https://malang.times.co.id/
Kopi TIMES

Fajar “Sad Boy”, Lato – lato dan Dosen “Masa Kini”

Sabtu, 11 Februari 2023 - 15:25
Fajar “Sad Boy”, Lato – lato dan Dosen “Masa Kini” Abdur Rohman, Santri Ponpes Luhur Baitul Hikmah sekaligus mahasiswa STF Al-Farabi Kepanjen Malang.

TIMES MALANG, MALANG – Sadarkah kita terhadap fenomena yang terjadi belakangan ini? 

Remaja yang sedih lantaran ditinggal kekasih, permainan bentur – benturan membuat tangan lebam menghitam sampai - sampai kaca rumah pecah atau fenomena oknum dosen yang mencabuli mahasiswa dan hanya sibuk mengurusi asesmen yang tidak berarti. 

Beberapa fenomena di muka hanya sekelumit kegilaan yang terjadi di tengah – tengah masyarakat kita. Di zaman gila informasi dan edan teknologi semua bisa terjadi. Bahkan, beberapa bulan sebelumnya, kasus menantu yang berselingkuh dengan mertuanya menjadi berita hangat bahkan hot. 

Para pendahulu Founding Father hanya memandang dari langit, menggelengkan kepala, mengharap cemas dan berdoa kepada Ibu Pertiwi agar baik – baik saja.

Pergeseran pada masa kini, mudah bahkan sangat mudah untuk menjadi terkenal. Mendapatkan ketenaran dengan cara berpura-pura “tolol” untuk mendapat pujian dari para follower. Menggunakan agama untuk galang dana, memanipulasi supaya mendapat pengikut tinggi, atau bahkan mengorbankan darah daging sendiri agar cepat memperkaya diri. 

Terdapat ujar – ujar “Jangan terlalu serius dengan sosial media, sebab medsos bukanlah dunia nyata”.

Senarai dengan pemikiran Jean Baudrillard filsuf kontemporer yang berfokus pada fan ilmu sosiologi, kebudayaan dan fotografer.

Teori yang beliau jabarkan adalah Hyperreality dan Simulation. Lebih kurang hipotesis yang ditawarkan bahwa, manusia kini cenderung sulit untuk membedakan mana yang ril dan fiksi, orang zaman sekarang sibuk untuk mengungkapkan emosional perasaan senang, sedih, galau, bahagia melalui media sosial lantas sulit untuk berinteraksi secara langsung di kehidupan nyata.

Berdasarkan dari beberapa data statistik lembaga nasional di tanah air pada tahun 2022, lebih kurang 270an juta jiwa populasi masyarakat Indonesia. Sedangkan pengguna internet menurut data BPS (Badan Pusat Statistik) dari hasil pendataan Survei Susenas 2021, 62,10 persen populasi Indonesia telah mengakses internet di tahun 2021. 

Apakah ini sebuah prestasi? Atau sebuah ancaman kepunahan masyarakat nusantara nanti?

Prestasi, karena pengguna internet yang fantastis, bahkan bocil (bocah kecil) seumuran jagung sudah mengakses berbagai macam medsos. 
Ancaman, sebab semakin tinggi pengguna internet dikhawatirkan semakin jauh rasa kemanusiaan kita.

Menyapa tetangga, melempar senyum, berbagi makanan, bertegur sapa, gotong royong, musyawarah, rapat RT, pengajian ibu – ibu, obrolan malam bapak – bapak, bermain sepak bola di sore hari, dan lain sebagiannya.

Tokoh yang berjasa besar dari meningkatnya penggunaan internet pada masyarakat kita tak lain adalah Covid-19. Pandemi membawa kita ke arus deras digitalisasi, hampir di setiap aspek di sendi – sendi kehidupan. Pendidikan, bisnis, politik, perniagaan, negosiasi, sehingga kita baru sadar akan pentingnya teknologi.

Namun apakah dengan melek teknologi kita dapat terbebas dari masalah?

Tentu tidak, justru persoalan yang rumit membentang, kita terhadang dengan soalan lain yang jauh lebih kusut, yakni menganggap hal berbau online itu adalah realitas sesungguhnya. Media sosial membawa kita ke dimensi yang menakutkan, lebih seram ketimbang penagih hutang.

Kita perlu mengurai secara terang dan jujur. Tentu kita tidak melupakan salah satu prestasi yang didapatkan oleh netizen kita pada beberapa bulan yang lalu, berupa “netizen paling tidak sopan se-Asia Tenggara” menurut survei Microsoft.

Komentar pedas, introvert di dunia nyata namun sadis di sosial media. Pandai bersilat jari, pendiam saat diminta berargumentasi. Bahkan komennya lebih menyakitkan dari pada cibiran tetangga.

Memang, ketika kita langsung terjun ke masyarakat, mereka sangat ramah dan welcome pada orang sekitar. Namun sangat mungkin lamat – lamat terjadi krisis sosialisasi manakala kita sangat vulgar untuk berselancar di dunia maya dan menyelam di dunia meta.

Selain SDM (Sumber Daya Manusia) dan SDA (Sumber Daya Alam) di dalam sebuah negara yang jauh lebih penting dan paripurna adalah SDI (Sumber Daya Ideologi), tak lain dan tidak bukan adalah Pancasila.

Saya tidak menyalahkan teknologi, yang kita khawatirkan adalah ketika teknologi-digitalisasi mencerabut habis akar kebudayaan kita yang terkenal yakni gotong royong dan keramah – tamahan di mata dunia. 

Sehingga jangan sampai propaganda berupa media massa, dunia maya, dunia meta, dan dunia “lain”nya dapat menggoyangkan bahkan merobohkan nilai – nilai ideologi yang sudah tertanam di dada sejak zaman sumpah Palapa.

Demikian.

***

*) Oleh: Abdur Rohman, Santri Ponpes Luhur Baitul Hikmah sekaligus mahasiswa STF Al-Farabi Kepanjen Malang.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

 

____
**)
 Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

Pewarta :
Editor : Wahyu Nurdiyanto
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Malang just now

Welcome to TIMES Malang

TIMES Malang is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.