TIMES MALANG, MALANG – Di balik toga hitam dan jas rapi yang sering kita lihat di ruang sidang, ada cerita lain yang jarang diungkap: jaringan gelap yang memperdagangkan perkara hukum. Dalam dunia yang mestinya dijaga oleh integritas dan nilai-nilai officium nobile profesi mulia penegak keadilan kini mulai terselip praktik transaksional yang mengkhawatirkan.
Fenomena “pasar gelap perkara hukum” bukan lagi sekadar isu pinggiran. Ia telah menjelma menjadi realitas sosial di banyak lapisan praktik hukum kita. Modusnya pun semakin canggih: advokat yang menawarkan komisi, atau “fee sharing”, kepada siapa saja yang bisa memberikan informasi perkara. Klien berubah menjadi komoditas, dan perkara hukum menjadi proyek ekonomi. Keadilan seolah kehilangan ruh etiknya.
TIMES Indonesia mencoba menelusuri lebih dalam akar persoalan ini. Bersama I G Ngurah Oka Putra Setiawan, S.H., M.H., Pengajar di Universitas Terbuka UPBJJ Malang, kami berbincang panjang tentang bagaimana praktik “fee sharing” itu bekerja, siapa yang terlibat di baliknya, dan apa implikasinya terhadap kepercayaan publik terhadap hukum.
Berikut petikan lengkap wawancaranya.
Kalau kita mulai dari realitas lapangan, seberapa umum sebenarnya praktik advokat menawarkan persenan kepada pemberi info perkara terjadi di dunia hukum kita saat ini?
Ya, praktik advokat menawarkan “persenan” atau imbalan kepada pihak yang memberikan informasi perkara (sering disebut informan kasus atau broker perkara) memang masih ditemukan dalam praktik hukum di Indonesia, meskipun secara normatif hal tersebut bertentangan dengan Kode Etik Advokat Indonesia (KEAI) dan prinsip officium nobile profesi advokat.
Fenomena ini umumnya muncul karena persaingan pasar jasa hukum yang tinggi, ketimpangan akses klien, serta minimnya pengawasan internal organisasi advokat. Dalam konteks lapangan, sebagian advokat, khususnya yang masih membangun jaringan atau belum memiliki basis klien tetap, cenderung menggunakan mekanisme “fee sharing” atau komisi dengan pihak ketiga untuk memperoleh perkara.
Praktik seperti ini kerap bergeser dari model kemitraan sah menjadi transaksi yang bersifat komersial dan tidak etis, bahkan dapat dikategorikan sebagai percaloan perkara.
Dari perspektif hukum positif, praktik tersebut tidak diatur secara eksplisit dalam UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat, tetapi dapat melanggar: Pasal 4 ayat (1) huruf h Kode Etik Advokat Indonesia, yang mewajibkan advokat menjaga martabat dan kehormatan profesi serta berpotensi menimbulkan konflik kepentingan dan pelanggaran terhadap prinsip independensi advokat.
Dengan demikian, meskipun praktik “fee sharing” tersebut masih terjadi secara faktual dalam dunia hukum Indonesia, secara normatif dan etis hal itu tidak dapat dibenarkan. Pengawasan yang lebih kuat oleh organisasi advokat dan peningkatan kesadaran etika profesi merupakan langkah penting untuk mengatasinya.
Bisa Anda jelaskan bagaimana mekanisme persefee sharing itu biasanya berjalan, mulai dari informasi perkara hingga deal antara advokat dan pihak pemberi info?
Secara faktual, praktik “persenan” dalam konteks hubungan antara advokat dan pemberi informasi perkara (sering disebut broker perkara atau perantara hukum) umumnya berlangsung melalui mekanisme informal dan di luar prosedur profesional yang sah.
Meskipun tidak diatur secara resmi dalam sistem hukum maupun kode etik advokat, pola praktiknya di lapangan dapat dijelaskan secara deskriptif sebagai berikut.
Pertama, proses dimulai dari adanya informasi awal tentang suatu perkara baik perkara pidana, perdata, maupun administrasi yang diperoleh oleh pihak perantara dari lingkungan sosial, institusi, atau jaringan tertentu.
Pihak ini kemudian menghubungi advokat untuk menawarkan informasi tersebut dengan imbalan tertentu, biasanya dalam bentuk persentase dari total honorarium atau success fee yang akan diterima advokat dari klien.
Kedua, setelah terjadi komunikasi awal, advokat dan pemberi informasi akan membuat kesepakatan tidak tertulis mengenai besaran “persenan” yang umumnya berkisar antara 5% hingga 20% (Praktik kesepakatan tidak tertulis antara advokat dan pihak pemberi informasi perkara dengan besaran 5–20% dari honorarium klien banyak ditemukan dalam praktik lapangan dan dinilai bertentangan dengan prinsip integritas profesi (LPSK & PERADI, 2018; Wiyono, 2017; Yusril, 2020 dengan judul Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) & PERADI (2018).
“Laporan Kajian Etika Profesi Advokat di Indonesia.” Menyebutkan adanya praktik informal seperti fee sharing antara advokat dan pihak ketiga sebagai bentuk penyimpangan etika yang sulit dibuktikan karena tidak dilakukan secara tertulis.
Jika mengacu pada konteks diatas praktik bagi hasil antara advokat dan pihak perantara tanpa kontrak tertulis termasuk kategori pelanggaran prinsip integritas profesi karena berpotensi menimbulkan konflik kepentingan.
Hal ini selaras dengan apa yang pernah disampaikan Yusril Ihza Mahendra bahwa praktik fee-based referral tanpa transparansi kepada klien termasuk bentuk penyimpangan etika dan melemahkan independensi advokat) tergantung nilai perkara dan potensi keuntungan.
Kesepakatan ini sering kali dilakukan secara lisan tanpa kontrak tertulis karena sifatnya yang tidak etis dan berpotensi menimbulkan pelanggaran terhadap Kode Etik Advokat Indonesia (KEAI), khususnya prinsip kejujuran, integritas, dan kemandirian profesi.
Ketiga, setelah klien resmi menggunakan jasa advokat, pihak perantara menerima komisi setelah pembayaran honor dilakukan oleh klien, baik secara langsung maupun melalui mekanisme terselubung.
Dalam beberapa kasus, hubungan ini dapat berkembang menjadi jaringan perantara perkara yang terstruktur, bahkan melibatkan oknum aparat atau pihak internal lembaga peradilan, yang tentu saja menimbulkan risiko serius bagi integritas sistem peradilan.
Dari perspektif normatif, mekanisme ini jelas bertentangan dengan prinsip profesionalitas dan larangan berperilaku komersial yang menurunkan martabat profesi advokat, sebagaimana diatur dalam Pasal 3 dan Pasal 4 Kode Etik Advokat Indonesia.
Lebih jauh, praktik ini dapat menciptakan moral hazard, merusak kepercayaan publik terhadap profesi hukum, dan berpotensi menjerumuskan advokat pada pelanggaran etik maupun pidana apabila terjadi gratifikasi atau suap.
Dengan demikian, meskipun mekanisme “persenan” ini dapat dijelaskan secara sosiologis sebagai bentuk adaptasi ekonomi profesi advokat dalam pasar jasa hukum yang kompetitif, dari sisi hukum dan etika ia tetap harus ditolak dan dikoreksi melalui penguatan pengawasan organisasi advokat serta pendidikan etik hukum yang berkelanjutan.
Apakah pihak pemberi info ini umumnya berasal dari jaringan internal lembaga hukum, atau justru dari orang-orang di luar sistem seperti pegawai kantor, atau kenalan pribadi?
Secara empiris, pihak pemberi informasi perkara (informan kasus) dapat berasal dari beragam latar belakang, baik dari lingkungan internal lembaga hukum maupun dari pihak eksternal yang memiliki akses terhadap informasi perkara atau jaringan sosial tertentu. Dalam praktik di lapangan, terdapat beberapa pola yang cukup umum ditemukan.
Pertama, dari sisi jaringan internal lembaga hukum, pemberi informasi terkadang berasal dari individu yang bekerja di sekitar sistem peradilan, seperti staf administrasi pengadilan, pegawai kejaksaan, atau aparat kepolisian yang mengetahui perkembangan perkara tertentu.
Akses mereka terhadap data dan dokumen hukum menjadikan informasi yang dimiliki bernilai strategis bagi advokat. Namun, keterlibatan pihak internal ini jelas mengandung potensi pelanggaran etik dan hukum, termasuk pelanggaran terhadap asas kerahasiaan jabatan dan kemungkinan tindak pidana penyalahgunaan wewenang.
Kedua, dari sisi jaringan eksternal, pemberi informasi sering kali berasal dari kalangan wartawan, pegawai swasta, relasi pribadi, atau pihak yang memiliki kedekatan sosial dengan calon klien atau lembaga terkait perkara.
Mereka berperan sebagai perantara yang menghubungkan advokat dengan calon klien, biasanya dengan motivasi ekonomi melalui sistem “persenan” sebagaimana dijelaskan sebelumnya. Dalam konteks ini, hubungan yang terbangun bersifat informal dan tidak memiliki dasar hukum yang sah, namun tetap terjadi karena adanya insentif timbal balik antara advokat dan informan.
Ketiga, tidak jarang pula jaringan pemberi informasi ini berkembang menjadi struktur semi-profesional, terutama di kota besar atau daerah dengan aktivitas litigasi tinggi. Mereka membentuk jejaring yang mengorganisir aliran informasi perkara dan distribusi klien ke sejumlah advokat tertentu.
Fenomena ini menunjukkan adanya komersialisasi akses terhadap keadilan, yang berpotensi menggeser orientasi profesi advokat dari pelayanan hukum yang berbasis etika menuju kepentingan ekonomi murni.
Secara normatif, keterlibatan pihak-pihak seperti ini jelas bertentangan dengan prinsip independensi, integritas, dan kerahasiaan profesi advokat sebagaimana diatur dalam Kode Etik Advokat Indonesia.
Dari sudut pandang akademis, fenomena tersebut menggambarkan adanya tensi antara etika profesi dan realitas pasar jasa hukum, sehingga memerlukan penguatan mekanisme pengawasan, peningkatan literasi etik, dan reformasi kelembagaan profesi agar praktik percaloan perkara dapat diminimalisir.
Dalam banyak kasus, advokat bahkan aktif mencari perkara lewat jaringan ini. Apakah ini menandakan profesi hukum kini berubah menjadi industri berbasis target ekonomi?
Pertanyaan ini menyentuh persoalan mendasar dalam dinamika profesi advokat di Indonesia, yakni pergeseran orientasi dari profesi etik berbasis pengabdian hukum (officium nobile) menuju industri jasa hukum yang berorientasi ekonomi.
Secara sosiologis, kenyataan bahwa sebagian advokat kini aktif mencari perkara melalui jaringan perantara atau sistem “pencarian klien” menunjukkan adanya transformasi struktural dalam dunia profesi hukum modern. Fenomena ini dapat dijelaskan dari dua sudut pandang.
Pertama, dari sisi ekonomi profesi, advokat kini beroperasi dalam sistem pasar jasa hukum yang semakin kompetitif. Deregulasi, liberalisasi sektor jasa, serta meningkatnya jumlah advokat baru telah menciptakan kondisi di mana keberlangsungan praktik hukum sangat bergantung pada kemampuan advokat memperoleh klien secara berkelanjutan.
Dalam konteks ini, logika ekonomi dan strategi pemasaran mulai mendominasi praktik yang sebelumnya bersandar pada reputasi dan etika profesi.
Kedua, dari sisi etik dan idealisme profesi, keterlibatan aktif advokat dalam mencari perkara melalui jaringan perantara menandakan adanya komodifikasi terhadap akses keadilan, di mana kasus hukum diperlakukan sebagai objek ekonomi, bukan lagi sebagai medium penegakan keadilan.
Hal ini bertentangan dengan nilai-nilai dasar dalam Kode Etik Advokat Indonesia, terutama Pasal 3 dan Pasal 4 yang menegaskan kewajiban advokat menjaga kehormatan profesi dan tidak menggunakan cara-cara yang merendahkan martabat hukum.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa profesi advokat saat ini memang tengah mengalami proses industrialisasi, di mana dimensi ekonomi, branding, dan kompetisi pasar turut membentuk perilaku profesional. Namun, pergeseran ini tidak seharusnya dimaknai sebagai degradasi mutlak, melainkan sebagai tantangan bagi organisasi profesi untuk menyeimbangkan antara aspek bisnis dan idealisme hukum.
Reformasi pendidikan hukum, pembinaan etika profesi yang lebih kuat, serta pengawasan organisasi advokat menjadi kunci untuk memastikan bahwa profesionalisme advokat tetap berpijak pada nilai keadilan, bukan semata pada target ekonomi.
Apa yang mendorong advokat melakukan praktik seperti ini? Apakah karena tekanan persaingan, biaya operasional tinggi, atau sudah menjadi kultur baru dalam dunia hukum?
Saya melihat dorongan advokat untuk melakukan praktik “pencarian perkara” melalui sistem persenan atau jaringan perantara dapat dijelaskan sebagai hasil dari kombinasi antara faktor struktural, ekonomi, dan kultural yang berkembang dalam ekosistem profesi hukum di Indonesia.
Fenomena ini tidak dapat dilihat semata sebagai penyimpangan individu, melainkan sebagai gejala sistemik dalam industri jasa hukum yang semakin kompetitif.
Pertama, dari sisi tekanan persaingan, jumlah advokat di Indonesia meningkat tajam pasca reformasi hukum dan liberalisasi profesi. Data organisasi advokat menunjukkan bahwa ribuan advokat baru masuk pasar setiap tahun, sementara distribusi perkara cenderung tidak merata dan terkonsentrasi di kota besar.
Akibatnya, sebagian advokat menghadapi kesulitan memperoleh klien, sehingga muncul dorongan pragmatis untuk menggunakan jaringan perantara sebagai strategi bertahan hidup di pasar jasa hukum.
Kedua, faktor biaya operasional dan beban profesi juga menjadi pendorong signifikan. Praktik hukum modern menuntut biaya tinggi seperti sewa kantor, gaji staf, transportasi, serta kewajiban organisasi profesi yang tidak sebanding dengan pendapatan advokat muda atau firma kecil.
Dalam situasi tersebut, praktik “persenan” dianggap sebagai cara cepat untuk memperoleh akses ke klien dan menjaga keberlangsungan usaha hukum, meskipun bertentangan dengan prinsip etika. Ketiga, aspek kultural dan sosialisasi profesi juga turut berperan.
Di sejumlah kalangan, terutama di tingkat praktik lapangan, muncul semacam “normalisasi perilaku” bahwa mencari perkara melalui jaringan informal adalah hal yang lumrah dan merupakan bagian dari strategi pemasaran.
Kultur ini, yang terbentuk karena lemahnya pengawasan etik dan kurangnya penegakan disiplin organisasi advokat, pada akhirnya melahirkan semacam budaya kompromi etik dalam dunia hukum.
Dari perspektif akademik, ketiga faktor ini menunjukkan adanya pergeseran paradigma profesi advokat: dari orientasi idealistik sebagai penegak keadilan menjadi orientasi instrumental yang menempatkan perkara sebagai komoditas ekonomi.
Kondisi ini memerlukan koreksi struktural melalui peningkatan kesejahteraan profesi, penguatan kode etik, serta pembinaan moral dan integritas sejak tahap pendidikan hukum.
Dengan demikian, praktik tersebut tidak semata disebabkan oleh motif ekonomi individu, tetapi mencerminkan tantangan sistemik dalam menjaga keseimbangan antara profesionalisme hukum dan nilai moralitas profesi.
Kalau kita lihat lebih dalam, apakah sistem rekrutmen dan pembinaan advokat saat ini ikut andil menciptakan pola pikir komersial dalam menangani perkara?
Pertanyaan ini sangat relevan dalam konteks evaluasi kelembagaan profesi advokat di Indonesia. Secara akademik, dapat dikatakan bahwa sistem rekrutmen dan pembinaan advokat saat ini memang memiliki kontribusi terhadap munculnya pola pikir komersial dalam praktik penanganan perkara.
Hal ini terjadi akibat interaksi antara faktor struktural kelembagaan, paradigma pendidikan hukum, dan mekanisme sosialisasi etika profesi yang belum sepenuhnya efektif.
Pertama, dari sisi rekrutmen advokat, mekanisme penerimaan anggota baru sering kali menitikberatkan pada aspek administratif dan kemampuan akademis formal, namun kurang menekankan proses internalisasi nilai etik dan integritas profesi.
Ujian advokat umumnya berfokus pada pengetahuan hukum positif dan keterampilan litigasi, sementara pembentukan karakter moral dan idealisme profesi sebagai officium nobile tidak memperoleh porsi yang memadai. Akibatnya, sebagian advokat baru masuk ke dunia praktik dengan orientasi pragmatis: bagaimana memperoleh klien dan bertahan di pasar jasa hukum.
Kedua, dari sisi pembinaan dan pengawasan organisasi advokat, masih terdapat kelemahan dalam implementasi fungsi etika dan pengendalian perilaku profesi. Pengawasan etik sering kali bersifat reaktif baru dilakukan ketika terjadi pelanggaran terbuka dan tidak membangun kultur profesional yang preventif.
Dalam situasi ini, advokat muda belajar dari praktik lapangan yang sering kali lebih bernuansa komersial daripada idealistik, sehingga terbentuk pola pikir instrumental dan orientasi bisnis terhadap perkara hukum.
Ketiga, pendidikan hukum di tingkat universitas juga ikut berperan. Kurikulum fakultas hukum di banyak perguruan tinggi lebih menekankan aspek teoretis dan kognitif, bukan pembinaan etos profesi dan tanggung jawab sosial hukum.
Akibatnya, mahasiswa hukum melihat profesi advokat bukan sebagai panggilan moral untuk menegakkan keadilan, tetapi sebagai peluang karier yang menjanjikan keuntungan finansial.
Dari perspektif normatif, hal ini tentu bertentangan dengan amanat Pasal 3 dan Pasal 4 Kode Etik Advokat Indonesia, yang menegaskan bahwa advokat harus menjunjung tinggi kehormatan, kepribadian, dan idealisme profesi. Dengan demikian, sistem rekrutmen dan pembinaan yang lebih berorientasi pada kuantitas ketimbang kualitas telah secara tidak langsung mendorong komersialisasi profesi advokat.
Oleh karena itu, reformasi sistem rekrutmen dan pembinaan menjadi sangat penting: memperkuat pendidikan etik, meningkatkan selektivitas moral calon advokat, serta memperkuat fungsi pembinaan berkelanjutan (continuous professional development) yang menekankan keseimbangan antara profesionalisme dan nilai moralitas hukum.
Bagaimana praktik persenan ini memengaruhi etika profesi dan relasi antara advokat dengan klien? Apakah kepercayaan publik ikut tergerus?
Praktik “persenan” atau pemberian komisi kepada pihak pemberi informasi perkara memiliki dampak signifikan terhadap etika profesi advokat dan hubungan fundamental antara advokat dengan klien. Lebih jauh lagi, praktik ini turut berkontribusi pada menurunnya kepercayaan publik terhadap profesi hukum secara keseluruhan.
Pertama, dari perspektif etika profesi, praktik tersebut secara langsung melanggar prinsip integritas, kemandirian, dan kehormatan profesi sebagaimana diatur dalam Kode Etik Advokat Indonesia (KEAI), khususnya Pasal 3 dan Pasal 4.
Advokat yang berorientasi pada keuntungan finansial semata melalui sistem “persenan” cenderung mengaburkan batas antara pelayanan hukum yang profesional dengan transaksi komersial murni. Hal ini menjadikan profesi advokat kehilangan esensinya sebagai officium nobile profesi mulia yang menempatkan kepentingan hukum dan keadilan di atas kepentingan pribadi.
Kedua, dari sisi relasi antara advokat klien, praktik ini berpotensi menciptakan hubungan yang tidak transparan dan tidak berbasis kepercayaan. Ketika perkara diperoleh melalui perantara berbayar, motivasi utama advokat sering kali bergeser dari upaya mencapai keadilan menuju pemenuhan target ekonomi.
Akibatnya, advokat mungkin kurang objektif dalam memberikan nasihat hukum, menekan biaya profesionalisme, atau bahkan melakukan kompromi yang merugikan klien. Dalam jangka panjang, hubungan advokat klien yang seharusnya dibangun atas dasar kepercayaan dan kerahasiaan hukum menjadi transaksional dan rapuh.
Ketiga, dampaknya terhadap kepercayaan publik juga signifikan. Ketika masyarakat melihat bahwa advokat memperoleh perkara melalui praktik “percaloan” atau sistem komisi, persepsi publik terhadap profesi hukum menjadi negatif. Advokat tidak lagi dipandang sebagai penegak keadilan, melainkan sebagai pelaku ekonomi yang memperjualbelikan jasa hukum secara oportunistik.
Fenomena ini menciptakan trust deficit yang pada akhirnya dapat menurunkan legitimasi sosial profesi advokat dan bahkan mencoreng citra lembaga peradilan secara keseluruhan. Dengan demikian, praktik “persenan” bukan hanya masalah etika individu, melainkan indikator krisis moral dan profesionalisme dalam sistem hukum.
Upaya pemulihan kepercayaan publik harus dimulai dari penguatan etika profesi, peningkatan transparansi hubungan advokat klien, dan penegakan disiplin organisasi advokat secara konsisten. Hanya dengan demikian profesi advokat dapat kembali menegaskan posisinya sebagai pilar utama dalam penegakan hukum dan keadilan yang bermartabat.
Apakah ada perbedaan antara advokat senior dan advokat muda dalam menyikapi praktik semacam ini? Siapa yang lebih sering melakukannya?
Pertanyaan ini menarik, karena menyentuh aspek generasi dalam profesi hukum. Antara idealisme dan realitas ekonomi, sering kali keduanya saling bertabrakan di dunia advokat.
Secara umum, advokat muda memang lebih rentan terlibat dalam praktik “persenan” atau percaloan perkara. Tekanan ekonomi, minimnya jaringan, dan belum mapannya reputasi membuat sebagian dari mereka mencari jalan pintas. Banyak yang masih beradaptasi di lapangan dan belum benar-benar menginternalisasi nilai etika profesi, sehingga praktik “bagi hasil” dianggap hal wajar bahkan strategi bertahan hidup.
Sementara advokat senior biasanya lebih berhati-hati. Mereka punya reputasi, jaringan klien, dan kestabilan ekonomi yang relatif mapan. Namun, bukan berarti steril. Ada juga yang tetap bermain di wilayah abu-abu, hanya saja lebih halus: dikemas sebagai “kerja sama profesional” atau “kemitraan”, bukan transaksi terang-terangan.
Masalahnya, kultur ini sering kali turun-temurun. Kalau senior masih menoleransi atau bahkan mencontohkan praktik semacam ini, maka generasi muda akan menirunya. Tapi kalau senior berani menegakkan etika dan menjadi teladan, mereka justru bisa menjadi agen perubahan dalam reformasi moral profesi hukum.
Jadi, secara kasat mata, advokat muda lebih sering melakukannya, tapi advokat senior punya peran kunci apakah kultur ini terus hidup, atau berhenti di generasi mereka.
Biasanya “persenan” ini diambil dari biaya perkara atau honor klien. Bagaimana pembagian itu dilakukan tanpa melanggar hukum, meskipun secara moral bisa dipersoalkan?
Secara praktik, memang tidak mudah menjeratnya secara hukum. Karena secara formal, uang itu berasal dari honor sah yang dibayar klien. Biasanya disiasati lewat skema honorarium misalnya klien membayar sekian, sebagian kecil disisihkan untuk pemberi informasi atau pihak yang menghubungkan.
Tidak ada jejak administratif yang jelas, semuanya dibungkus rapi dan informal. Kadang lewat transfer pribadi, kadang tunai, bahkan melalui pihak ketiga. Jadi secara hukum tidak ada pelanggaran kontraktual, tapi secara etika jelas bermasalah.
Undang-Undang Advokat memang tidak secara eksplisit melarang pembagian fee ke pihak luar, tapi Kode Etik Advokat Indonesia jelas menuntut advokat untuk bertindak jujur, transparan, dan menjaga kehormatan profesi. Jadi ini bentuk “legal compliance” tapi “moral violation” sah di atas kertas, tapi melanggar semangat officium nobile yang menuntut advokat bekerja dengan integritas, bukan kalkulasi keuntungan tersembunyi.
Apakah organisasi profesi seperti PERADI atau IKADIN mengetahui dan membiarkan praktik seperti ini?
Sejujurnya, mereka tahu. Organisasi profesi seperti PERADI, IKADIN, dan lainnya pasti menyadari praktik ini. Tapi pengawasannya masih lemah dan cenderung reaktif. Sanksi etik baru bergerak kalau ada laporan resmi bukan karena sistem pengawasan yang aktif.
Masalah lainnya ada di budaya kompromi internal. Banyak pelanggaran etik yang diselesaikan “secara kekeluargaan”, tanpa efek jera. Apalagi sejak munculnya fragmentasi organisasi advokat pasca dualisme PERADI, pengawasan jadi tidak konsisten.
Alih-alih membina integritas, kadang organisasi lebih sibuk menambah anggota. Akibatnya, fungsi etik berubah jadi simbolik. Jadi bukan soal mereka tidak tahu, tapi karena lemahnya sistem dan keberanian menindak yang membuat praktik seperti ini bertahan.
Reformasi harus dimulai dari sini: memperkuat lembaga etik yang independen, memperjelas sanksi, dan membuka mekanisme pelaporan publik. Tanpa itu, organisasi profesi hanya akan jadi “klub keanggotaan,” bukan penjaga marwah profesi hukum.
Apakah sebagian advokat akhirnya bergantung pada sistem “persenan” ini demi bertahan?
Ya, itu fakta di lapangan. Dunia hukum kini makin kompetitif. Banyak advokat yang menggantungkan hidup dari perkara, bukan dari idealisme. Akhirnya muncul adaptasi: “asal tidak melanggar hukum, ya jalan saja.”
Padahal, dalam Undang-Undang Advokat jelas ditegaskan bahwa honorarium harus “wajar dan disepakati bersama klien.” Artinya, tidak boleh ada mekanisme tersembunyi yang mengubah hukum jadi ladang komisi.
Dalam konteks teori hukum, fenomena ini bisa disebut sebagai pergeseran nilai dari profesi mulia menjadi profesi komersial. Advokat bukan lagi pelayan keadilan, tapi pemain pasar hukum. Di sini lah letak bahayanya ketika etika kalah oleh logika pasar.
Kalau ditarik lebih jauh, apakah ini bisa disebut bentuk kapitalisasi hukum?
Ya, tepat sekali. Inilah yang disebut kapitalisasi hukum ketika perkara menjadi produk, dan informasi hukum jadi komoditas.
Dalam kacamata sosiologi hukum, Max Weber sudah menyinggung hal ini: ketika rasionalisasi hukum terjadi, hukum kehilangan jiwanya dan berubah jadi instrumen ekonomi. Pierre Bourdieu pun menyebut hukum sebagai “field of power,” tempat modal simbolik bisa dikonversi jadi modal ekonomi.
Jadi, ketika advokat berburu perkara seperti berburu proyek, sebenarnya mereka sedang mengkomersialisasi keadilan. Secara legal mungkin sah, tapi secara moral, itu menggerus makna hukum sebagai ruang etis.
Bagaimana pengaruhnya terhadap idealisme advokat yang seharusnya berpihak pada keadilan?
Pengaruhnya sangat besar. Begitu advokat kehilangan idealismenya, hukum kehilangan ruhnya. Advokat seharusnya bekerja dengan kesadaran moral, bukan kalkulator bisnis.
Undang-Undang Advokat sendiri menegaskan, profesi ini bebas dan mandiri, tapi juga bertanggung jawab menegakkan keadilan. Begitu orientasinya hanya pada profit, independensi itu berubah jadi alat transaksi.
Satjipto Rahardjo sudah mengingatkan lewat hukum progresif: jangan biarkan hukum kehilangan kemanusiaannya. Nah, fenomena “persenan” ini salah satu bentuk kehilangan itu hukum berubah jadi alat tawar-menawar, bukan alat pembebasan.
Apakah Anda pernah melihat langsung bagaimana sistem “komisi informasi perkara” ini bekerja?
Secara empiris, praktik ini memang ada. Biasanya dimulai dari seseorang di jaringan lembaga hukum memberi info perkara ke advokat. Lalu advokat menawarkan jasa ke pihak terkait, dengan janji bagi hasil.
Prosesnya halus, jarang ada jejak tertulis. Tapi intinya jelas: ada jual-beli akses hukum. Padahal Kode Etik Advokat Pasal 4 huruf e sudah tegas melarang advokat memberikan imbalan kepada siapa pun demi mendapatkan klien.
Dalam teori Satjipto Rahardjo, ini disebut patologi hukum penyakit dalam sistem hukum yang muncul karena kesenjangan antara norma dan realitas. Kalau dibiarkan, penyakit ini akan jadi budaya.
Bagaimana publik bisa membedakan antara advokat profesional dengan pemburu proyek perkara?
Cukup dengan melihat cara mereka bekerja dan berkomunikasi. Advokat profesional transparan dalam menjelaskan biaya, terbuka soal kontrak, dan fokus pada substansi hukum.
Sebaliknya, advokat pemburu proyek biasanya bermain di ranah lobi dan relasi informal, bukan argumen hukum. Mereka menjual akses, bukan keahlian.
Advokat profesional tak butuh “pintu belakang” untuk membela kliennya. Mereka percaya pada hukum, bukan pada jaringan bayangan. Di situlah perbedaannya antara penegak hukum sejati dan pedagang perkara.
Apakah kode etik advokat masih cukup relevan untuk menindak praktik seperti ini, atau justru sudah tidak punya gigi menghadapi realitas ekonomi profesi hukum?
Kalau bicara secara normatif, kode etik advokat itu masih relevan. Aturannya jelas, semangat moralnya juga masih kuat. Tapi di lapangan, penegakannya sering tumpul. Banyak kasus yang berhenti di meja etik karena faktor solidaritas internal atau konflik kepentingan di organisasi advokat sendiri.
Realitasnya, tekanan ekonomi di dunia jasa hukum sekarang tinggi sekali. Jadi meski kode etik itu masih ada, giginya tumpul menghadapi logika pasar dan persaingan profesi yang makin ketat. Ini bukan soal teks hukumnya yang lemah, tapi soal mental dan sistem pengawasannya yang belum tegas.
Dari sisi moral, apakah praktik persenan ini sama berbahayanya dengan suap atau pengaturan perkara?
Secara hukum, belum tentu sama, tapi secara moral ya bahayanya sebanding. Ketika advokat menawarkan “persenan” atau bagi hasil perkara, artinya orientasinya sudah bukan lagi keadilan, tapi transaksi. Itu merusak kepercayaan publik, sama halnya dengan suap di lembaga peradilan.
Kode etik advokat sebenarnya sudah tegas melarang praktik seperti itu. Tapi ketika praktik persenan dianggap wajar, yang rusak bukan cuma citra profesi, tapi nurani hukumnya sendiri. Jadi meski tidak masuk ranah pidana, secara etika moral itu sama bahayanya menodai martabat profesi hukum.
Bagaimana seharusnya lembaga pendidikan hukum menyiapkan calon advokat agar tidak terjebak pola pikir transaksional seperti ini?
Pendidikan hukum harus berani keluar dari pola hafalan pasal. Mahasiswa hukum perlu diajak berpikir reflektif, dilatih menghadapi dilema etika lewat simulasi kasus dan klinik hukum. Tujuannya bukan sekadar mencetak “penghafal undang-undang”, tapi membangun karakter dan suara hati hukum.
Kalau sejak di kampus mereka sudah dibiasakan dengan empati sosial dan tanggung jawab moral, kecil kemungkinan nanti mereka akan melihat hukum hanya sebagai komoditas ekonomi. Hukum harus diajarkan dengan hati, bukan hanya logika.
Langkah paling realistis untuk mengembalikan integritas profesi advokat agar tidak terjebak dalam arus kapitalisasi hukum?
Pertama, penegakan kode etik harus tegas dan transparan. Jangan ada kompromi di tubuh organisasi advokat sendiri. Kedua, pendidikan etik harus jadi bagian inti di fakultas hukum, bukan pelengkap. Ketiga, perlu budaya penghargaan terhadap advokat berintegritas, bukan yang paling kaya atau paling terkenal.
Kalau tiga hal ini dijalankan bersamaan, profesi advokat bisa kembali jadi officium nobile, profesi yang mulia dan terhormat, bukan sekadar pelaku bisnis hukum.
Kalau fenomena ini terus dibiarkan, seperti apa wajah profesi hukum Indonesia lima atau sepuluh tahun ke depan?
Kalau dibiarkan, profesi hukum bisa kehilangan jiwanya sebagai pelayan keadilan. Orang tidak lagi melihat advokat sebagai penegak hukum, tapi sebagai pedagang perkara. Kepercayaan publik akan hilang, dan hukum berubah jadi alat transaksi, bukan alat keadilan.
Kalau sampai titik itu terjadi, profesi advokat tidak lagi bisa disebut profesi mulia. Ia akan kehilangan makna moralnya dan hanya jadi bagian dari industri hukum yang kering nilai kemanusiaan. Karena itu, perubahan harus dimulai sekarang dari kampus, dari organisasi profesi, dan dari kesadaran moral setiap advokat itu sendiri. (*)
| Pewarta | : Hainor Rahman |
| Editor | : Hainorrahman |