https://malang.times.co.id/
Kopi TIMES

Mewaspadai Penetrasi Politik Identitas pada Pemilu 2024

Selasa, 14 Februari 2023 - 11:59
Mewaspadai Penetrasi Politik Identitas pada Pemilu 2024 Patrisius Eduardus Kurniawan Jenila, Alumnus Universitas Merdeka Malang; Penerbit buku rohani Obor, Jakarta.

TIMES MALANG, MALANG – Mengapa politik identitas harus diwaspadai? Bukankah dalam meraih kemerdekaan, bangsa Indonesia memakai politik identitas untuk melawan penjajah? Mengapa saat ini, hari ini, politik identitas justru ditakuti?

Amartya Sen (2016) dalam bukunya, Kekerasan dan Identitas, sudah lama mengingatkan bahaya politik identitas, yang tampak dalam pemikiran dan sikap, yang oleh Sen sebut sebagai ‘ilusi tunggal identitas’. 

Ilusi tunggal identitas cenderung mengambil bentuk pada bagaimana suatu kelompok memaksa identitasnya diterima, diakui, dan dijadikan landasan pembenaran. Cara ini melahirkan dan mendorong praktik pengeklusian identitas terhadap identitas lain kerap kali tidak terhindarkan. Baik dilakukan dengan mendiskreditkan simbol tertentu, serta memakai jalan kekerasan sembari menegaskan logika mayoritarian. 

Di Indonesia, sebagian politisi kerap memakai logika ini untuk menambang keuntungan elektoral dari basis pemilih yang cenderung berprinsip ilusi tungggal identitas. Politisi seperti ini tentu sangat tahu kerusakan sosial dan politik yang akan segera muncul ketika mereka memakai cara-cara ini. Namun, tentu saja, kepentingan elektoralitas dan kekuasaan politik kerap meminggirkan bahaya laten dari politik identitas ini. 

Konflik tidak terhindarkan. Polarisasi sosial mewarnai lanskap politik. Relasi kebangsaan tidak tampak mencair, alih-alih terus mengalami pengerasan dan pemisahan sekaligus pengutuban ke dalam berbagai identitas.

Sementara di sisi lain, para politisi tidak tampak memajukan agenda perdebatan gagasan atau politik forum (Airlanggga Pribadi Kusman, 2022). Mereka cenderung memposisikan diri sebagai ‘penyelamat identitas’ bagi konstituen yang secara elektoral lebih diunggulkan dan menguntungkan mereka. 

Harus diakui, Indonesia tengah mengalami persoalan ini dari waktu ke waktu. Persis, Pemilihan Umum (Pemilu) tahun 2014 dan 2019 sangat terasa kental aroma politik identitas yang membuat polarisasi tidak terhindarkan (Eve Warburton, 2021).

Kita menghadapi situasi politik yang sangat pelik, sementara di sisi lain terjadi polarisasi yang mengakibatkan kita cenderung memperlihatkan sikap ‘penuh curiga dan waspada’ terhadap kelompok lain. 

Di media sosial, tempat yang seharusnya kita memperdebatkan gagasan, justru dimobilisir dan dipolitisir dalam rangka menarik dukungan dari basis pemilih. Media sosial justru melebur dengan isu hoaks, kampanye hitam (black campaign), dan sentiment primordialistik menyerang dan mengolok-olok kelompok tertentu. Di sinilah relasi sosial tidak tumbuh memajukan peradaban baru, melainkan justru menghancurkan fondasi kebangsaan. 

Meskipun di tataran elit telah dilakukan rekonsiliasi, seperti yang ditunjukan Presiden Jokowi dan Prabowo Subianto. Tetapi jauh dari itu, di tingkat akar rumput (grass root society) tempat di mana relasi identitas hidup berdampingan, belum tampak pulih. Narasi cebong VS kampret, menunjukan ada titik lemah yang memisahkan dan merecoki cara kita dalam membangun ruang politik yang beradab. 

Politik identitas harus dilampaui. Melampaui politik identitas berarti, menunjukan komitmen dan sikap kebangsaan yang besar dari setiap pelaku politik dan penyelenggara, dengan cara menggiring konstituen, masa pendukung, dan masyarakat secara keseluruhan ke dalam perdebatan kritis.

Apakah ini mungkin? Tentu saja sangat bisa. Dengan cara, setiap pelaku politik dan penyelenggara (calon, elit partai, relawan, KPU, dan Bawaslu) harus punya semacam nota kesepahaman (Letters of Intent/LoI) membangun perdebatan. 

Cara seperti ini sangat bisa dilakukan, dan diupayakan melalui kampanye secara besar-besaran. Media sosial harus dimassifkan mengkampanyekan visi dan misi calon.

Bahkan, bila perlu, setiap relawan dari masing-masing calon harus punya tim, yang tugas utamanya mengamati dan meng-cancel individu dan kelompok tertentu yang memakai politik identitas sebagai kendaraan politik. 

Peran Kelompok Masyarakat Sipil

Di samping peran dan keterlibatan pelaku politik dan penyelenggara, peran masyarakat sipil sangat diandalkan. Sebab, masyarakat sipil inilah yang setiap hari, sepanjang waktu berada di tengah masyarakat dan mengetahui sejauh mana titik rawan politik identitas. Karena itu, kelompok masyarakat sipil harus membangun kolaborasi, baik dengan pelaku politik dan penyelenggara maupun dengan berbagai elemen dari berbagai jenis masyarakat sipil. 

Selain membangun Pemilu tanpa politik identitas, yang tidak kalah penting ialah, melakukan konsolidasi meningkatkan preferensi politik masyarakat. Ini penting, agar masyarakat tidak terjebak dalam praktik politik uang. Sudah saatnya politik harus kembali ke nature, yakni kebaikan bersama (bonnum commune). 

***

*) Oleh: Patrisius Eduardus Kurniawan Jenila, Alumnus Universitas Merdeka Malang; Penerbit buku rohani Obor, Jakarta.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

Pewarta :
Editor : Wahyu Nurdiyanto
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Malang just now

Welcome to TIMES Malang

TIMES Malang is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.