TIMES MALANG, MALANG – Di tengah deru kemajuan teknologi, ada sisi gelap yang terus tumbuh di bawah cahaya layar: judi online. Ia menjelma seperti candu yang berwajah ramah, berselimut promosi, dan bersuara lembut meninabobokan logika. Di negeri yang gemar berwacana tentang moral dan hukum, ironi itu menggema-negara tampak gagah di podium, tapi ringkih di arena.
Judi online bukan sekadar kejahatan ekonomi, ia adalah tragedi sosial. Ia menjerat bukan hanya dompet, tapi martabat. Di kota-kota hingga pelosok, dari pekerja kantoran hingga pelajar, demam taruhan digital menjalar cepat, melampaui pagar pengawasan. Aksesnya mudah, transaksinya halus, dan algoritmanya licik. Ia mempelajari pola manusia seperti predator mempelajari langkah mangsanya.
Namun yang paling menyakitkan bukan pada maraknya pelaku, melainkan diamnya negara. Hukum berdiri gagah di atas kertas, tapi goyah di layar ponsel. Saban minggu ada kabar penangkapan, namun seminggu berikutnya muncul situs baru dengan nama yang lebih aneh, lebih asing, lebih menggoda. Seolah negara hanya pandai memadamkan lilin, sementara hutan di belakangnya terus terbakar.
Rakyat menunggu tindakan nyata, bukan sekadar rapat koordinasi dan jumpa pers. Judi online bukan persoalan individu, tetapi sistemik, ia tumbuh dari kombinasi ketimpangan ekonomi, kegamangan moral, dan lemahnya regulasi digital. Ia memanfaatkan celah di mana manusia kehilangan arah dan mencari jalan pintas menuju keberuntungan semu.
Di desa-desa, ada petani yang menjual motor demi top-up chip judi; di kota besar, mahasiswa rela meminjam pinjol demi “balik modal”. Mereka bukan kriminal sejak awal mereka korban dari sistem yang gagal memberi rasa cukup, gagal memberi makna pada kerja keras.
Judi online menawarkan ilusi cepat kaya di tengah kenyataan yang lambat berubah. Dan di sanalah, negara tampak tidak hadir, atau mungkin sengaja tidak melihat.
Kita sering menyalahkan individu tanpa melihat akar yang lebih dalam. Jika ekonomi timpang, jika lapangan kerja sempit, jika pendidikan moral hanya berhenti pada teks pelajaran, maka generasi pencandu akan lahir secara alami.
Mereka bukan hanya pecandu game, tapi pecandu harapan palsu. Judi online adalah simptom dari penyakit sosial yang lebih luas: kehilangan kepercayaan pada masa depan.
Dalam hal ini, mestinya bertindak bukan hanya sebagai penegak hukum, tapi juga penyembuh luka. Penindakan saja tak cukup; perlu kebijakan preventif yang melibatkan pendidikan digital, literasi finansial, dan pembatasan iklan algoritmik. Platform digital yang menjadi pintu masuk judi mesti diawasi dengan sistematis, bukan dibiarkan karena alasan investasi dan kebebasan siber.
Ada ironi yang terlalu pahit untuk ditelan: negara bisa menutup akun warganya dalam hitungan menit bila salah bicara di media sosial, tapi butuh waktu berbulan-bulan untuk menutup satu situs judi. Di mana letak prioritasnya? Apakah moral bangsa diukur dari kicauan, bukan dari penderitaan mereka yang hancur karena taruhan?
Dalam perspektif moral publik, judi online adalah cermin rapuh dari kebijakan yang kehilangan arah etik. Kita sibuk membangun infrastruktur digital, tapi lupa membangun karakter digital. Di tengah euforia industri 4.0, manusia malah kembali ke zaman primitif berjudi atas nasib sendiri di dunia maya.
Negara seharusnya hadir bukan hanya dengan pasal, tapi dengan keteladanan. Ketika aparat, pejabat, bahkan oknum penegak hukum ikut bermain di dalam lingkaran gelap ini, maka harapan rakyat semakin kabur. Yang kalah bukan lagi penjudi, tapi seluruh bangsa yang kehilangan nurani.
Kini, judi online bukan lagi sekadar persoalan “mainan iseng”, tapi ancaman terhadap produktivitas nasional. Ia memakan waktu kerja, menggerogoti ekonomi keluarga, dan merusak generasi muda. Di balik setiap klik taruhan, ada air mata istri yang kehilangan suami, ada anak yang kehilangan figur ayah, ada cita-cita yang gugur sebelum sempat tumbuh.
Jika negara terus membiarkan ini, maka kita sedang menyaksikan satu babak baru dari tragedi sosial: bangsa yang kalah di meja digitalnya sendiri. Bukan karena tak punya sumber daya, tapi karena kehilangan kompas moral. Judi online bukan tentang kalah atau menang, ia tentang seberapa kuat bangsa ini menjaga kesadarannya dari godaan virtual yang menggerus jiwa.
***
*) Oleh : Abdul Aziz, S.Pd., Praktisi Pendidikan.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
| Pewarta | : Hainor Rahman |
| Editor | : Hainorrahman |