TIMES MALANG, MALANG – Setiap tahun, pemerintah menggulirkan berbagai program sosial dengan jargon besar: “pemberdayaan masyarakat”, “pengentasan kemiskinan”, hingga “transformasi ekonomi inklusif.” Tapi di balik retorika yang indah itu, kita perlu bertanya dengan jujur: sejauh mana program-program itu benar-benar menyentuh akar persoalan rakyat kecil?
Kebijakan sosial di Indonesia kerap hadir dalam bentuk yang megah di atas kertas, namun kehilangan nyawa saat bersentuhan dengan realitas lapangan. Program bantuan, pelatihan, atau subsidi sering berhenti pada seremoni peluncuran, tanpa memastikan dampak jangka panjangnya. Akibatnya, yang tumbuh bukan kemandirian, melainkan ketergantungan.
Kita bisa lihat misalnya dari fenomena bantuan sosial pascapandemi. Data dan laporan menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat penerima bantuan justru mengalami “kejenuhan sosial”: mereka menunggu bantuan, bukan berdaya setelahnya.
Ketika bantuan berakhir, kemiskinan kembali seperti semula. Ini menunjukkan bahwa banyak program pemerintah masih bersifat karitatif- memberi, tapi tidak memberdayakan.
Masalahnya bukan semata pada niat baik pemerintah, tetapi pada cara pandang. Selama paradigma kebijakan masih top-down di mana rakyat dianggap sebagai penerima, bukan pelaku maka program sosial akan terus terjebak pada pola lama: menyembuhkan gejala, bukan mengatasi akar masalah.
Sosiolog Emile Durkheim pernah mengatakan bahwa masyarakat adalah sistem yang hidup, dan setiap kebijakan harus memahami “moral collective” di dalamnya. Sayangnya, banyak program pemerintah gagal membaca konteks sosial kultural masyarakat lokal.
Sebuah program pemberdayaan ekonomi, misalnya, sering dipaksakan dengan pola pelatihan yang sama di semua daerah tanpa melihat karakter ekonomi, budaya, dan struktur sosial masing-masing wilayah.
Akibatnya, alih-alih memperkuat masyarakat, program semacam itu malah menciptakan alienasi: masyarakat menjadi penonton dari proyek yang seharusnya mereka miliki.
Lihat saja program “Desa Digital”, “Kartu Prakerja”, atau “Smart City” di berbagai daerah. Secara konsep, semua tampak visioner. Tapi apakah semua masyarakat siap? Apakah ekosistem pendukungnya sudah matang?
Banyak desa yang belum memiliki jaringan internet stabil dipaksa mengikuti pelatihan digitalisasi. Banyak warga yang bahkan tidak punya gawai memadai dipasangkan dalam sistem aplikasi online.
Inilah bentuk kesenjangan sosial baru yang jarang dibicarakan: kesenjangan akses terhadap program negara. Dalam istilah sosiologi pembangunan, ini disebut policy gap jarak antara desain kebijakan dan realitas sosial.
Kesenjangan ini diperparah oleh budaya birokrasi yang masih berorientasi pada output, bukan outcome. Selama indikator keberhasilan diukur dari berapa banyak bantuan disalurkan atau pelatihan diadakan, maka substansi sosial akan selalu dikalahkan oleh laporan statistik. Padahal, yang penting bukan berapa banyak uang yang turun, tapi sejauh mana kesadaran dan kemandirian masyarakat tumbuh.
Dalam kerangka sosial, kebijakan seharusnya dilihat bukan sebagai proyek, tapi proses. Pemerintah perlu menempatkan masyarakat sebagai subyek perubahan. Artinya, kebijakan harus membuka ruang partisipasi, bukan sekadar mendata penerima. Di sini penting konsep social inclusion di mana masyarakat ikut dalam tahap perencanaan, pelaksanaan, hingga evaluasi program.
Pemerintah sering lupa bahwa kebijakan sosial tidak bisa hanya berbasis anggaran; ia harus berbasis kepercayaan dan empati. Banyak masyarakat di akar rumput yang sebenarnya tahu bagaimana cara keluar dari kemiskinan, hanya saja mereka tak pernah benar-benar dilibatkan.
Sosiolog Anthony Giddens menyebut hal ini sebagai double hermeneutic kesenjangan antara cara pemerintah memahami masyarakat dan cara masyarakat memahami dirinya sendiri. Ketika dua pemahaman ini tak pernah bertemu, maka kebijakan akan terus gagal membumi.
Kita punya banyak contoh kecil yang membuktikan sebaliknya. Program pemberdayaan berbasis komunitas, koperasi desa, atau gerakan ekonomi pesantren menunjukkan bahwa ketika masyarakat diberi ruang dan kepercayaan, mereka bisa menciptakan perubahan nyata. Di sana, pemerintah berperan bukan sebagai penguasa program, tetapi sebagai fasilitator nilai.
Pendidikan sosial dan literasi ekonomi juga harus menjadi bagian integral dari setiap kebijakan. Masyarakat tidak cukup hanya diberi “bantuan”, tetapi juga “makna” di baliknya kesadaran bahwa program bukan sekadar bagi-bagi, tetapi bagian dari pembangunan martabat.
Kini, Indonesia sedang berlari menuju visi besar 2045. Tapi visi tanpa kesadaran sosial hanya akan menjadi mimpi kosong. Sebagus apapun programnya, jika masyarakat tetap diposisikan sebagai obyek, maka hasilnya hanya ketimpangan baru dengan wajah berbeda. Kita membutuhkan paradigma baru kebijakan sosial yang berbasis nilai-nilai kemandirian, partisipasi, dan keberlanjutan.
Negara tidak boleh sekadar hadir di televisi dengan janji program, tapi hadir dalam keseharian rakyat dengan kepekaan dan keberpihakan nyata. Sejatinya, ukuran keberhasilan negara bukan pada seberapa banyak program yang dicanangkan, tetapi seberapa banyak wajah rakyat yang benar-benar tersenyum karenanya. (*)
***
*) Oleh : Hayat Abdurrahman, Ketua PMII Komisariat Unisma.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
| Pewarta | : Hainor Rahman |
| Editor | : Hainorrahman |