TIMES MALANG, PROBOLINGGO – Akhir-akhir ini, isu begal menjadi perbincangan hangat di kalangan masyarakat Probolinggo. Tak hanya menjadi buah bibir, fenomena ini juga menimbulkan ketakutan yang berkelanjutan.
Sorotan publik bermula dari aksi heroik Aipda Andik Muhyeni yang berhasil melumpuhkan pelaku pencurian sepeda motor di wilayah Gending. Aksi tersebut viral tak hanya di Probolinggo, bahkan hingga Kalimantan.
Sebagai bentuk apresiasi, Aipda Andik langsung diberi kenaikan pangkat oleh Kapolres dan Bupati Probolinggo, hanya beberapa jam setelah kejadian. Seorang teman bahkan menyebutnya sebagai "jackpot" bagi sang polisi.
Namun ironisnya, keberhasilan tersebut bukanlah akhir dari rangkaian aksi kriminal serupa. Justru sebaliknya, setelah peristiwa itu, teror pembegalan kian marak. Dalam pantauan warga, setidaknya delapan kasus pembegalan terjadi pascakejadian, dan jumlah percobaan yang gagal kemungkinan jauh lebih banyak.
Seorang penjual sayur yang enggan disebut namanya mengaku sempat diikuti dua motor berboncengan di kawasan Maron–Pajarakan. Meski berhasil lolos, ia mengalami kerugian akibat dagangannya dirusak pelaku, serta trauma yang memaksanya berhenti berdagang selama sepekan.
Teror begal kini tak hanya mengancam mereka yang pulang malam, tapi juga menjadi momok bagi warga secara umum, terutama pengendara motor yang kerap menjadi sasaran empuk.
Fenomena ini menjadi semakin mengkhawatirkan saat memasuki musim pernikahan. Kita tahu, budaya "tonjokan", "pecut", dan bentuk utang-piutang dalam tradisi hajatan telah lama mengakar di Probolinggo. Inilah akar dari kemiskinan akut.
Jika kemiskinan bisa diberantas dengan kerja keras, maka pemiskinan struktural dapat diputus dengan kebijakan. Namun, kemiskinan yang telah membudaya adalah persoalan yang jauh lebih kompleks dan memerlukan waktu panjang untuk diselesaikan.
Tradisi utang pernikahan ini sangat membebani masyarakat kelas bawah, terutama di wilayah selatan (pegunungan). Nominal yang dikeluarkan untuk "tonjokan" bisa berkisar Rp100.000–300.000 bagi masyarakat biasa, namun bagi kalangan tertentu, nominalnya bisa mencapai Rp1.000.000 hingga Rp15.000.000 per acara.
Jumlah yang mungkin tak terasa bagi kalangan menengah ke atas, tapi menjadi beban berat bagi petani dan buruh harian. Yang lebih menyulitkan, utang tersebut harus dikembalikan demi menjaga nama baik dan menghindari sanksi sosial.
Tak heran bila pembegalan meningkat di musim pernikahan. Tekanan sosial dan kebutuhan dana besar membuat sebagian orang memilih jalan pintas yang keliru demi mempertahankan eksistensi sosial.
Maka dari itu, upaya pencegahan tak bisa hanya mengandalkan aparat keamanan. Pemerintah daerah perlu membaca akar masalah ini sebagai persoalan budaya dan kemiskinan sistemik.
Pemerintah Kabupaten Probolinggo mesti hadir dengan solusi yang menyentuh akar persoalan sosial-ekonomi masyarakat. LSM juga harus terlibat aktif. Jika saat pemilu lalu kita memiliki gerakan “Siaga Money Politic”, hari ini kita butuh gerakan “Siaga Begal”.
Sebab, sayangnya, stigma yang melekat di benak masyarakat luar terhadap Probolinggo, Lumajang, dan Jember adalah: macet dan begal. Macet perlahan bisa diatasi dengan perbaikan infrastruktur. Kini, giliran aksi begal yang harus segera diberantas.
***
*) Oleh : Agus Zainal Abidin, Kader Ansor Banyuanyar dan Dosen Febi UIN KHAS Jember.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |