TIMES MALANG, MAGELANG – Permasalahan ketidakadilan terhadap dosen yang menyandang status pekerja Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemdiktisaintek) akan menghadapi babak baru yakni realisasi tunjangan kinerja (tukin).
Melalui Peraturan Presiden (Perpres) Republik Indonesia Nomor 19 tahun 2025 tentang Tukin di lingkungan Kemdiktisaintek, dosen selaku salah satu jenis pekerja pada kementerian tersebut akan menerima tukin.
Penerimaan tukin oleh dosen Kemdiktisaintek diperkuat dengan diterbitkannya Peraturan Menteri Kemdiktisaintek Nomor 23 tahun 2025 tentang pemberian tukin yang ditandatangani 15 April 2025.
Hal ini cukup melegakan bagi sebagian dosen di kementerian tersebut, termasuk dosen-dosen yang tergabung dalam Aliansi Dosen Aparatur Sipil Negara Kemdiktisaintek (ADAKSI).
ADAKSI yang awalnya diinisiasi perkumpulan Pejuang Tukin. Seiring berjalannya waktu, pembentukan ADAKSI dipilih agar perjuangan untuk mengembalikan hak tukin dosen Kemdiktisaintek lebih terorganisasi. Pasca terbitnya Perpres 19/2025, kelanjutan eksistensi ADAKSI berpotensi akan berubah.
Solidaritas Sebatas Tukin?
Kemunculan ADAKSI sebenarnya bisa dikatakan sebagai lahirnya sebuah gerakan sosial yang diciptakan oleh dosen Kemdiktisaintek. Gerakan sosial adalah sekelompok orang yang terorganisasi membawa kesepakatan kolektif dan mewujudkan kesepakatan tersebut dalam serangkaian protes. Kesepakatan kolektif muncul akibat adanya ketidakadilan dari otoritas. (Tilly, 2004).
Sejak medio 2024, ADAKSI memulai protes, dimulai dari konsolidasi daring oleh penggagas Pejuang Tukin. Konsolidasi ini lambat laun merangkul massa dan juga aksi protes lainnya, seperti dengar pendapat di parlemen, opini kritis di media massa, wawancara dengan media arus utama, pengiriman karangan bunga di kementerian, hingga unjuk rasa pada Februari 2025.
Dilihat dari sepak terjangnya, ADAKSI telah menerapkan aksi repertoar, serangkaian protes sebagai wujud nyata perjuangan gerakan sosial. Direspon oleh pihak yang ditarget, ADAKSI, menurut Tarrow (1998), telah menunjukkan siklus perlawanan dari gerakan sosial. Namun, tantangan sebenarnya justru setelah Perpres 19/2025 ditandatangani.
Pertama, ADAKSI bisa saja meredup jika tidak menegaskan kesepakatan kolektif sejatinya adalah ketidakadilan yang dialami dosen ASN Kemdiktisaintek, bukan sekadar pencairan tukin.
Apabila ADAKSI masih belum menanamkan nilai ideologis terkait ketidakadilan tersebut. Simpatisan gerakan akan berhenti terhitung tukin diterima karena tujuan telah tercapai.
Perlu diingat, gerakan sosial hidup dari kesepakatan kolektif. Tercapainya kesepakatan kolektif akibat buat perjuangan mengakhiri semangat gerakan sosial.
Kedua, ADAKSI juga masih memiliki pekerjaan rumah untuk setidaknya mempertahankan jumlah simpatisan. Perpres 19/2025 berpotensi memecah solidnya simpatisan yang sudah ada sekarang karena aturan tersebut hanya memberikan tukin untuk perguruan tinggi negeri satuan kerja (PTN Satker) dan PTN badan layanan umum (BLU) yang belum menerapkan remunerasi.
Bagi pegawai PTN Satker dan PTN BLU yang memperoleh tukin, pencairan tukin berpeluang menurunkan semangat untuk berkumpul apabila tidak diimbangi dengan pemahaman pentingnya menghadapi ketidakadilan, bukan semata-mata memperoleh tukin. Bagi pegawai PTN berbadan hukum (PTNBH) atau PTN BLU yang menerapkan remunerasi, tidak diberikannya tukin bisa menimbulkan kecemburuan.
Tilly (2004) mengingatkan bahwa jumlah simpatisan salah satu fondasi perjuangan melawan ketidakadilan dapat mencapai kesuksesan. Konsekuensi dari pecahnya solidaritas dosen ASN Kemdiktisaintek dapat menggagalkan keadilan yang diperjuangkan.
Ketiga, aksi repertoar yang dibangun ditantang oleh konsistensi. Rutinitas aksi dalam berbagai bentuk perlu diterapkan agar semangat gerakan sosial terjaga. ADAKSI juga memiliki pekerjaan rumah untuk melawan apatisme dosen serta memikirkan aksi berkelanjutan.
Tantangan padamnya aksi repertoar juga dapat berupa jebakan seremonial, hal-hal yang bersifat ritual, seperti rapat pembentukan organisasi. Memang, satu sisi, formalisasi gerakan dapat memperkuat. Namun, penguatan bisa terjadi bila aktivitas seremonial tidak mendominasi.
Akhir kata, nasib ADAKSI ada di tangan oleh dosen ASN Kemdiktisaintek sendiri, apakah hanya mengingikan tukin atau perbaikan lingkungan kerja? Atau, apakah mereka tetap memilih berdiam diri atau berkontribusi pada aksi repertoar? (*)
***
*) Oleh : Yohanes Ivan Adi Kristianto, Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik dan Ketua Centre of Politics and International Studies (POLIS), Universitas Tidar.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |