https://malang.times.co.id/
Opini

Teknologi sebagai Disrupsi dan Peluang Pendidikan

Kamis, 10 April 2025 - 19:08
Teknologi sebagai Disrupsi dan Peluang Pendidikan Wibowo Mukti, Kepala Balai Layanan Platform Teknologi Kemendikdasmen

TIMES MALANG, JAKARTA – Ketika pandemi Covid-19 memaksa ruang-ruang kelas berganti layar, dunia menyadari satu hal penting: pendidikan digital bukan lagi masa depan-ia adalah kenyataan hari ini. Dalam waktu singkat, teknologi akan terus mendistrubsi peran guru, ruang kelas, bahkan sistem asesmen. Namun, setelah badai pandemi berlalu, satu pertanyaan besar menggema: bagaimana kita melanjutkan transformasi ini dengan adil, inklusif, dan berkelanjutan?

Teknologi, sejatinya, adalah disrupsi. Ia mengubah relasi antara guru dan murid, mengubah model belajar konvensional, bahkan mendorong dinamika kurikulum. Namun dalam disrupsi itu pula, tersimpan peluang luar biasa-pembelajaran yang dipersonalisasi, kolaborasi yang tidak dibatasi wilayah dan negara, hingga efisiensi biaya dan waktu.

Di sinilah peran negara menjadi sentral. Teknologi tidak bisa dibiarkan berjalan sendiri, digerakkan semata oleh logika pasar. Ia membutuhkan arah, regulasi, dan keberpihakan. Dalam konteks ini, menarik mencermati bagaimana tiga wilayah dunia-Eropa, China, dan Singapura-menyikapi transformasi digital dalam pendidikan. Dari mereka, Indonesia bisa belajar banyak.

Indonesia menghadapi paradoks cukup besar besar. Di satu sisi, ada geliat education technology (Edtech) lokal yang menjanjikan, seperti Ruangguru, Zenius, hingga platform pemerintah serta beberapa stratup lain. Di sisi lain, ketimpangan akses internet, rendahnya literasi digital guru, dan tidak meratanya perangkat masih menjadi masalah mendasar.

Lebih jauh, studi Bank Dunia (2022) mencatat bahwa tingkat learning poverty Indonesia—yakni proporsi anak usia 10 tahun yang belum mampu membaca dan memahami teks sederhana—mencapai 53 persen. Angka ini lebih tinggi dibanding rata-rata negara-negara Asia Timur dan Pasifik. Maka, transformasi digital tak boleh hanya menjadi proyek kota besar. Ia harus menjangkau pinggiran dan mengangkat kualitas belajar yang paling dasar.

Eropa: Teknologi dengan Etika dan Keadilan

Uni Eropa mengembangkan ‘Digital Education Action Plan 2021–2027’ dengan dua fokus utama: membangun ekosistem pendidikan digital yang kuat dan meningkatkan keterampilan digital warga negara. Namun yang menarik, pendekatan Eropa tidak semata teknologis—melainkan juga etis.

Negara-negara seperti Finlandia dan Belanda memosisikan guru bukan hanya sebagai pengguna teknologi, tetapi sebagai aktor perubahan digital. Pelatihan berkelanjutan dan integrasi teknologi ke dalam kurikulum dijalankan secara sistemik.

Selain itu, prinsip inklusi dan kesetaraan akses menjadi nilai dasar: semua anak harus mendapat manfaat dari pendidikan digital, bukan hanya mereka yang tinggal di kota besar atau keluarga mampu.

China: Sentralisasi dan Kebijakan Agresif

China memilih jalur berbeda: pendekatan sentralistik dengan intervensi negara yang kuat. Lewat ‘Smart Education of China 2022’, pemerintah membangun platform nasional yang menyediakan konten kurikulum digital secara gratis untuk seluruh siswa di China. Tidak tanggung-tanggung, kontennya mencakup 10 ribu video dan dokumen pembelajaran yang bisa diakses kapan saja.

Namun menariknya, China juga berani menindak sektor edtech yang dianggap berlebihan. Sejak 2021, pemerintah melarang perusahaan bimbingan belajar daring mencari keuntungan dari pendidikan dasar dan menengah. Tujuannya untuk apa? Menekan biaya pendidikan yang membebani keluarga, dan mengembalikan pendidikan ke jalur publik.

Singapura: Integrasi Sistemik dan Evaluasi Berbasis Data

Jika Eropa menekankan etika dan China menekankan kontrol negara, Singapura menonjol lewat konsistensi dan integrasi sistemik. Sejak 1997, negeri ini telah memiliki ‘EdTech Masterplan’ yang kini memasuki generasi keempat. Fokusnya jelas: kapasitas guru, infrastruktur digital, dan eksperimen inovatif dalam pembelajaran.

Melalui National Digital Literacy Programme, semua siswa dibekali keterampilan digital dasar. Di sisi lain, sekolah-sekolah unggulan dijadikan laboratorium inovasi melalui program ‘Future Schools@Singapore’. Pemerintah Singapura percaya pada evaluasi berbasis data: setiap kebijakan edtech harus diuji dampaknya, sebelum diperluas.

Kunci keberhasilan Singapura adalah koordinasi antarkementerian, kemitraan aktif dengan universitas dan industri teknologi, serta investasi serius dalam pelatihan guru.

Arah Pendidikan Indonesia

Indonesia tidak bisa sekadar mengikuti. Kita butuh visi dan arah yang berpihak pada keadilan pendidikan. Ada lima hal mendesak yang bisa dijadikan dasar kebijakan.

Pertama, literasi digital harus diakui sebagai kompetensi dasar. Guru dan siswa tidak cukup hanya bisa mengoperasikan aplikasi. Mereka perlu memahami etika digital, keamanan data, serta kemampuan berpikir kritis dalam ruang daring.

Kedua, kita butuh ekosistem EdTech nasional yang inklusif dan terbuka. Indonesia bisa membangun platform seperti milik China atau negara lainsebagai refrensi, tapi harus memastikan interoperabilitas dengan berbagai aplikasi lokal.

Jangan sampai satu platform justru memonopoli atau mendikte pedagogi. Mendorong talenta pendidikan dari masing-masing unit utama da pusat menjadi penting, dengan memberi peluang untuk pengembangan kapasitas.

Ketiga, pemerintah Indonesia perlu memosisikan internet dan perangkat sebagai infrastruktur dasar pendidikan. Mekanisme subsidi, pinjaman, atau bahkan skema kepemilikan kolektif bisa dikembangkan, terutama untuk memfasilitasi daerah 3T.

Keempat, kebijakan harus berbasis bukti. Artinya, setiap intervensi edtech perlu diiringi riset evaluasi dampak-apakah benar meningkatkan hasil belajar? Apakah mempersempit atau justru memperlebar kesenjangan?

Kelima, perlindungan data harus menjadi prioritas. Banyak aplikasi pendidikan belum memiliki standar perlindungan data yang jelas. Pemerintah perlu menetapkan regulasi ketat, termasuk audit keamanan data untuk semua platform yang digunakan di sekolah.

Indonesia juga dapat mengembangkan ‘Pusat Inovasi Pendidikan Digital’ di beberapa daerah, sebagaimana yang disiapkan oleh beberapa negara Eropa dan Singapore. Di sinilah kebijakan diuji, teknologi dikembangkan, dan guru dilatih secara intensif.

Terakhir, jangan lupa bahwa teknologi hanyalah alat. Kualitas pendidikan tetap ditentukan oleh relasi manusia: antara guru dan murid, antara kebijakan dan praktik di satuan pendidikan hingga di kelas. Jika tidak hati-hati, teknologi bisa menjauhkan kita dari esensi belajar yang memanusiakan.

Transformasi digital pendidikan adalah kesempatan sekali seumur hidup untuk memperbaiki ketimpangan yang sudah lama berlangsung. Tapi kesempatan itu hanya bisa kita raih jika ada visi, keberanian, dan komitmen untuk memastikan bahwa setiap anak Indonesia-di mana pun mereka berada-mendapat kesempatan belajar yang setara, bermutu, dan relevan dengan zamannya. 

Pendidikan adalah hak, bukan komoditas. Dan dalam dunia yang makin digital, hak itu harus dijamin dengan infrastruktur, kebijakan, dan keberpihakan yang nyata.

***

*) Oleh : Wibowo Mukti, Kepala Balai Layanan Platform Teknologi Kemendikdasmen.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Malang just now

Welcome to TIMES Malang

TIMES Malang is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.