https://malang.times.co.id/
Kopi TIMES

Kontekstualisasi Pandangan Keagamaan Terhadap Realitas Peradaban di Era Modern (Bagian 1)

Jumat, 10 Februari 2023 - 22:49
Kontekstualisasi Pandangan Keagamaan Terhadap Realitas Peradaban di Era Modern (Bagian 1) Wapres RI KH Ma'ruf Amin; Disampaikan dalam pidato Muktamar Internasional I Fiqih Peradaban dalam peringatan Satu Abad Nahdalatul Ulama di Surabaya Februari 2023

TIMES MALANG, SURABAYA – Tata kehidupan di dunia (peradaban) senantiasa mengalami perubahan dan perkembangan. Apa yang cocok dan relevan untuk diterapkan di satu masa atau tempat, dengan adanya perubahan masyarakat dan perkembangan zaman, bisa tidak relevan untuk diterapkan di masa atau tempat yang berbeda. Memaksakan sebuah tata kehidupan secara statis tanpa mempertimbangkan perubahan masyarakat dan perkembangan zaman, akan menyelisihi kodrat perubahan itu sendiri, yang berarti juga menyalahi sunnatullah (ketetapan-ketetapan atau hukum-hukum Allah).

Hal yang sama juga terjadi pada masalah pemahaman keagamaan, terutama yang terkait dengan kehidupan masyarakat (mu’âmalah) yang bersifat ijtihâdiyyah. Rumusan norma-norma keagamaan (fikih) akan senantiasa mengalami perubahan mengikuti perubahan dan perkembangan zaman dan peradaban, sesuai dengan qaidah: Perubahan dan perbedaan fatwa itu tergantung pada perubahan waktu, tempat, kondisi, niat, dan tradisi yang ada (Ibn Qayyim al-Jawziyyah, I’lâm al-Muwaqqi’în ‘an Rabb al-’ Âlamîn).

Hal ini menunjukkan bahwa karakteristik fikih, yang notabene merupakan hasil ijtihad ulama, adalah fleksibel (murûnah) dan dinamis (tathawwuriyyah), mengikuti dinamika dan perkembangan zaman. Dengan demikian, fikih tetap dapat menjawab persoalan-persoalan baru atau terbarukan (al-masâil al-jadîdah wal mustajaddah) yang muncul.

Fleksibilitas fikih ini menepis anggapan sebagian orang bahwa fikih merupakan suatu ketentuan atau norma yang kaku dan sakral yang tidak mungkin berubah. Fikih dipahami sebagai kompilasi hukum Islam yang baku dan diasumsikan sama kuat dan sakral dengan sejumlah nash syar’iyyah yang terdapat dalam Al-Quran dan Hadits. Anggapan seperti ini tidak sesuai dengan pemahaman keagamaan yang benar.

Karakteristik fikih yang fleksibel tersebut mengharuskan adanya fatwa-fatwa (hukum-hukum) baru yang mampu merespons dinamika masyarakat dan perkembangan zaman. Keniscayaan akan adanya fatwa baru ini terjadi karena sumber hukum utama, yaitu teks Al-Quran dan Hadits, sangat terbatas, sedangkan permasalahan baru dan terbarukan terus berubah dan berkembang, sebagaimana yang dikatakan oleh al-Syahrastani: Karena nash itu terbatas, sedangkan persoalan-persoalan yang muncul tidaklah terbatas; atau karena nash itu telah berhenti, sedangkan permasalahan akan senantiasa muncul dan tidak pernah berhenti.

Sejalan dengan hal tersebut, Imam Al- Haramain Al-Juwaini (w.478 H) menyatakan bahwa sebagian besar syariat merupakan produk ijtihad sebagai respons atas perubahan dan perkembangan masyarakat yang terjadi. Ia mengatakan: Sebagian besar hukum Islam (syariah) adalah produk ijtihad, karena nash yang berkaitan dengan hukum tidak sampai sepersepuluh.

Demikian pula, Imam Syihabuddin Al-Qarafi (w.684 H) menyatakan, bahwa terpaku pada satu rumusan keagamaan, tanpa mempertimbangkan situasi dan kondisi yang dihadapi, merupakan kesesatan dalam menjalankan agama dan kebodohan memahami penjelasan para ulama terdahulu. Al-Qarafi menyatakan: Senantiasa terpaku pada teks adalah suatu kesesatan dalam agama dan ketidak mengertian terhadap maksud yang diinginkan para ulama terdahulu.

Namun demikian, tidak semua ajaran agama dapat berubah sesuai dengan perubahan zaman, tempat, tradisi, dan peradaban. Ada hal-hal yang harus diperhatikan terkait hal ini, antara lain:

Pertama, perubahan hukum (fatwa) harus dilakukan oleh seorang/sekelompok orang yang ahli dalam bidang fikih (faqîh), bukan yang lain.

Kedua, perubahan tersebut dilakukan pada rumusan keagamaan yang memungkinkan untuk berubah (mutaghayyirât), bukan pada rumusan keagamaan yang tetap dan tidak berubah (tsawâbit). Yang termasuk dalam kategori tsawâbit ialah persoalan yang telah ada ketentuan hukumnya dalam nash yang qat`iyus tsubût wad dalâlah (teks-teks Al-Quran dan Hadits yang menunjukkan sumber dan arti yang pasti atau absolut),  dan masalah-masalah yang termasuk dalam kelompok ma’lûmah min ad-dîn bid-dharûrah (ajaran-ajaran agama Islam yang sudah diketahui secara jelas oleh umat Islam), seperti wajibnya melaksanakan salat lima waktu, kewajiban berbuat adil, kehalalan jual beli, keharaman berzina, keharaman berbuat zalim dan keharaman memakan harta orang lain tanpa hak, dan sebagainya. Dalam hal ini Imam Al-Ghazali (w. 505 H) menyatakan: Dan kewajiban shalat lima waktu dan zakat, dan apa yang telah disepakati umat dengan dalil- dalil yang jelas dari syariat, yang di dalamnya terdapat dalil yang pasti bahwa pelanggarnya berdosa, hal ini tidak termasuk subyek ijtihad.

Sedangkan yang termasuk kategori mutaghayyirât ialah persoalan yang terdapat dalam nash yang:(a) zhanniyus tsubût wad dalâlah atau (teks-teks Al-Quran dan Hadits yang menunjukkan sumber dan arti yang relatif atau tidak pasti);(b) qath`iyus tsubût zhanniyud dalâlah (teks-teks Al- Quran dan Hadits yang menunjukkan sumber pasti tetapi dengan arti yang relatif); (c) zhanniyus tsubût qath`iyyud dalâlah (teks-teks Al-Quran dan Hadits yang menunjukkan sumber yang relatif dengan arti yang pasti); dan (d) tidak ada nash (teks-teks Al- Quran dan Hadits).

Ketiga, status hukum syar`i yang dihasilkan adalah zhannî (suatu hukum yang kebenarannya adalah relatif walaupun dianggap benar oleh perumusnya), sehingga terbuka peluang adanya perbedaan pandangan di antara para ulama tentang hal ini. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari adanya dalil-dalil agama yang zhannî, baik dari segi sumber maupun arti.

Sejarah peradaban Islam mencatat bahwa upaya ijtihad atau perumusan fikih sesuai perubahan zaman, tempat dan peradaban telah terjadi dari masa ke masa. Bahkan hal ini telah dilakukan ketika Nabi masih hidup dan pada masa awal hingga masa keemasan umat Islam. Para ulama pada masa-masa itu sangat kreatif dan responsif, bahkan antisipatif terhadap setiap persoalan yang muncul atau yang diperkirakan akan muncul, sehingga lahir sejumlah mujtahid kenamaan yang menghasilkan pemikiran dan karya-karya sangat berharga bagi umat Islam berikutnya.

Para ulama masa kini dituntut untuk mampu menjawab dan menyelesaikan permasalahan kontemporer, terutama terhadap perubahan-perubahan dalam masyarakat sebagai akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Namun harus pula disadari bahwa kapasitas keilmuan ulama sekarang berbeda dengan ulama pada masa lalu, sementara persoalan-persoalan yang muncul pun semakin kompleks (tidak sesederhana pada masa lalu).

Pada saat ini, kita sulit sekali menemukan terpenuhinya persyaratan ijtihad yang harus dimiliki oleh seorang secara individu. Oleh karena itu, saat ini perumusan fikih kontemporer sebagai respons terhadap permasalahan yang muncul, dilakukan oleh forum atau tim yang terdiri dari sekelompok orang yang memiliki latar belakang spesialisasi keilmuan yang berbeda-beda, sehingga antara satu dan lainnya saling melengkapi sebagai pemenuhan syarat ijtihad.

Manhaj Fikrah Nahdliyyah

Nahdhatul Ulama (NU) sebagai sebuah organisasi keagamaan kemasyarakatan (jam’iyah dîniyah ijtimâ’iyah) memiliki prinsip pemahaman yang dinamis dan kontekstual. Namun sebelum tahun 1992, NU pernah mengalami orientasi pemahaman fikih yang hanya bersandar pada pendapat-pendapat ulama (qaulî). Akibatnya, karena ada banyak masalah yang tidak terdapat pendapat (qaul) dalam kitab-kitab standar (mu’tabarah), maka terjadi banyak masalah yang mauqûf (pending), sehingga banyak persoalan yang dihadapi masyarakat tidak terselesaikan.

Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama NU di Lampung pada tahun 1992 telah melakukan reformasi dengan menyepakati sistem pengambilan keputusan secara manhajî, di samping pengambilan keputusan secara qaulî. Hal ini membawa implikasi pada lahirnya dinamika dalam bahsul masail yang dilaksanakan oleh NU, sehingga bahsul masail itu tidak lagi memunculkan keputusan mauqûf dan permasalah-permasalahan yang muncul di masyarakat dapat terselesaikan secara tuntas.

Metode dalam pengambilan keputusan hukum secara qauli dan manhaji ini meliputi:

1. Ketika dijumpai beberapa qaul/wajah dalam satu masalah yang sama, maka dilakukan usaha memilih salah satu pendapat, baik berdasarkan pada prinsip maslahah, lebih kuat, maupun kekuatan tokoh ulama yang menyatakan qaul itu,

2. Dalam hal ketika suatu masalah/kasus belum dipecahkan dalam kitab, maka masalah/kasus tersebut diselesaikan dengan prosedur ilhâq al-masâil bi nazhâirihâ (penyamanan masalah dengan pendapat tentang hal yang mirip) secara kolektif (jamâ’î).

3. Dalam hal ketika tidak mungkin dilakukan ilhâq karena tidak adanya mulhaq bih dan wajhul ilhâq sama sekali di dalam kitab, maka dilakukan istinbâth secara jamâ’î, yaitu dengan mengaplikasikan qawâ’id ushûliyyah dan qawâ’id fiqhiyyah oleh para ahlinya.

 Metode istinbâth (pengambilan hukum) tersebut kemudian dilengkapi dengan keputusan Munas Alim Ulama dan Konbes Nahdlatul Ulama tahun 2006 di Surabaya, yang menetapkan empat prosedur melakukan istinbâth jamâ’î, yakni:(1) memahami secara benar tentang suatu kasus (tashawwurul masalah) yang akan ditetapkan hukumnya; (2) mencari dalil yang akan dijadikan dasar penetapan hukum (istidlâl); (3) menerapkan dalil terhadap masalah dengan metode pengambilan hukum (kaifiyyatul istidlâl); dan (4) menetapkan hukum atas masalah yang dibahas.

 Di samping itu, metode tersebut juga dilengkapi dengan keputusan Munas Alim Ulama tahun 2006 tentang karakteristik (khashâish) berpikir NU yang meliputi:

a. Fikrah Tawassuthiyah, yang berarti bahwa NU menggunakan prinsip tawassuth (moderat), tawâzun (seimbang), dan i’tidâl (lurus atau moderat); dan sebaliknya, fikrah Nahdhiyyah tidak berwatak berlebihan (ifrâthî) dan tidak pula berwatak lalai (tafrîthî).

b. Fikrah Ishlâhiyah, yang berarti bahwa cara berpikir NU mengarah kepada upaya reformatif menuju ke arah yang lebih baik, sejalan dengan fitrah NU sebagai gerakan para ulama untuk memperbaiki umat (harakatul ulamâ’ fî ishlâhil ummah dîniyyatatan wa ijtimâ’iyyatan).

c. Fikrah Tathawwuriyah, yang berarti bahwa cara berpikir NU adalah dinamis, tidak statis, yang dibuktikan bahwa Fikrah Nahdliyyah tidak hanya menggunakan pendekatan tekstual, tetapi juga kontekstual, sehingga pemikiran itu tidak hanya menggunakan pendekatan qaulî tetapi juga manhajî.

d. Fikrah Manhajiyah, yang berarti bahwa cara berpikir didasarkan kepada metode yang disepakati oleh para ulama, baik ilmu tafsir, ilmu hadits, ushul fiqh, maupun qawaid fiqhiyyah; bukan metode yang tanpa batasan dan tanpa patokan.

 NU sebagai institusi tidak pernah bergeser ke kiri maupun ke kanan, karena NU dibangun di atas landasan Fikrah Nahdliyyah, yang merupakan landasan berpikir bagi kiprah NU dalam memikul tanggung jawabnya, baik tanggung jawab keagamaan (mas’ûliyyah dîniyyah Islâmiyyah) maupun tanggung jawab kebangsaan dan kenegaraan (mas’ûliyyah wathaniyyah), serta tanggung jawab global (mas’ûlyiyah ‘âlamiyyah) yang melekat sejak NU lahir pada tahun 1926.

Bersambung ke bagian 2.

 

 

*) Oleh: Oleh: Wapres RI KH Ma'ruf Amin; Disampaikan dalam pidato Muktamar Internasional I Fiqih Peradaban dalam peringatan Satu Abad Nahdalatul Ulama di Surabaya Februari 2023

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

 

_______
**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Pewarta :
Editor : Faizal R Arief
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Malang just now

Welcome to TIMES Malang

TIMES Malang is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.