TIMES MALANG, MALANG – Setiap tahun ajaran baru, ribuan sekolah di Indonesia membuka pintu untuk generasi baru. Tapi di balik hiruk pikuk upacara, spanduk motivasi, dan jargon “membangun SDM unggul,” ada satu pertanyaan besar yang sering luput dijawab: apakah pendidikan kita benar-benar mendidik, atau hanya sekadar mengajar?
Realitasnya, sistem pendidikan kita masih lebih sibuk mengejar angka daripada makna. Anak-anak kita dipacu untuk hafal, bukan paham; untuk lulus ujian, bukan memecahkan persoalan kehidupan. Padahal esensi pendidikan sejatinya adalah memanusiakan manusia, membentuk karakter dan kesadaran, bukan sekadar menghasilkan lulusan yang bisa bekerja di pasar tenaga.
Kita terjebak dalam logika mekanistik: pendidikan dilihat seperti pabrik. Ada input siswa, ada proses kurikulum, dan ada output berupa ijazah. Tapi di tengah proses itu, jiwa anak didik sering tersesat.
Mereka kehilangan ruang untuk berpikir, bertanya, bahkan bermimpi. Di banyak sekolah, kreativitas dianggap pembangkangan, dan keberanian berpikir kritis diperlakukan seperti ancaman terhadap ketertiban kelas.
Inilah ironi besar dunia pendidikan kita. Di satu sisi, kita bicara tentang “Merdeka Belajar.” Tapi di sisi lain, ruang belajar masih diikat oleh administrasi yang mengekang, target numerik, dan birokrasi yang tak memberi ruang bagi kebebasan akademik. Guru dibebani laporan dan form penilaian yang menumpuk, sehingga lupa bahwa tugas utamanya adalah membimbing jiwa, bukan sekadar menilai angka.
Lebih dari itu, pendidikan kita masih gagal menciptakan ekosistem yang menumbuhkan karakter sosial. Banyak sekolah terlalu fokus pada kecerdasan kognitif, tetapi abai pada kecerdasan emosional dan moral. Kita punya banyak siswa pintar, tapi tidak sedikit yang kehilangan empati dan tanggung jawab sosial. Kita menghasilkan sarjana, tapi belum tentu melahirkan manusia berjiwa sarjana.
Padahal Ki Hajar Dewantara sejak awal telah menegaskan bahwa pendidikan adalah proses menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak agar mereka menjadi manusia yang merdeka. “Merdeka” di sini bukan berarti bebas tanpa arah, tapi bebas yang bertanggung jawab. Sayangnya, semangat itu kini bergeser menjadi sekadar proyek kebijakan. Pendidikan sering diukur dengan skor PISA, bukan dengan integritas atau karakter.
Dalam konteks modern, tantangan pendidikan semakin kompleks. Teknologi hadir sebagai pisau bermata dua: bisa menjadi alat pembebasan pengetahuan, tapi juga jebakan baru. Siswa kini lebih cepat belajar dari internet ketimbang buku teks. Namun tanpa bimbingan nilai, mereka mudah terjerumus pada banjir informasi tanpa penyaring. Kita menghadapi generasi yang cerdas secara digital, tapi miskin dalam literasi moral dan sosial.
Sistem pendidikan kita juga masih cenderung menyiapkan anak untuk dunia yang sudah lewat, bukan dunia yang akan datang. Banyak kurikulum masih berpusat pada hafalan dan prosedur, padahal dunia kerja masa depan menuntut kolaborasi, kreativitas, dan problem-solving. Jika sekolah tidak berani berubah, maka anak-anak kita akan menjadi korban dari ketertinggalan institusional.
Lalu, apa yang seharusnya dilakukan?
Pertama, pendidikan harus dikembalikan pada ruhnya: membentuk manusia seutuhnya. Guru perlu diberikan kebebasan pedagogis bukan sekadar mengikuti buku panduan, tetapi menghidupkan semangat belajar di kelas. Guru harus menjadi inspirator, bukan operator. Dan untuk itu, negara harus hadir bukan dengan kontrol, tapi dengan kepercayaan.
Kedua, pembelajaran harus lebih kontekstual dan dialogis. Anak-anak perlu diajak berpikir kritis terhadap realitas sosial di sekitarnya. Pendidikan tidak boleh tercerabut dari kehidupan. Sekolah harus menjadi ruang hidup yang memanusiakan, bukan tempat mematikan rasa ingin tahu.
Ketiga, penting untuk menanamkan nilai spiritualitas dan kesadaran kebangsaan di tengah arus globalisasi. Pendidikan seharusnya menumbuhkan karakter yang mampu berdiri di antara modernitas dan moralitas. Generasi yang berpengetahuan tinggi tapi kehilangan arah moral justru akan menjadi ancaman bagi bangsa itu sendiri.
Pendidikan juga harus berani melibatkan komunitas, pesantren, dan keluarga dalam ekosistem pembelajaran. Sebab pendidikan sejati tidak hanya terjadi di ruang kelas, tetapi di setiap ruang kehidupan. Di rumah, di masyarakat, dan di ruang sosial digital semua itu adalah “kelas besar” tempat nilai dan karakter diuji.
Jika kita ingin bangsa ini maju, maka reformasi pendidikan harus dimulai dari cara kita memandang manusia. Jangan lagi memandang siswa sebagai “obyek” pelajaran, tetapi sebagai “subyek” yang tumbuh dan berpikir.
Hentikan obsesi terhadap hasil ujian, dan mulai fokus pada proses pembelajaran yang bermakna. Karena pada akhirnya, yang menentukan masa depan bangsa bukanlah banyaknya gelar akademik, tapi seberapa dalam kesadaran dan empati yang tumbuh dalam diri generasi mudanya.
Kita butuh pendidikan yang membebaskan, bukan yang membelenggu; pendidikan yang menumbuhkan keberanian berpikir, bukan ketakutan untuk salah. Sebab, seperti kata Paulo Freire, “pendidikan sejati adalah tindakan kebebasan.”
Dan selama pendidikan kita masih sibuk mengajar tanpa benar-benar mendidik, maka bangsa ini akan terus kehilangan arah di tengah generasi yang pintar, tapi tak lagi berjiwa. (*)
***
*) Oleh : Iswan Tunggal Nogroho, Praktisi Pendidikan.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
| Pewarta | : Hainor Rahman |
| Editor | : Hainorrahman |