TIMES MALANG, MALANG – Jika dulu mahasiswa dikenal sebagai agent of change, kini label itu mulai terasa pudar di tengah derasnya gelombang digital dan pragmatisme zaman. Wajah mahasiswa hari ini adalah potret generasi yang hidup di antara idealisme dan kenyataan hidup yang makin keras. Mereka tumbuh dalam dunia yang serba cepat, di mana nilai diukur dari follower, bukan gagasan; dari insight story, bukan perjuangan.
Fenomena ini menimbulkan satu pertanyaan tajam: apakah mahasiswa hari ini masih menjadi penjaga nurani bangsa, atau sekadar penonton yang sibuk dengan dunia maya?
Mahasiswa generasi terdahulu dikenal dengan keberanian moral dan kepekaan sosial. Mereka turun ke jalan bukan untuk konten, tapi untuk nurani. Gerakan 1998 misalnya, menjadi bukti bagaimana kampus dulu adalah pusat kesadaran dan perlawanan terhadap ketidakadilan.
Namun kini, banyak kampus justru sunyi dari diskusi ideologis. Ruang-ruang dialektika bergeser menjadi co-working space, dan obrolan intelektual tergantikan oleh scrolling tanpa henti di layar ponsel.
Bukan berarti mahasiswa masa kini tidak peduli. Mereka tetap punya kepedulian hanya saja, bentuknya berubah. Jika dulu perlawanan dilakukan lewat spanduk dan orasi, kini dilakukan lewat thread, podcast, atau video pendek. Namun, sayangnya, ekspresi digital itu sering kehilangan kedalaman. Ia viral, tapi tidak substansial. Ia menggugah, tapi tidak membangun kesadaran kolektif.
Krisis yang paling nyata justru terletak pada hilangnya keberanian berpikir kritis dan kegigihan mencari kebenaran. Mahasiswa lebih takut kehilangan kesempatan magang di perusahaan besar ketimbang kehilangan daya kritis terhadap kebijakan negara.
Sebagian besar lebih fokus pada career plan daripada nation plan. Padahal, dalam sejarah, bangsa ini lahir dan tumbuh karena keberanian anak muda yang berpikir melampaui dirinya sendiri.
Ada perubahan orientasi yang cukup mencolok: mahasiswa kini didorong menjadi kompeten, bukan kritis; profesional, bukan progresif. Padahal keduanya bisa berjalan beriringan. Sayangnya, sistem pendidikan tinggi justru mempersempit ruang eksplorasi nilai. Kampus lebih sibuk menata akreditasi, bukan menyalakan api intelektual.
Akibatnya, lahirlah wajah mahasiswa yang terfragmentasi antara yang apatis, pragmatis, dan idealis minoritas. Mahasiswa apatis merasa bahwa segala hal sudah ditentukan oleh politik uang dan kekuasaan.
Mahasiswa pragmatis menyesuaikan diri dengan logika pasar kerja. Sementara mahasiswa idealis berjuang sendirian mempertahankan nilai di tengah cemoohan “tidak realistis”.
Di tengah situasi ini, kita perlu mengembalikan makna ke-mahasiswa-an sebagai gerakan kebudayaan, bukan sekadar status akademik. Mahasiswa seharusnya menjadi penghubung antara ilmu pengetahuan dan realitas sosial, antara kampus dan rakyat. Tugas mereka bukan hanya mengejar gelar, tapi memperjuangkan nilai.
Tantangan terbesar mahasiswa saat ini bukan lagi represi kekuasaan seperti masa lalu, tapi jebakan kenyamanan. Budaya instan, dunia digital, dan algoritma popularitas membuat banyak mahasiswa kehilangan arah perjuangan.
Mereka terjebak dalam “kebisingan digital” yang menciptakan ilusi kesadaran, padahal sejatinya mereka hanya berganti arena dari jalanan ke layar, dari debat ide ke komentar singkat.
Di balik wajah yang tampak lelah dan terpecah itu, ada banyak mahasiswa yang sedang bangkit lewat jalur baru: riset sosial, gerakan lingkungan, inovasi teknologi, dan advokasi digital.
Mereka tidak berteriak di jalan, tapi bergerak lewat data, konten edukatif, dan gerakan berbasis komunitas. Ini menandakan bahwa wajah mahasiswa memang berubah, tapi semangat dasarnya bisa tetap sama jika diarahkan dengan kesadaran.
Yang dibutuhkan hari ini bukan romantisme masa lalu, melainkan revitalisasi peran mahasiswa di tengah realitas baru. Mahasiswa harus mampu menjawab tantangan globalisasi, disrupsi teknologi, dan krisis moral bangsa dengan cara yang cerdas dan kontekstual. Mereka perlu belajar menggabungkan dua hal penting: idealisme sosial dan profesionalisme kompetensi.
Bangsa ini tidak butuh mahasiswa yang hanya pandai bicara di seminar atau lihai membuat konten, tapi mahasiswa yang berani berpikir kritis, empatik terhadap rakyat kecil, dan konsisten memperjuangkan nilai keadilan. Karena sejatinya, wajah sejati mahasiswa adalah cermin dari masa depan bangsa. Jika wajah itu tampak lelah dan kehilangan arah, maka masa depan kita pun ikut buram.
Kini saatnya mahasiswa menatap cermin dan bertanya pada dirinya sendiri: apakah aku bagian dari solusi, atau hanya bagian dari keramaian? Sebab sejarah bangsa tidak pernah ditulis oleh mereka yang diam, melainkan oleh mereka yang berani menyalakan obor kesadaran di tengah gelapnya zaman.
Dan di sinilah ujian sejati mahasiswa hari ini bukan pada seberapa tinggi IPK-nya, tapi seberapa dalam ia memahami tanggung jawab sosialnya. Karena dalam wajah mahasiswa, seharusnya terpantul wajah bangsa yang sedang berjuang untuk tetap bermartabat. (*)
***
*) Oleh : Andriyady, SP., Penulis dan Pengamat Sosial Politik.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
| Pewarta | : Hainor Rahman |
| Editor | : Hainorrahman |