https://malang.times.co.id/
Opini

Mendidik di Era Serba Cepat

Jumat, 14 November 2025 - 18:18
Mendidik di Era Serba Cepat Iswan Tunggal Nogroho, Praktisi Pendidikan.

TIMES MALANG, MALANG – Di tengah derasnya perubahan zaman, dunia pendidikan kita sering terasa seperti mesin besar yang berjalan dengan ritme masa lalu. Sementara teknologi, pola kerja, dan cara hidup masyarakat berubah radikal, sebagian sekolah masih berkutat dalam rutinitas lama: mengejar nilai, memburu ranking, dan menuntaskan administrasi tanpa henti.

Di titik inilah kritik terhadap sistem pendidikan bukan lagi sekadar wacana elitis, tetapi kebutuhan mendesak agar sekolah kembali relevan dengan tantangan zaman.

Realitasnya, anak-anak hari ini tidak lagi hidup di dunia yang sama seperti generasi guru maupun orang tuanya. Mereka tumbuh dalam percepatan informasi, keterhubungan digital, dan ekosistem kerja yang menuntut kemampuan berpikir kritis, kolaboratif, kreatif, dan adaptif. 

Namun di banyak ruang kelas, metode pengajaran masih terpaku pada hafalan dan instruksi satu arah. Padahal, apabila pendidikan ingin mencetak generasi yang siap menghadapi dunia nyata, sekolah tidak bisa hanya menjadi tempat siswa mendengarkan, mencatat, lalu diuji. Sekolah harus menjadi ruang tumbuh.

Ruang tumbuh berarti memberikan kesempatan kepada siswa untuk mencoba, gagal, mengulang, dan menemukan makna belajar dari pengalaman. Bukan malah menghukum kegagalan atau menjadikannya alasan untuk menilai kemampuan anak secara sempit. 

Banyak penelitian menunjukkan bahwa model pendidikan berbasis proyek, diskusi, dan pemecahan masalah jauh lebih efektif dalam membangun karakter, literasi, maupun keterampilan berpikir tingkat tinggi. Namun, kultur sekolah kita masih menempatkan guru sebagai pusat pengetahuan, bukan fasilitator proses belajar.

Di lapangan, masih banyak guru yang terjebak pada tekanan administrasi. Mereka diminta mengisi laporan, menyusun perangkat, membuat indikator, mengupload berkas, dan mengikuti rutinitas formal yang panjang. Di sisi lain, waktu untuk mendampingi proses belajar siswa semakin tergerus. 

Ini menyebabkan kualitas belajar seringkali tidak ditentukan oleh kemampuan mengajar, tetapi oleh kemampuan memenuhi administrasi. Jika dibiarkan, sekolah bisa berubah menjadi institusi yang sibuk dengan dirinya sendiri tetapi gagal memahami kebutuhan murid.

Sementara itu, perubahan sosial ekonomi masyarakat juga menuntut sekolah untuk beradaptasi. Dunia kerja semakin dinamis dan tidak lagi mensyaratkan kemampuan tunggal. Soft skills seperti komunikasi, karakter, integritas, kolaborasi, hingga literasi digital semakin penting. 

Pertanyaannya, apakah sekolah telah menjadi tempat yang menumbuhkan semua ini? Ataukah justru menjadi ruang yang membatasi potensi anak dengan aturan-aturan yang tak memberikan ruang eksplorasi?

Kritik terhadap sistem bukan berarti menyalahkan guru. Justru banyak guru di akar rumput yang memahami betul kebutuhan siswa, tetapi mereka terhambat oleh kebijakan yang terlalu birokratis. Guru inovatif seringkali tumbuh bukan karena regulasi, tetapi terlepas dari regulasi. 

Ini paradoks pendidikan kita: reformasi sering terjadi dari bawah, bukan dari atas. Karena itu, saatnya pembuat kebijakan melihat realitas lebih jernih bahwa kualitas pendidikan hanya bisa ditingkatkan jika guru diberi ruang kreativitas, bukan dibebani formalitas.

Sekolah yang baik seharusnya memiliki kultur reflektif: guru berdiskusi, mengevaluasi praktik mengajar, saling berbagi strategi, dan terbuka terhadap metode baru. Sayangnya, kultur ini belum menjadi tradisi kuat. Banyak sekolah lebih sibuk dengan lomba, akreditasi, dan pelaporan. Padahal, esensi pendidikan bukan tentang penghargaan atau angka di rapor institusi, melainkan bagaimana anak tumbuh sebagai manusia yang utuh.

Pendidikan hari ini membutuhkan pendekatan yang lebih humanis. Kita perlu membangun sistem yang memanusiakan guru dan siswa. Memberikan ruang dialog antara sekolah, orang tua, dan masyarakat. 

Menghadirkan kurikulum yang fleksibel, berorientasi pada kompetensi, dan selaras dengan konteks lokal. Bahkan lebih jauh, kita harus berani mendefinisikan ulang apa arti “berhasil” dalam pendidikan. 

Apakah berhasil berarti nilai tinggi di ujian? Atau kemampuan menghadapi kehidupan, bekerja dalam tim, berempati, dan menjadi warga yang bertanggung jawab?

Ketika sekolah berhasil membangun ruang tumbuh, kita tidak hanya menyiapkan generasi yang cerdas, tetapi juga kuat secara mental, kreatif secara pemikiran, dan matang secara sosial. Itulah fondasi yang dibutuhkan untuk menghadapi masa depan yang belum pasti. 

Jika pendidikan terus berjalan dengan paradigma lama, kita akan kehilangan momentum, dan sekolah hanya akan menjadi institusi administratif yang jauh dari kebutuhan zaman.

Sudah waktunya pendidikan Indonesia berhenti mengejar formalitas dan mulai mengejar kualitas. Waktunya sekolah bukan hanya tempat mengajar, tetapi ruang yang memberi makna. Waktunya guru bukan hanya pelaksana kurikulum, tetapi pemantik perubahan. Dan waktunya siswa tidak hanya menjadi penerima pengetahuan, tetapi pencipta masa depan.

Pendidikan tidak boleh berjalan dengan autopilot. Ia harus bergerak dengan kesadaran, keberanian, dan visi besar. Jika tidak, kita akan terus tertinggal, bukan karena kurang sumber daya, tetapi karena gagal memahami ruh pendidikan: menuntun manusia agar menemukan dirinya dan masa depannya.

***

*) Oleh : Iswan Tunggal Nogroho, Praktisi Pendidikan.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia  untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Malang just now

Welcome to TIMES Malang

TIMES Malang is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.