https://malang.times.co.id/
Opini

Korupsi Tak Ada Obat

Selasa, 22 April 2025 - 23:13
Korupsi Tak Ada Obat Endik Wahyudi SH., MH., Dosen Fakultas Hukum Universitas Esa Unggul Jakarta

TIMES MALANG, JAKARTA – Belum selesai ingatan publik atas penangkapan 3 orang hakim pada Pengadilan Negeri Surabaya atas perkara Gregorius Ronald Tanur yang diputus bebas (vrijspraak), kini Kembali ada hakim yang ditangkap. Tidak main-main, 4 orang hakim diringkus oleh Kejaksaan Agung (kejagung) atas dugaan tindak pidana korupsi penerimaan suap dan atau gratifikasi atas putusan lepas (ontslag van recht vervolging) dalam perkara korupsi ekspor minyak sawit mentah atau CPO di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. 

Sangat tragis, miris dan memalukan. Wakil Tuhan yang seharusnya bertindak adil malah tergoda dengan uang, Tuhan saja tidak membutuhkan uang, ini wakilnya kok butuh uang, kata Asep Iwan Iriawan, mantan hakim pada Mahkamah Agung RI yang memilih pensiun dini akibat tak kerasan dengan lingkungan peradilan yang disebutnya selalu bertentangan dengan hati nurani.

Banyak sekali wacana untuk menanggulangi praktik rasuah di Indonesia, baik dengan pendekatan sistem, Wacana kenaikan gaji Hakim, ide memiskinkan koruptor hingga menghukum mati para pelaku tindak pidana korupsi tersebut. Lagi-lagi penulis tetap pesimis dan mengatakan bahwa korupsi tidak ada obat.

Hipotesis penulis yang mengatakan bahwa korupsi tidak ada obat tentu saja dibarengi dengan berbagai data dan fakta yang relevan. Mengutip Tranparency International, Corruption Perception Index (CPI) atau Indeks Persepsi Korupsi Indonesia tahun 2023 berada di skor 34/100 dan berada di peringkat 115 dari 180 negara yang disurvei. Skor 34/100 ini sama dengan skor CPI tahun 2022. Sementara 5 (lima) negara dengan skor CPI terbaik masing-masing diduduki oleh Denmark (90), Finlandia (87), New Zeland (85), Norwegia (84) dan Singapura (82). 

Sedangkan data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang di update pada 31 Desember 2024 pada website www.kpk.go.id, tertera dalam publikasi data statistik penanganan korupsi tahun 2004-2024 di lembaga anti rasuah tersebut, khususnya pada tahun 2024 dapat dibaca sebagai berikut: perkara dalam penyelidikan sejumlah 73 perkara, penyidikan 154 perkara, penuntutan 90 perkara, inkracht 91 perkara, serta eksekusi 108 perkara. 

Sementara data Indonesia Corruption Watch (ICW) sebagaimana dikutip oleh Kompas.com (19/05/2024) mencatat ada 791 kasus korupsi di Indonesia sepanjang tahun 2023, jumlah tersangkanya mencapai 1.695 orang. Data tersebut menunjukkan kasus korupsi di tanah air meningkat signifikan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, dengan perbandingan sebagai berikut: Tahun 2019: 271 kasus, 580 tersangka. Tahun 2020: 444 kasus, 875 tersangka. Tahun 2021: 533 kasus, 1.173 tersangka. Tahun 2022: 579 kasus, 1.396 tersangka. Sedangkan tahun 2023: 791 kasus, 1.695 tersangka. 

Terbaru, praktik korupsi sekarang justru menyasar para hakim yang ditugaskan untuk mengadili para pelaku kejahatan korupsi. Hakim yang seharusnya membuat putusan berdasarkan irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa” Malah tergoda uang sehingga irah-irah putusanya berganti menjadi “demi keadilan berdasarkan keuangan yang maha kuasa”.

Kebijakan Kenaikan Gaji Hakim Perlu Ditinjau Ulang 

Salah satu kampanye dan janji Presiden Indonesia terpilih, Prabowo Subianto adalah akan memastikan kesejahteraan para hakim-hakim di Indonesia, angin segar ini tentunya disambut suka-cita oleh para pengadil tersebut. Salah satu diskursus sejak dulu kenapa banyak praktik mafia peradilan yang melibatkan hakim adalah isu rendahnya gaji para wakil Tuhan tersebut tapi diberikan beban kerja amat berat. 

Penulis sendiri tidak begitu antusias dengan rencana kebijikan Presiden Prabowo untuk menaikan gaji hakim, bukan masalah apa-apa, penulis berpandangan, tidak ada korelasi siknifikan antara kenaikan gaji dengan integritas hakim. Praktik korupsi khususnya yang dilakukan oleh hakim adalah berkaitan dengan “mental” wakil Tuhan itu. 

Dalam bahasa para pakar lain dikatan sebagai integritas hakim. Padahal dilain sisi, penulis pernah mendengar secara langsung dari hakim-hakim yang berintegritas yang mentalnya bagus, bahwa gaji hakim sekarang sejatinya sudah cukup untuk hidup layak, sepanjang tidak neko-neko. 

Ini artinya, perilaku hakim yang tidak berintegritas tersebut tidak semata-mata disebabkan karena gaji yang rendah, akan tetapi sikap mentalnya. Mau seberapa tinggi gajinya apabila sikap mentalnya buruk maka akan tetap tergoda dengan jumlah uang suap yang tidak berseri itu. 

Korelasi antara kenaikan gaji hakim dengan kinerja serta integritasnya hanya sebatas asumsi, Karena belum pernah dibuktikan, setidaknya dalam sebuah penelitian resmi yang mengatakan hal itu. Sekali lagi penulis katakan, korupsi tidak ada obat, oleh karenanya, wacana kenaikan gaji hakim perlu ditinjau ulang.

Sanksi Pidana Mati bagi Koruptor 

Omon-omon pemberian sanksi tegas kepada koruptor dengan menghukum mati sejatinya sudah sering dilontarkan setiap orang, karena sangking geramnya terhadap perilaku korup para penyelenggara negara dan swasta yang terlibat kong-kalikong itu. Dilain pihak, Sampai hari ini, Belum ada dalam sejarah koruptor di Indonesia dijatuhi hukuman mati. 

Paling berat koruptor hanya dijatuhi hukuman seumur hidup, itupun bisa dihitung dengan jari, misalnya vonis seumur hidup mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar, koruptor kedua adalah Adrian Waworuntu, Pembobol BNI 46 cabang Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, pada awal 2003 dengan nilai Rp 1 triliun lebih dan terakhir yaitu, Brigjen Teddy Hernayadi, dijatuhi vonis seumur hidup oleh Mahkamah Militer karena melakukan korupsi anggaran Alutsista 2010-2014.

Secara regulasi memungkinkan pelaku korupsi dijatuhi pidana mati, satu-satunya pasal dalam UU No.31 Tahun 1999 jo UU No 20 Tahun 2001 tentang Korupsi, yang mengancam pidana mati hanya diatur di pasal 2, Naasnya, pasal tersebut berlaku limitatif, kerena pemberlakukan pasal 2 UU Korupsi digantungkan dengan syarat-syarat yang ketat.

Diantaranya apabila korupsi dilakukan pada saat negara dalam keadaan bahaya, pada waktu terjadi bencana alam nasional atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter.

Kebijkan hukum pidana dalam perumusan pasal 2 UU Korupsi tersebut tentu tidak efektif, sehingga berdampak pada efektifitas penegakan hukum perkara korupsi, pembuat undang-undang terlihat gamang untuk memberikan sanksi hukuman mati pada koruptor karena dapat ditebak itu akan menjadi boomerang bagi politisi atau pejabat negara itu sendiri.

Hipotesis penulis tentang korupsi tidak ada obat masih dapat direvisi dengan mencoba alternatif baru yaitu memberikan hukuman mati terhadap pelaku tindak pidana korupsi. 

Langkah tersebut harus dibarengi dengan merevisi UU korupsi dengan menghapus syarat limitative yang ada di pasal 2 serta dibarengi keberanian dan kekonsistenan hakim dalam menjatuhkan pidana mati terhadap koruptor. Tentu saja hal demikian harus dengan landasan hukum yang kuat serta hati nurani hakim yang bersih.

***

*) Oleh : Endik Wahyudi, SH., MH., Dosen Fakultas Hukum Universitas Esa Unggul Jakarta.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Malang just now

Welcome to TIMES Malang

TIMES Malang is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.