TIMES MALANG, YOGYAKARTA – Awal tahun seringkali menjadi momen refleksi tentang beragam peristiwa di tahun lalu sekaligus merencanakan apa yang akan kita lakukan di tahun mendatang. Di Indonesia, isu harmoni agama selalu menjadi tema penting, karena menyangkut kebebasan individu dalam menjalankan keyakinannya. Lebih dari itu, intoleransi agama kerap memicu konflik yang mengancam persatuan bangsa.
Meski sepanjang tahun 2024 lalu beberapa peristiwa disharmoni mencuat seperti pelarangan ibadah penganut Ahmadiyah dan pergesekan akibat rumah dijadikan tempat ibadah umat Kristiani di Cibinong-ada juga momen-momen toleransi agama yang menginspirasi dan memberikan harapan.
Salah satunya terekam dalam pameran foto “Living Together: A Visual Journey of Indonesia’s Religious Harmony,” yang sempat berlangsung di Perpustakaan Jusuf Kalla, Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII), akhir tahun lalu.
Foto-foto karya Elis Zuliati Anis dan Arifin Al Alamudi menangkap momen-momen kebersamaan lintas agama-mulai dari interaksi sehari-hari hingga tradisi budaya yang sarat makna. Melalui bingkai-bingkai ini, kita tidak hanya diajak melihat keindahan keberagaman Indonesia, tetapi juga merenungkan pentingnya menjaga kebersamaan di tengah tantangan intoleransi.
Fotografi, seperti yang ditampilkan dalam pameran ini, bukan sekadar media visual. Ia adalah cermin yang memantulkan kembali realitas kebersamaan kita yang selama ini tersembunyi.
Hampir setiap foto dalam pameran tersebut menyimpan kesan unik dan ‘menggugah.’ Dalam bingkai berukuran 60cm x 80cm, di bawah sorotan lampu, foto-foto itu menyampaikan pesan tentang kebersamaan dalam kehidupan sosial, agama, dan budaya masyarakat Indonesia.
Tampak beberapa orang di antara ratusan pengunjung yang datang silih berganti itu berdiri berlama-lama di depan foto tertentu. Ya, pasti, mereka memiliki konsep visual yang berbeda-beda, termasuk pengalaman mereka tentang kebersamaan dalam perbedaan.
Harmoni dalam Kehidupan Sehari-hari
Harmoni di Indonesia tidak hanya ditemukan dalam perayaan besar, tetapi juga dalam interaksi sederhana sehari-hari. Salah satu foto di pameran ini menangkap momen lima pria lansia yang berasal dari berbagai suku dan agama, sedang bermain gaplek di sebuah kedai kopi di Pecinan Senggarang, Tanjungpinang.
Salah seorang pria mengenakan peci dan sarung, memperlihatkan keunikan keberagaman di antara mereka. Momen yang mampu memudarkan perbedaan, dan sebaliknya menghadirkan kehangatan kebersamaan. Sebuah pemandangan sederhana, namun sarat makna.
Kehangatan gaya bergaul masyarakat Indonesia memang beragam, namun ada satu yang khas, yakni membentuk harmoni sesuai langgam budaya lokalnya. Hal ini terekam dengan baik melalui sebuah foto menunjukkan kehidupan lintas-iman yang menginspirasi.
Misalnya pemandangan tentang interaksi sosial sehari-hari Antara para frater (calon romo) dan seorang Ibu berjilbab. Lebih dari sekadar perjumpaan peranan di sebuah biara, kebersamaan mencerminkan sebuah kebiasaan layaknya sebuah keluarga.
Seorang ibu berjilbab, Bu Sri, berperan sebagai juru memasak untuk para frater. Pemandangan sederhana ini menjadi cermin bagaimana toleransi dan harmoni lintas agama terwujud dalam realitas sehari-hari.
Pesan harmoni juga kuat terpancar pada foto Di Petak Enam Jakarta. Kali ini, harmoni dibangun melalui makanan. Petak Enam Jakarta adalah sebuah foodcourt tradisional-modern dengan nuansa khas Tionghoa yang terletak di area Glodok. Tidak hanya menjadi tujuan wisata kuliner, Petak Enam adalah ruang perayaan keberagaman dalam keseharian.
Di tengah hiruk pikuk pengunjung, makanan menjadi pemersatu, melampaui batas agama dan budaya. Setidaknya 30 gerai makanan-dari tahu gejrot, bola ubi kopong, bihun bebek, hingga kwetiau-tersaji untuk semua orang, baik yang mencari makanan halal maupun non-halal.
Tradisi keagamaan bernuansa budaya lokal
Indonesia adalah rumah bagi tradisi-tradisi keagamaan yang berakar kuat pada budaya lokal. Foto Grebeg Maulid di Yogyakarta memperlihatkan tradisi gunungan hasil bumi diarak dari Keraton menuju Masjid Gedhe Kauman.
Gunungan yang terdiri atas beragam hasil bumi seperti buah, sayur, dan padi, melambangkan rasa syukur atas limpahan rezeki serta berbagi berkah kepada masyarakat. Tradisi warisan Sunan Kalijaga ini memadukan ajaran Islam dan nilai-nilai Jawa, mencerminkan integrasi budaya lokal dan agama, sekaligus memperkuat hubungan antara Keraton Yogyakarta dan rakyat.
Pameran juga mengetengahkan foto tradisi Yaqowiyyu yang terdapat di Klaten, Jawa Tengah. Tradisi ini bermula dari Ki Ageng Gribig yang membawa kue apem konon dibawa dari Mekah, sebagai simbol berkah sepulang dari ibadah haji.
Dalam tradisi ini, kue apem dibagikan kepada masyarakat sebagai simbol limpahan rezeki dan keberkahan. Dalam foto tersebut, para alim ulama berbaju putih melemparkan kue apem kepada pengunjung Yaqowiyyu.
Foto lain menggambarkan Tradisi Tabuik di Pantai Gandoriah, Kota Pariaman, Sumatera Barat. Foto ini diambil saat ribuan Masyarakat berkumpul untuk mengikuti festival budaya tahunan. Ajang ini tumbuh bermula dari peringatan Tahun Baru Islam, 1 Muharam, namun saat ini sudah berkembang menjadi Festival budaya tahunan khas Pariaman.
Sementara itu, dari Jawa Timur, fotografer membawa ke ruang pamer visual momentum puncak peringatan Kasodo. Foto ini adalah visualisasi dari keyakinan dan keindahan alam Gunung Bromo.
Pria Suku Tengger terlihat memulai perjalanan menuju kawah gunung untuk melakukan persembahan kepada Sang Hyang Widhi dan para leluhur mereka. Persembahan berupa hasil bumi seperti sayuran, buah-buahan, bahkan hewan ternak dilemparkan ke kawah sebagai bentuk syukur atas rezeki dan permohonan keselamatan.
Di bawah kawah, puluhan warga menunggu dengan jaring atau wadah untuk menangkap persembahan tersebut. Bagi masyarakat Tengger, ritual ini adalah ungkapan penghormatan kepada alam dan leluhur, sekaligus simbol harmoni antara manusia dengan lingkungannya.
Memory of Living Together
Apa kata pengunjung terhadap pameran foto ini? Dalam survei yang dilakukan, sebagian besar pengunjung merasa pameran ini sangat efektif dalam menyampaikan tema harmoni lintasagama di Indonesia. “I have learned about religious tolerance in Indonesia. These pictures are a representation of culture and religion of the Indonesian communities. Beautiful pictures!!” tulis Yakyeu, seorang pengunjung dari Nigeria, yang merasa bahwa foto-foto dalam pameran ini merepresentasikan toleransi agama dan budaya di Indonesia.
Pameran ini menarik perhatian tidak hanya masyarakat Indonesia, tetapi juga pengunjung dari berbagai negara, seperti Australia, Amerika Serikat, Singapura, Ghana, Gambia, Afghanistan, Filipina, Nepal, Nigeria, Uzbekistan, dan Pakistan. Kehadiran mereka menunjukkan bahwa keragaman budaya dan agama Indonesia adalah daya tarik universal yang dapat menginspirasi dunia.
Semangat harmoni yang terus tumbuh yang digambarkan dalam pameran foto ini akan mengikis sikap-sikap intoleran yang masih terus terjadi di Indonesia. Di tengah isu intoleransi, seperti kasus Ahmadiyah dan rumah ibadah umat Kristiani yang terjadi tahun lalu, pameran ini menjadi pengingat bahwa toleransi harus selalu kita jaga, baik dalam perjumpaan sehari hari maupun bagian dari upaya kolektif menjaga Indonesia tetap damai.
***
*) Oleh : Elis Zuliati Anis, dosen Universitas Ahmad Dahlan dan Penerima Program Compose Fellowship Photographer, Universitas Islam Internasional Indonesia.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Pewarta | : Hainorrahman |
Editor | : Hainorrahman |