https://malang.times.co.id/
Kopi TIMES

Problematik Sistem Zonasi Kota Batu

Jumat, 17 Maret 2023 - 13:37
Problematik Sistem Zonasi Kota Batu Muhammad Wahyu Prasetyo Adi / Magister Ilmu Sosial Universitas Brawijaya.

TIMES MALANG, MALANG – Desentralisasi bukan menjadi hal baru di lingkungan sistem pemerintah Indonesia. Dari 35 provinsi yang berada di negara Indonesia, praktik desentralisasi dilakukan secara bertingkat.

Tingkatan pertama dilakukan oleh provinsi sedangkan tingkatan kedua dilakukan oleh kota/kabupaten. Salah satunya Kota Batu, dalam proses pengejawantahan nilai-nilai desentralisasi kepemerintahan Indonesia, Kota Batu tidak lepas dari tupoksi yang telah dibebankan kepada daerah otonomnya. Seperti layaknya pemerintah daerah pada umumnmya, pengaktualisasian desentalisasi dilakukan oleh secara struktural, di mana kepala eksekutif dibantu oleh dinas-dinas yang berkaitan sesuai dengan orientasi masing-masing.

Salah satunya yang saat ini menjadi perhatian khusus di lingkungan desentralisasi Kota Batu adalah aspek Pendidikan. Selama kurang lebih dua tahun sistem pendidikan mulai transisi ke arah yang dianggap lebih baik, yaitu sistem Zonasi. Sistem ini merupakan terobosan baru dari pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah yang terlegalkan melalui Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 14 Tahun 2018 yang menggantikan Permendikbud Nomor 17 Tahun 2017 tentang PPDB, yang menyebutkan pada pasal 16 pemerintah daerah wajib menerima calon peserta didik yang berdomisili pada radius zona terdekat. 

Sistem zonasi ini dianggap menjadi inovasi dalam rangka meminimalisir angka ketimpangan pendidikan yang saat ini selalu menjadi masalah berkelanjutan. Selama ini, sekolah unggulan yang terkesan menjadi sekolah terbaik akan diisi oleh cakupan mereka yang mampu memenuhi syarat khusus dari sekolah yang akan dituju, namun semenjak adanya sistem zonasi akan lebih menghadirkan populasi kelas yang heterogen. Di mana calon peserta didik tidak terpusat pada cakupan mereka yang mampu memenuhi standart sebelumnya. Sehingga kreatifitas-kreatifitas pendidik menjadi lebih tergugah dalam memaksimalkan proses pembelajaran.

Selain itu, slogan semua bisa sekolah merupakan orientasi dasar berikutnya yang berasal dari pemerintah pusat untuk mengedepankan aspek keadilan bagi seluruh entitas masyarakat daerah dalam memperoleh kesempatan seluas-luasnya untuk memperoleh pendidikan  Sama halnya di lingkungan Pendidikan Kota Batu saat ini, sekolah favorit memang ada keberadaannya. Ini sebuah keniscayaan atas sistem pendidikan sebelum zonasi diberlakukan. Sekolah favorit atau biasa juga disebut sekolah unggulan di lingkungan Kota Batu berada pada daerah-daerah tertentu terutama didaerah Perkotaan.

Maka tidak heran ketika banyak sekali peminatnya bahkan jauh dari jangkauan zonasi. Namun, sejak berlakunya sistem Zonasi ini mayoritas siswa yang menjadi bagian dari lingkungan sekolah merupakan warga sekitar yang terpapar radius tertentu. Untuk bagian radius yang tidak memenuhi syarat akan secara otomatis menjadi lebih berat dalam mengikuti seleksi awal. Sehingga potensi tidak diterimanya juga menjadi lebih besar.

Pemberlakuan sistem Zonasi ini, juga tidak seluruhnya dapat berjalan dengan maksimal sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan. Terdapat beberapa celah yang dianggap lengah oleh masyarakat, sehingga dalam konteks ini masyarakat dapat menyisati sistem tersebut dengan memindahkan KK calon peserta didik ke lingkungan saudara mereka yang memiliki tempat strategis dalam cakupan radius sekolah favorit. Hal ini pun berjalan sesuai siasat yang telah mereka lakukan sebelumnya, peserta didik menjadi puas dalam menikmati fasilitas sekolah favorit yang terkesan lebih maju ketimbang sekolah-sekolah lainnya.

Permasalahan tersebut dalam beberapa tahun kebelakang seakan-akan menjadi hal yang lumrah bagi masyarakat, namun pemerintah di sini seakan-akan termanipulasi oleh kebijakannya sendiri. Sebuah paradoks yang terlahir atas dasar kebijakan ternyata memang benar adanya. Peserta didik menjadi lebih terpusat pada cakupan sekolah sekolah tertentu yang memiliki indeks pembangunan sekolah lebih tinggi, mereka seakan-akan menolak ketika disekolahkan di tempat yang dianggap kurang maju dalam konteks pembangunan.

Padahal sistem zonasi merupakan upaya pemerintah dalam mereformasi sistem pembelajaran, sehingga kualitas pendidikan diharapkan dapat meningkat secara bertahap. Di sisi lain, dengan adanya sistem zonasi ketimpangan kualitas peserta didik menjadi rata di setiap daerah, siswa yang dianggap berprestasi tidak terpusat di lingkungan sekolah favorit saja, maka mau tidak mau mereka harus mendaftar lingkungan sekolah terdekat sesuai dengan radius sekitar 

Mengingat bahwa Kota Batu saat ini, pembangunan hanya terpusat di daerah perkotaan, yaitu di lingkungan kelurahan Sisir, Temas, Songgokerto dan kelurahan kelurahan sekitarnya. Sehingga tidak heran ketika kemauan masyarakat pedesaan ingin juga merasakan apa yang dirasakan oleh mereka di lingkungan perkotaan. Meskipun Kota Batu dapat dikatakan sebagai Kota yang kecil, akses menuju perkotaan-pun sangad mudah dijangkau dari lingkungan pedesaan. Tidak menutup kemungkinan bagi calon peserta didik untuk tetap menuruti hasrat kemauan mereka dalam menikmati fasilitas sekolah terbaik di lingkungan Kota Batu.

Kondisi ini-pun menyebabkan pemerintah perlu memberikan upaya-upaya strategis guna pemerataan pendidikan tidak terkesan di lingkungan perkotaan saja. Sehingga masyarakat menjadi lebih menerima sekolah-sekolah di daerah mereka yang telah disediakan oleh pemerintah. Di sisi lain, evaluasi yang dilakukan harus dapat menghasilkan sebuah proyeksi dengan jangka lebih baik dan maksimal, mengingat saat ini kuota zonasi dapat dikatakan cukup besar, yakni berada pada angka 55%, berbeda dengan jalur lainnya yang hanya memiliki rentan sebagai berikut; afirmasi 20%, perpindahan 5%, prestasi akademik 5% dan non akademik 10%

Label sekolah favorit atau sekolah unggulan pada dasarnya merupakan bentuk citra masyarakat atau warga sekitar terhadap perkembangan sekolah tersebut. Kontestasi anatar sekolah secara tidak langsung melalui akademik maupun non akademik telah melahirkan berbagai asumsi masyarakat yang berdampak pada label sekolah tertentu. Sehingga konsekuensi ini menjadi sulit untuk ditolak warga sekitar dalam menetralisir potret atau pandangan kebelakang. Sejarah telah mencetak sebuah kenangan yang cukup matang, sehingga sekolah unggulan atau sekolah favorit otomatis akan sulit untuk dimasuki kecuali dengan prestasi-prestasi tertentu dari individu calon peserta didik. Kompetisi yang begitu ketat dibarengi dengan fasilitas yang cukup lengkap, juga menjadi pertimbangan khusus untuk memaksimalkan menjadi bagian dari sekolah unggulan.

Sehingga sejak diberlakukannya sistem zonasi ini, wali murid atau lebih tepatnya masyarakat kota batu akan berupaya memaksimalkan anakknya untuk dapat menikmati indahnya sistem pendidikan sekolah-sekolah unggulan tersebut. Tidak ada kata rugi bagi mereka ketika memasukkan atau menjadikan salah satu anggota keluarganya untuk menjadi bagian dari peserta didik sekolah unggulan. Citra yang didapatkan dari nama baik sekolah secara langsung akan menempel juga pada tubuh calon peserta didik. Besar atas nama institusi yang ia tunggangi otomatis juga akan memberikan kesan tersendiri bagi lingkungan keluarganya dalam memberikan status sosial pada calon peserta didik. Maka tidak heran prevalensi antusiasme wali atlit dalam memaksimalkan anaknya untuk ikut bergabung dalam sekolah unggulan cukup besar.
Sebuah Tawaran Solusi Sistem Zonasi

Maka dari itu, langkah-langkah preventif pemerintah diharapkan dapat digodok lebih matang. Sehingga melupakan kenangan atau citra sekolah unggulan dapat lebih progresif. Salah satunya melalui sosialisasi secara intensif di lingkungan distrik-distrik tertentu terkait pemerataan kapabilitas sekolah negeri, karena sistem zonasi dimaksud untuk menyeratakan kualitas pendidikan dan meniadakan istilah sekolah unggulan  . Akibatnya, angka ketimpangan pendidikan terutama terkait prestasi yang terkesan masih besar dapat lebih berkurang dan seimbang antara sekolah unggulan dengan sekolah lainnya.

Sosialiasi tersebut juga tidak hanya berhenti pada cakupan distrik-distrik tertentu, lebih baik lagi jika dilakukan dengan sosialisasi dari satu rumah ke rumah yang lain. Sehingga intensitas pengetahuan terkait pendidikan menjadi lebih baik lagi. Dengan begitu, masyarakat secara bertahap mulai meninggalkan atau melupakan sejarah yang telah dibentuknya sendiri, hegemoni yang dilakukan oleh pemerintah juga tetap perlu dievaluasi guna meningkatkan kadar sosialisasi lebih massif lagi.

   Setelah dilakukannya sosialisasi, pemerintah dapat melalui sekolah-sekolah negeri memberikan tawaran terkait progam yang lebih matang dan menggairahkan. Ini merupakan tahap awal bagi sekolah-sekolah yang dalam konteks belum mendapatkan label sekolah unggulan dapat lebih meyakinkan beberapa calon peserta didik. Tawaran progam atau kegiatan tersebut juga harus mampu bersaing secara kompetitif dalam lingkup kesiswaan dengan sekolah-sekolah lainnya. Sehingga mampu menciptakan ketentraman pilihan calon peserta didik sekaligus dapat menjadi bagian branding sekolah dalam meyakinkan publik terkait sistem pendidikan yang akan dilakukan.

Dinamika pendidikan ini membuat pemerintah beserta jajarannya menjadi tergugah dalam menerapkan sistem zonasi dengan maksimal. Sehingga label sekolah unggulan secara bertahap dapat dilupakan dan ketimpangan pendidikan perlahan akan hilang. Kompetisi tiap sekolah-pun otomatis akan tergerak sesuai alurnya. Setelah melalui tahap sosialisasi dan tahan branding ada tahap berikutnya yang menjadi alternatif untuk memaksimalkan progam zonasi di lingkungan Kota Batu. Yaitu diperlukan juga adanya akomodasi yang memadai dalam proses pendidikan.

Akomodasi yang disediakan oleh pemerintah tersebut dapat disediakan dalam bentuk Infrastruktur sekolah yang memadai, terutama fasilitas maupun perabotan yang menjadi aspek vital proses pembelajaran, mengingat hal ini akan berdampak baik pada kontribusi lingkungan pembelajaran yang positif dan pendidikan yang berkualitas. Pembangunan infrastruktur merupakan kontribusi penting dalam lingkungan pendidikan. Selama ini, alasan lain terkait adanya kurang maksimalnya sistem zonasi juga berada pada ketimpangan infrastruktur antar sekolah.

Seperti SMP 01 di Kota Batu dapat dikatakan lebih baik dalam mengakomodir siswanya dalam menunjang kreatifitas individu mereka, sehingga tidak heran ketika wawli atlit mensiasati dokumen pendukung atau syarat utama masuk PPDB Jalur Zonasi melalui pemindahan kartu keluarga. Maka dari itu, pembelajaran tidak akan tergerak secara maksimal dan optimal jika fasilitas penunjang-pun masih kurang. Sehingga pembangunan infrastruktur harus benar-benar berorientasi pada kebutuhan sekolah, dengan begitu sirkulasi atau rantai pendidikan tidak akan terputus ditengah jalan. 

Namun, dalam menunjang proses pembangunan infrastruktur pendidikan juga perlu didukung dengan kebijakan yang memadai. Terutama terkait kebijakan percepatan pembangunan yang berpihak pada sekolah dengan frekuensi pembangungan rendah. Kebijakan percepatan secara otomatis menjustifikasi adanya kebijakan sebelumnya, dimana kebijakan tersebut dapat dibentuk melalui SK kepala daerah Kota Batu atau keputusan- keputusan tertentu, sehingga pembangunan pada sekolah-sekolah yang masih dalam kategori belum unggulan atau minim infrastruktur dapat segera mampu bersaing menjadi kompetitor yang sportif.

Konsekuensinya-pun kondusifitas antara sekolah satu dengan sekolah lainnya dapat terlahir secara normal dan optimal. Mengingat bahwa sekolah yang masih dalam tahap pemberlakuan sistem zonasi banyak yang minim dalam berbagai aspek fasilitas penunjang.

Proses pembangunan tentunya juga tidak lupa dari adanya proses penganggaran dan pengawasan. Pembangunan tidak sekedar dibangun di atas tanah, namun harus benar-benar mampu menjadi bangunan yang kokoh dan pembangunan yang bersifat berkelanjutan. Sehingga nilai dari adanya bangunan tersebut dapat sesuai dengan kegunaan dan fungsi-fungsinya. Seperti yang saat ini dilakukan oleh pemerintah Kota Batu, pemerataan pembangunan SMP di setiap daerah-daerah yang belum memiliki akses pendidikan mulai dilakukan. SMP N 07 saat ini yang masih dalam proses pembangunan dan sudah mulai memberikan pelayanan terhitung pada PPDB Juli mendatang, sehingga kebutuhan akan intelektual zona Junrejo dapat terwadahi secara maksimal tanpa harus pindah KK ke sanak saudara.

Kemudian, terkait permasalahan pemindahan kartu keluarga dari orang tua kandung menuju saudara yang berada di Kota juga perlu diminimalisir atau dibatasi secara intensif. Selama ini tindakan preventif yang dilakukan oleh Dinas Pendidikan bersama DPRD juga dapat dikatakan cukup meyakinkan, di mana calon peserta didik yang akan mendaftar di lingkungan Zonasi sekolah favorit tadi harus terhitung kurang lebih satu tahun perpindahan kartu keluarga.

Sebelumnya, pemerintah terkesan dicurangi dengan diterapkannya sistem Zonasi ini, surat keterangan domisili (SKD) sebagai syarat utama dengan merujuk paa KK telah dimanipulasi dengan perpindahan ke lingkungan terdekat sekolah yang akan dituju. Belum lagi didorong dengan angka penerimaan cukup tinggi sebesar 55%. Mengingat bahwa kesempatan ataupun dorongan untuk menyekolahkan calon perserta didik di sekolah yang memadai merupakan naluriah dari seorang orang tua atau wali murid, karena ini mendukung daya saing mereka kelak atau biasa dikenal sebagai sangu untuk masa mendatang. Tentu hal ini membuat progam zonasi terasa hambar, ketimpangan belum cukup untuk dientaskan terutama di lingkungan perkotaan yang label favorit dan unggulan masih eksis di lingkungan Kota Batu.

Kebijakan yang diambil oleh pemerintah terutama estimasi perpindahan Surat Keterangan Domisili terutama yang merujuk pada Kartu Keluarga ini dianggap efektif untuk memaksimalkan calon peserta didik tidak terpusat untuk bersekolah di perkotaan. Di sisi lain ini juga merupakan singgunggan halus bagi wali murid agar anak-anak mereka tetap memaksimalkan sekolah-sekolah di daerah mereka. Sehingga angka ketimpangan secara perlahan dapat hilang.

Problematika sistem zonasi Sekolah seyogyanya dapat diantisipasi lebih matang oleh pemerintah daerah dengan memaksimalkan sistem otonom yang dimiliki. Memang ini sebuah permasalahan yang cukup kompleks, sehingga ketika akan mengambil keputusan akan terlahir sebuah problematika baru di lingkungan masyarakat. Maka dari itu, realisasi kebijakan terkesan gagal dan stuck atau bahkan tergerak untuk kembali ke setelan awal. Namun problematik ini juga sejalan dengan adanya kebijakan baru, tentu prevalensi keberhasilan suatu progam pemerintah yang dianggap lebih baik akan lebih mudah teraktualisasi.

Zonasi-pun terlahir untuk tujuan yang baik, maka kedepannya diproyeksikan akan memberikan hasil terbaik pula. Tinggal menunggu waktu berjalan sesuai alur untuk mengetahui tingkat keberhasilan sejauh mana pendidikan akan mampu berorientasi pada hakikat keadilan.

***

*) Oleh : Muhammad Wahyu Prasetyo Adi / Magister Ilmu Sosial Universitas Brawijaya.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

Pewarta :
Editor : Ronny Wicaksono
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Malang just now

Welcome to TIMES Malang

TIMES Malang is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.