https://malang.times.co.id/
Opini

Tantangan Identitas Melayu terhadap Sistem Hukum di Thailand

Senin, 20 Januari 2025 - 22:17
Tantangan Identitas Melayu terhadap Sistem Hukum di Thailand Husasan Tayeh, Mahasiswa asal Patani Thailand selatan yang sedang studi di Prodi Magister Hukum Universitas Islam Indonesia Yogyakarta.

TIMES MALANG, THAILAND – Kami, pemuda patani, selaku anak bangsa, berjanji. Hidup Pemuda, harapan bangsa. Demi kesatuan panji wahdah ummah.

Suara pembacaan ikrar oleh perwakilan pemuda, disertai gemuruh suara puluhan ribu pemuda yang turut membaca bersama, menciptakan fenomena baru di masyarakat melayu patani. Fenomena ini tidak hanya mengguncang masyarakat melayu, tetapi juga masyarakat Thailand secara umum. 

Puluhan ribu orang berkumpul dengan pakaian khas (busana melayu), berbicara dalam bahasa yang berbeda dari pusat, dan bersama-sama menyerukan sesuatu dengan semangat tinggi.

Patani, dengan mayoritas penduduknya beretnis Melayu Muslim, telah lama menjadi kawasan yang menghadapi tantangan besar dalam mempertahankan identitas budayanya. Dalam acara “melayu raya,” ikrar pemuda yang menggema adalah bentuk nyata kebangkitan generasi muda untuk mempertahankan warisan budaya. 

Namun, reaksi dari pemerintah melakukan represi bahkan ketidakpercayaan terhadap ekspresi budaya ini. Labelisasi kegiatan tersebut sebagai potensi ancaman keamanan hanya mencerminkan ketidakmampuan negara dalam mengelola keragaman budaya.

Ikrar Pemuda Petani 

Pagi hari 4 Mei 2022, iring-iringan kendaraan, baik motor maupun mobil, datang dari berbagai penjuru menuju satu tujuan: pantai taluban, patani.

Acara ini adalah pertemuan besar pemuda berpakaian melayu yang dihadiri hampir seluruh Patani, dengan tema “melayu raya”, adapun “Ikrar pemuda sepatani” sebagai puncak acara.

Kami pemuda Patani sebagai penerus cita-cita berjanji. Pemuda adalah harapan bangsa. Demi kepentingan tujuan tertinggi “wahdah ummah.”

Suara ikrar yang menggema di Pantai Taluban diakhiri dengan seruan takbir, “AllahuAkbar,” sebagai bentuk pujian atas kebesaran Allah SWT. acara pun selesai, dan peserta kembali ke daerah masing-masing.

Namun, meski acara pertemuan pemuda Melayu ini telah selesai, reaksi dari pihak keamanan belum berakhir. Pihak keamanan mulai mencemaskan potensi dampaknya terhadap stabilitas wilayah. 

Hal ini memicu pertemuan antara pihak militer dan organisasi masyarakat sipil, termasuk CAP (Civil Society Assembly for Peace) yang dipimpin oleh Muhammad Aladee Dengni. 

Dalam pertemuan di Hotel CS Patani, militer berjanji tidak akan mengeluarkan perintah intimidasi atau represi militer.

Melayu Raya Identitas atau Ancaman?

Acara melayu raya memunculkan perhatian besar terhadap isu hak berekspresi, keadilan budaya, dan kesetaraan etnis di Thailand. Sebuah kegiatan yang dirancang sebagai ekspresi budaya justru dihadapkan pada ancaman hukum, dengan beberapa pihak menganggap acara ini dapat “mengancam keamanan nasional.”

Kejadian ini menunjukkan kompleksitas pengelolaan keberagaman budaya di wilayah yang penuh sensitivitas etnis dan politik. 

Penggunaan hukum untuk menafsirkan acara budaya sebagai ancaman keamanan menciptakan gesekan antara negara dan masyarakat patani, merusak kepercayaan yang sangat dibutuhkan dalam proses perdamaian.

Konflik Hak dan Pengakuan

Dalam proses pembahasan RUU Perlindungan dan Promosi Kehidupan Etnis pada Januari 2025, istilah “penduduk asli” diperdebatkan secara sengit. 

Beberapa anggota parlemen mengusulkan penghapusan istilah ini karena dianggap bertentangan dengan kepentingan keamanan nasional. Ketakutan akan potensi kemerdekaan di wilayah selatan menjadi alasan utama penghapusan istilah ini.

Penghapusan istilah “penduduk asli” mencerminkan keengganan pemerintah untuk mengakui keberadaan legal dan hak etnis tertentu, serta menunjukkan kegagalan dalam menghormati identitas dan budaya yang berbeda.

Kasus melayu raya, penghapusan istilah “penduduk asli,” dan pendekatan hukum terhadap ekspresi budaya menunjukkan tantangan besar yang dihadapi Thailand dalam mengelola keberagaman etnis. 

Pendekatan yang mengedepankan keamanan tanpa menghormati hak dan identitas hanya akan memperdalam jurang ketidakpercayaan antara negara dan masyarakat lokal.

Harapan Perdamain

Melayu Raya mengingatkan kita akan pentingnya pengakuan identitas sebagai bagian dari Proses perdamaian yang inklusif. Pemerintah harus melihat acara seperti ini sebagai peluang, bukan ancaman. Dialog yang menghormati hak budaya dan identitas dapat menjadi fondasi penting untuk membangun kepercayaan dan perdamaian.

Komitmen nyata dari pemerintah, termasuk penyelesaian kasus hukum dengan adil dan pengakuan terhadap hak dan etnis Melayu, akan dapat menciptakan ruang yang lebih aman dan harmonis sehingga tercapai perdamaian yang hakiki.

***

*) Oleh: Husasan Tayeh, Mahasiswa asal Patani Thailand selatan yang sedang studi di Prodi Magister Hukum Universitas Islam Indonesia Yogyakarta.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi TIMES Indonesia.

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Pewarta : Hainorrahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Malang just now

Welcome to TIMES Malang

TIMES Malang is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.