dan generasi muda saling bergandengan tangan memperkuat nasionalisme yang kontekstual, kritis, dan progresif.
Nasionalisme di era disrupsi tidak boleh berhenti pada slogan di spanduk atau nyanyian seremonial. Ia harus menjadi energi yang menggerakkan: membangun ekonomi mandiri, memperkuat solidaritas, menjaga persatuan, dan menegakkan keadilan sosial.
Sebab tanpa nasionalisme yang hidup, kita hanya akan menjadi penonton dalam panggung global, sementara nasib bangsa ditentukan oleh kekuatan asing. Dan sejarah telah mengajarkan, bangsa yang kehilangan nasionalismenya akan kehilangan masa depannya. (*)
***
*) Oleh : Thaifur Rasyid, S.H., M.H., Praktisi Hukum.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |