Kopi TIMES

Refleksi 75 Tahun Indonesia Merdeka: Keadilan Sosial, Sebuah Aspirasi Tanpa akhir

Sabtu, 22 Agustus 2020 - 01:37
Refleksi 75 Tahun Indonesia Merdeka: Keadilan Sosial, Sebuah Aspirasi Tanpa akhir Yusril Toatubun, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Merdeka Malang Founder Forum Pemuda Demokrasi.

TIMES MALANG, MALANG – Memasuki usia yang terbilang sudah cukup tua, Indonesia sebagai negara yang menempatkan keadilan sosial (social justice) sebagai landasan, tujuan, sekaligus merupakan medium integrasi nasional dihadapkan pada berbagai macam persolan yang demikian kompleks.

Di tengah pandemi Covid-19, social justice bahkan memiliki pergeseran makna yang paradigmatik, kondisi yang demikian  menuntut pemerintah untuk melakukan adaptasi kebijakan, dan penyesuaian regulasi secara menyeluruh dan konprehensif. Jika diamati, dari sekian banyak persoalan yang ada, baik yang diakibatkan oleh pandemi Covid-19 maupun yang telah jauh ada sebelumnya.

Persoalan Keadilan sosial adalah persolan yang sentral dan memiliki implikasi yang multidimensi, semua warga negara, semua bangsa yang terintegrasi menjadi bangsa indonesia, menempatkan isu keadilan sosial sebagai kenyataan yang terus menerus menjadi tuntutan tanpa akhir, baik sejak pasca proklamasi 1945, hinga post-ororitarian sistem pada tahun 1998 hingga kini.

Narasi keadilan sosial seringkali menjadi ruang pertarungangan wacana yang antagonistik dan protagonistik dalam saat yang sama, pada satu sisi, narasi keadilan sosial digunakan negara sebagai wacana untuk memobilisasi dukungan publik atas kebijakan dan kinerjanya. Pada satu sisi narasi keadilan sosial digunakan sebagai narasi perlawanan oleh kelompok masyarakat sipil yang terus menerus menunut agar negara lebih protektif dan sensitif merenovasi ketimpangan sosial yang ada, dan bukan sebaliknya ikut melangengkan ketidak-adilan sosial secara sistematis.

Bertepatan dengan momentum kelahiran bangsa Indonesia pada 17 Agustus 1945 sudah lazimnya kita menyaksikan dinamika dan nuansa peringatan seringkali lebih bermakna seremonial dan sekedar menampakan simbol, tanpa benar-benar mengartikulasi apa yang dimaksudkan seyognya tentang kemerdekaan itu sendiri.

Lomba gerak jalan, pengibaran bendera di setiap halaman rumah  warga negara, menyanyikan lagu Indonesia Raya, dan berbagai simbolisasi kemerdekaan yang lain, apakah dengan melakukan kesemua hal itu menunjukan sebuah bentuk kemerdekaan yang substansial telah tercapai?

Pengertian kemerdekaan seperti itu hanya bagian dari wujud kecintaan warga negara atas jada para pahlawan bangsanya, dan bukan merupakan suatu ekspresi atas kebahagiaan warga negara yang telah benar-benar keluar dari problem sosial yang terjadi sebelum negara ini merdeka,, bahkan masih tetap dalam bingkai kemiskinan,keterbatasan mengakses pendidikan, dan praktik dominasi negara yang kerapkali menyelewengkan aspek kemanusiaan.

Muncul pertanyaan, apakah arti kemerdekaan itu? Untuk apa kemerdekaan itu? dan apa yang menjadi tujuan dari kemerdekaan?

Ada banyak alasan substantif dalam sejarah bangsa Indonesia yang bisa menjelaskan secara runut kenapa kemerdekaan menjadi sebuah keharusan. Kemerdekaan pada dasarnya adalah sesuatu yang melekat dalam setiap diri manusia sebagai hak asasi manusia, dan merupakan aspek  paling paripurna dalam konseptualisasi manusia itu sendiri.

Penerapan sistem kolonial oleh penjajah, dehumanisasi yang berlangsung selama bertahun-tahun lamanya, berakarnya stelsel kapitalisme yang  ekspolitatif dan hilangnya harkat dan martabat kemanusiaan adalah alasan para pendiri bangsa terus melakukan perlawanan sebagai bentuk pemberontakan atas sistem destruktif yang menyelewengkan kemanusiaan pada berbagai sisi dan mendistorsi makna keadilan bagi kehidupan umat manusia.

Setidaknya, jika bangsa ini sudah benar merdeka secara susbtantif dan sebaliknya bukan sekedar normatif, maka perayaan secara formal seperti pengibaran bendera harus dibarengi dengan realisasi negara akan cita keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia secara substansial, namun, bukan sepenuhnya pesimisme, masalah keadilan sosial masih berjarak dan terus menciptakan kesenjangan yang makin melebar, mungkinkah merayakan kemerdekaan dalama keadaan yang demikian terpuruk itu?

Perjuangan para pahlwan yang melekat erat dengan pengorbanan,sekalipun dihadapkan pada bayang-bayang kematian, penyiksaan, serta penjara, kemerdekaan tetap ditempatkan sebagai prinsip yang mesti diperjuangan tanpa harus dikompromikan. Namun, Pasca kemerdekaan, makna kemerdekaan itu sendiri menjadi tereduksi sebagai bentuk penjajahan baru, kapitalisme baru (Neo-Liberalisme), bahkan perampasan hak asasi manusia telah menjadi bagian dari penerus bangsa ini dalam mengisi kemerdekaan.

Pada suatu kesempatan, Bung Karno sendiri pernah menyinggung dalam pidatonya: “Perjuanganku lebih mudah karena melawan penjajah. Tapi perjuangan kalian akan lebih berat, karena melawan saudara sendiri”.

Pernyataan ini bukan sekedar menjadi prediksi yang subjektif, melainkan bertransformasi menjadi sebuah kenyataan, tidak lagi imajiner, melainkan menjadi benar-benar riil. Kemerdekaan pada akhirnya diisi dengan penjajahan gaya baru. Kolonialisme yang diterapkan oleh bangsa sendiri, kenyataan ini menjadi penghambat terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia sebagaimana apa yang telah lama dicita-citakan oleh founding fathers kita.

Tujuan didirikannya negara Republik Indonesia tiada lain adalah untuk mewujudkan kesejahteraan umum dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Hal tersebut tertera dalam alinea keempat Pembukaan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Alinea keempat Pembukaan UUD 1945 menyebutkan tujuan nasional yaitu (I) melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; (2) memajukan kesejahteraan umum; (3) mencerdaskan kehidupan bangsa; dan (4) ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. 

Namun apakah gerak bangsa ini menuju pada apa yang menjadi tujuan didirikannya bangsa ini?

Jika menelaah tujuan didirikannya bangsa Indonesia, tampaknya merupakan idealitas yang diinginkan oleh setiap bangsa yang ada di dunia, perlindungan terhadap hak asasi manusia, kesejahteraan umum, pendidikan bagi masyarakat, dan menjunjung tinggi kemerdekaan dan keadilan. Kesemua nilai ini agar bisa dilaksanakan tentu tidak hanya membutuhkan kemerdekaan sebagai sebuah bangsa yang berdaulat, sebab pada faktanya, kemerdekaan pun tidak menjadi  jaminan atas kesemua nilai tersebut akan diterapkan, direalisasi, dibumikan secara menyeluruh. Yang ditubuhkan adalah perwujudan yang konsisten dalam menjiwai dan memaknai arti kemerdekaan itu sendiri sebagai hakikat yang melekat dalam tiap diri manusia, termasuk pada tiap diri manusia yang berperan menggerakan negara indonesia ini.

Tidak berhenti disitu, diperlukan pula mentalitas yang menganggap pentingnya kemanusiaan, keadilan, dan pelbagai nilai sosial lainya sebagai perwujudan yang satu atas keyakinan keimanan seseorang, bahwa keimanan itu sendiri mesti melekat dan melebur dengan kemanusiaan dan keadilan sebagai prasyatat sosial berkehidupan. 

Keadialan Sosial, Sebuah Aspirasi Tanpa Akhir

Kebijakan yang pro terhadap pemodal (kapitalisme), pemberangusan kebebasan berpendapat (decline of democracy), persoalan Hak Asasi Manusia yang berujung kebuntuan tanpa penyelesaian hukum (a human rights crisis), dan determinasi oligarki yang menguat atas proses penyelenggaraan negara (oligarchic power over the state) menggambarkan betapa bangsa indonesia yang sudah merdeka selama 75 tahun ini bukan saja berjalan ditempat melainkan mengalami degradasi. Mana mungkin mengharapkan sebuah keadilan sosial ditengah langgengnya persoalan di atas ? 

Masalah yang ada, tentu dipahami oleh negara dengan sedemikian juta orang pintarnya ini, namun, kepintaran yang ada justru direduksi menjadi alat pembenaran bagi kekuasaan untuk tetap merawat ketidak-adilan sosial, bayangkan saja, kuasa oligarki yang dominan mengatur mekanisme hingga dinamika dan keputusan politik, apakah mungkin memberi ruang bagia aspirasi publik untuk direalisasi dan memungkinkan aktor politik progresif menempati wilayah pengambilan public policy?

Lalu bagaimana pula kita meyakini terwujudnya keadilan sosial sementara sistem yang berlaku adalah sistem kapitalisme, sebuah sistem yang menyetujui keabsahan  ketidakadilan sejak kemunculannya dan menggap eksploitasi manusia atas manusia yang lain sebagai hal yang lazim?

Lalu bagaimana juga kita mengharapkan keadilan sosial ditengah arus penegakan hukum yang menyampingkan asas Equality Before The law (Kesetaran dihadapan Hukum) sebagai nilai utama untuk menegakan hukum itu sendiri?

Lalu apalagi makna keadilan sosial jika dengan menyuarakan ketimpangan sosial itu sendiri  kerapkali harus berurusan dengan pasal-pasal pemidanaan?

Deretan persoalan yang cenderung  meningkat ini, membutuhkan spirit transformasi baru agar merubah tatanan yang demikian merosot ini. Ruang bagi tumbuhnya demokrasi harus dijamin secara regulatif dan dipraksiskan dengan benar-benar demokratis sebagaimana telah menjadi amanat konstitusi, perlindungan atas hak asasi manusia harus dijadikan nilai dalam menyusun kebijakan agar kelak kebijakan tidak melahirkan dehumanisasi, begitupun perkara sosial lainya, harus ada nilai yang difungsikan, nilai yang tidak lain adalah penerjemahan dari nilai-nilai daripada tujuan dimerdekakan bangsa ini.

***

*) Oleh: Yusril Toatubun, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Merdeka Malang Founder Forum Pemuda Demokrasi.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta :
Editor : Faizal R Arief
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Malang just now

Welcome to TIMES Malang

TIMES Malang is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.