Kopi TIMES

Menakar Moralitas Publik dalam Perspektif Pendidikan

Jumat, 01 Oktober 2021 - 19:25
Menakar Moralitas Publik dalam Perspektif Pendidikan Galan Rezki Waskita (Kader HMI Malang).

TIMES MALANG, MALANG – Di zaman yang serba ada ini, pendidikan merupakan sesuatu yang sangat gampang di dapat. Duduk di emperan rumah dengan seorang sarjana sudah cukup untuk mendapatkan 3 sks mata kuliah. Belajar tidaklah sesulit Bukhari mengumpulkan hadits Rasulullah Saw. Terlebih, setiap orang selalu berhak memperoleh predikat shahih dari apa yang didapati.

Meski kita menyadari, beberapa waktu lalu kegiatan sosial masyarakat sangat terbatas. Hal ini juga termasuk perkara pendidikan. Tapi belajar pada dasarnya telah hidup berdampingan dengan kata merdeka. Tidak ada hasil berpikir yang berakhir sia-sia. Terutama, jika kita mau membedah kebijakan Pemerintah. 

Selama pandemi, digitalisasi adalah kiat-kiat yang dilakukan dalam upaya merawat nalar. Tanggungan biaya pendidikan juga mendapat disubsidi. Kurikulum diperbaharui untuk mengejar mana yang menjadi substansi. Hal ini juga termasuk mengadakan teori belajar konstruktivisme.

Belajar Dari Rumah (BDR) juga upaya yang pernah dilakukan, agar setiap kepala memperoleh secangkir kebijaksanaan setiap harinya. Semua tidak lagi menyoal kuota internet asalkan nalar tidak konslet. Semua adalah soal mau dan rasa takut menjadi tidak tahu.

Tentu masih segar diingatan bahwa sebuah regulasi diadakan berdasarkan kerangka rasionalitas yang jelas. Dalam hal ini adalah berkenaan dengan pengendalian Covid-19. Sehingga, diperlukan standar moral yang cukup tinggi dalam membangun kesepahaman. Akan tetapi, saling  mengerti rupanya memiliki limit kuotanya sendiri.

Selasa, 28 Juli 2020 Kemendikbud rilis 79 sekolah yang melakukan pelanggaran protokol kesehatan. Poin ini menunjukkan bahwa aturan-aturan dipandang sebagai sesuatu yang tidak perlu diindahkan. 79 sekolah tersebut berdiri telah berdiri dalam pahamnya masing-masing. 

16 September lalu, Pendidikan Tatap Muka Terbatas (PTMT) dibuka kembali dengan dalil mempertimbangkan keluhan guru dan orang tua siswa. Pemerintah berupaya mengikuti kebutuhan atas pandangan yang menyebut BDR tidak lagi efektif.

Akan tetapi, bersamaan dengan kebijakan ini pula, terdapat sekolah Kabupaten Bandung, Sragen, Samarinda, dan beberapa daerah lainnya abai terhadap syarat Prokes. Mereka adalah orang-orang yang kesulitan memahami kata “terbatas”. Atau mungkin, mereka adalah orang dengan standar moralitas publik yang berbeda.

Sementara, moralitas publik yang sejati adalah paham yang meletakkan pendidikan sebagai skala prioritas tertinggi. Pendidikan yang dimaksud adalah kemampuan untuk menafsirkan kebijakan secara utuh, termasuk sebab musababnya.

Harus diakui, sekolah tidak bisa pandang sebagai sisi parsial dari publik. Mereka adalah entitas besar manusia yang terdiri dari siswa, guru dan wali murid. Maka dalam kesimpulan yang sederhana, pelanggaran ini adalah kesepakatan yang terstruktur.

Di sisi lain, Kemdikbud mendapat apresiasi dari BPK dan DPR terkait pengelolaan anggaran. Hal ini adalah bentuk pertanggungjawaban administratif Pemerintah dalam melayani masyarakat. Namun dari fenomena yang terpapar di atas, apakah semua berjalan sesuai rencana? Dengan apa yang terjadi, sisi paradoks justru semakin tergambarkan. Masyarakat kian menolak adanya perbaikan.

Imam Al Ghazali dalam pemikiran filsafat kausalitasnya telah menerangkan, pemicu selalu korelatif dengan hasil. Artinya upaya yang diterapkan Pemerintah mestinya memiliki dampak yang baik.

Maka kebijakan PTMT semestinya membuat pola pembelajaran lebih efektif dari BDR. Teknisnya ditentukan 25% siswa dari kapasitas normal tiap kelas. Jumlah pertemuan maksimal dan durasinya juga diatur. Rasionalisasinya menegaskan bahwa metode ini untuk mencegah penyebaran virus.
Namun pelanggaran yang terjadi berpotensi menyalahi hukum kausal yang diupayakan, karena memantik klaster virus dalam masyarakat. Sayangnya, inilah moralitas publik yang sedang berlaku.

Hampir 2 tahun masyarakat Indonesia berada dalam otonomi pikirannya masing-masing. Seharusnya terdapat bentuk evaluasi diri para pendidik dalam memperjalankan pendidikan. Hal ini karena pada beberapa kondisi, diam dan terkurung adalah tanda keluasan pikiran.
Semua tergantung bagaimana sebuah perspektif  diletakkan dalam sikap realistis. Masyarakat butuh untuk merawat tradisi kausal untuk dapat mengukur suatu tindakan.

Dengan demikian, moralitas publik yang sejati akan terbentuk. Pendidikan kemudian menjelma sebagai cara pandang yang komprehensif terhadap  manusia dengan segala kompleksitasnya. Ilmu pengetahuan tidak lagi sebatas kebutuhan melainkan mukjizat dari Tuhan.

***

*) Oleh: Galan Rezki Waskita (Kader HMI Malang).

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

***

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

Pewarta :
Editor : Wahyu Nurdiyanto
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Malang just now

Welcome to TIMES Malang

TIMES Malang is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.