TIMES MALANG, KALIMANTAN TIMUR – Peluncuran Sekolah Rakyat oleh pemerintah Indonesia pada April 2025 menjadi salah satu inisiatif pendidikan yang paling ambisius dalam beberapa dekade terakhir. Program ini dirancang untuk menjangkau anak-anak dari keluarga dalam kelompok desil 1 dan 2, yaitu masyarakat yang tergolong dalam kategori miskin ekstrem menurut Data Tunggal Sosial Ekonomi Nasional (DTSEN).
Dengan konsep sekolah berasrama penuh yang menyediakan akses pendidikan gratis, makanan, tempat tinggal, dan bimbingan pembelajaran, Sekolah Rakyat menawarkan sebuah lompatan dalam upaya menghapus kesenjangan pendidikan yang selama ini membelenggu mobilitas sosial masyarakat miskin di Indonesia.
Di balik visi mulia tersebut, efektivitas dan kesinambungan program ini sangat bergantung pada implementasi yang konsisten dan pengelolaan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas, karena pada akhirnya, transformasi pendidikan tidak hanya soal infrastruktur dan kurikulum, tapi juga bagaimana manusia-manusia di dalamnya berkembang secara menyeluruh.
Dari sudut pandang pengembangan SDM, Sekolah Rakyat bukan sekadar kebijakan pendidikan, melainkan investasi jangka panjang terhadap human capital nasional. Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Abdul Mu’ti, menyatakan bahwa kurikulum di Sekolah Rakyat akan menggunakan pendekatan pembelajaran individual dan fleksibel dengan sistem multi-entry multi-exit, yakni siswa dapat memulai dan menyelesaikan pembelajaran sesuai dengan kesiapan mereka.
Pendekatan ini sejalan dengan prinsip pengembangan SDM masa kini, yaitu personalized learning, yang menghargai perbedaan gaya belajar, latar belakang kognitif, dan tantangan sosial ekonomi siswa.
Target awal pendirian 53 sekolah yang akan mulai beroperasi pada tahun ajaran 2025/2026 dan ekspansi hingga 200 sekolah menunjukkan komitmen pemerintah, namun kesiapan tenaga pendidik menjadi isu utama yang tidak boleh diabaikan.
Pemerintah memperkirakan kebutuhan 60 ribu guru lulusan Pendidikan Profesi Guru (PPG) untuk ditempatkan secara penuh waktu di Sekolah Rakyat. Ini bukan angka kecil, dan tanpa sistem rekrutmen serta pelatihan berkelanjutan yang kuat, kualitas pendidikan di sekolah-sekolah ini bisa timpang.
Selain guru, keberhasilan Sekolah Rakyat juga bertumpu pada dukungan lintas sektor, terutama dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) yang bertanggung jawab atas penyediaan infrastruktur sekolah, mulai dari gedung kelas, asrama, hingga sanitasi yang memadai.
Dari sisi pendanaan, keterlibatan Kementerian Sosial dalam pemetaan penerima manfaat berdasarkan DTSEN juga menjadi titik penting dalam memastikan bahwa program ini menyasar kelompok yang tepat.
Namun, semua fasilitas dan data hanya akan efektif jika diikuti oleh sistem manajemen dan evaluasi yang transparan dan akuntabel. Jika tidak, risiko kebocoran anggaran, ketimpangan antarsekolah, hingga kualitas pembelajaran yang tidak terstandar akan membayangi.
Pakar SDM menilai Sekolah Rakyat dapat menjadi game changer dalam membentuk generasi baru talenta Indonesia yang tangguh dan berdaya saing global. Namun, ada sejumlah prasyarat yang tidak bisa ditawar: program ini harus dikelola dengan tata kelola pendidikan modern, berbasis data dan analisis dampak berkelanjutan.
Monitoring dan evaluasi harus dilakukan secara berkala oleh lembaga independen, bukan hanya oleh internal pemerintah. Selain itu, penting untuk melibatkan masyarakat sipil, dunia usaha, dan akademisi dalam mendukung sistem pembinaan karier siswa sejak dini.
Sekolah Rakyat juga sebaiknya tidak terisolasi dari dinamika industri dan perkembangan teknologi. Kolaborasi dengan sektor swasta dan universitas dapat membuka ruang bagi para siswa untuk mendapatkan pengalaman belajar yang kontekstual, baik melalui magang, proyek sosial, maupun pelatihan kewirausahaan.
Ke depan, Sekolah Rakyat tidak boleh berhenti pada angka-angka dan seremoni peluncuran. Program ini harus menjadi gerakan bersama untuk mengangkat anak-anak Indonesia dari belenggu kemiskinan struktural menuju masa depan yang lebih baik.
Pendidikan adalah hak dasar, namun juga tanggung jawab kolektif. Jika dikelola dengan komitmen jangka panjang, Sekolah Rakyat bisa menjadi fondasi lahirnya generasi Indonesia Emas 2045 yang benar-benar merata dan inklusif.
Tetapi jika salah kelola, program ini berisiko menjadi proyek populis yang gagal menjawab akar masalah ketimpangan. Maka, pertanyaannya bukan hanya apakah Sekolah Rakyat bisa berjalan, tetapi apakah kita, sebagai bangsa, siap menjaga konsistensi dan integritas dalam mewujudkannya.
***
*) Oleh : Rosyid Nurrohman, S.M., M.AB., Dosen Administrasi Bisnis, Universitas Mulawarman.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |