https://malang.times.co.id/
Wawancara Khusus

Dr. Raden Bambang Sumarsono: Kampus Harus Menjadi Motor Perubahan Sosial

Senin, 26 Mei 2025 - 11:32
Dr. Raden Bambang Sumarsono: Kampus Harus Menjadi Motor Perubahan Sosial Dr. Raden Bambang Sumarsono, M.Pd, Dosen Manajemen Pendidikan FIP Universitas Negeri Malang.

TIMES MALANG, MALANG – Transformasi arah kebijakan pendidikan tinggi di Indonesia memasuki babak baru. Jika sebelumnya Kampus Merdeka menekankan fleksibilitas dan kebebasan belajar mahasiswa, kini Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi RI mengusung paradigma “Kampus Berdampak”. 

Konsep ini menitikberatkan pada kontribusi nyata perguruan tinggi terhadap masyarakat, dunia kerja, dan pembangunan berkelanjutan.

Dalam wawancara khusus dengan TIMES Indonesia, Dr. Raden Bambang Sumarsono, M.Pd, Dosen Manajemen Pendidikan FIP Universitas Negeri Malang, menyebut perubahan ini bukan sekadar ganti istilah, melainkan pergeseran paradigma. 

“Kampus Berdampak menuntut seluruh sivitas akademika-dosen, mahasiswa, hingga tenaga kependidikan untuk tampil sebagai agen perubahan, bukan hanya pengembang ilmu,” ujarnya 

Ia mengibaratkan Kampus Merdeka sebagai kapal yang membebaskan awaknya menjelajah samudra, sedangkan Kampus Berdampak adalah kapal itu sendiri yang harus memberikan manfaat bagi pulau-pulau yang disinggahinya. 

"Ini bukan hanya perubahan semantik, tapi arah strategis pendidikan tinggi agar lebih relevan dan solutif terhadap persoalan sosial," tegasnya.

Dimensi Filosofis dan Visi Pendidikan Tinggi

Bagaimana Anda melihat perbedaan mendasar antara konsep “Kampus Merdeka” dengan “Kampus Berdampak”? Apakah ini transformasi visi atau hanya perubahan semantik?

Menurut saya perbedaan mendasar antara kampus merdeka (KM) dan Kampus Berdampak (KB): KM lebih menitikberatkan pada “pembebasan” atau “keleluasaan” atau bisa jadi “fleksibilitas” bagi mahasiswa untuk pengembangan kemampuan atau kompetensi individu dalam proses pembelajaran yang fleksibel dan inovatif. 

Sementara itu, KB lebih menekankan pada fungsi sosial dan kontribusi institusi pendidikan (dalam hal ini kampus) terhadap pembangunan masyarakat dan lingkungan secara nyata dan berkelanjutan, sehingga titik tekannya tidak hanya mahasiswa, namun dosen dan tendik bisa (sivitas akademik kampus) dapat membawa dampak nyata bagi masyarakat. 

Saya analogikan KM itu seperti kapten kapal laut yang memberikan kebebasan penuh kepada awak kapal (dalam hal ini adalah mahasiswa) untuk menjelajah lautan dengan cara mereka sendiri. Kapten membebaskan awak kapal untuk memilih rute, mengasah kemampuan navigasi, dan mencoba pengalaman baru agar mereka para awak kapal tersebut siap menghadapi berbagai kondisi di laut luas (Samudra). 

Fokusnya adalah pada pengembangan keterampilan dan kebebasan belajar awak kapal tersebut. Sementara itu, Kampus Berdampak seperti kapal itu sendiri (sivitas akadmik kampus) yang harus bisa memberikan manfaat bagi pulau-pulau yang dilaluinya (yaitu masyarakat). 

Kapal harus kokoh, inovatif, futuristik dan mampu membawa perubahan positif bagi pulau-pulau tersebut, misalnya dengan membawa bantuan, membuka jalur perdagangan, atau memperbaiki infrastrukturm sehingga fokusnya adalah pada dampak nyata yang dibawa kapal ke lingkungan di sekitarnya.

Saya kira apabila ditinjau dari konteks kebijakan pendidikan tinggi, perubahan Kampus Merdeka menjadi Kampus Berdampak bukan sekadar perubahan semantik (hanya penggantian istilah atau gaya bahasa), tetapi lebih merupakan transformasi visi dan paradigma dalam menjalankan peran perguruan tinggi secara futuristik dan inovatif. 

Ini adalah suatu pergeseran paradigma yang nyata, sehingga tidak hanya berfokus pada pengembangan individu mahasiswa (Kampus Merdeka) melainkan kampus harus bisa memberikan kontribusi dan tanggung jawab sosial institusi (Kampus Berdampak).

Menurut Anda, bagaimana semestinya pendidikan tinggi memaknai istilah “berdampak”? Apakah ini sejalan dengan tridarma perguruan tinggi?

Dalam konteks pendidikan tinggi, istilah “berdampak” tentunya kampus tidak sekadar merujuk pada pencapaian hasil akademik saja, menghasilkan lulusan, publikasi, ranking global, tapi juga kampus yang mentransformasi dan mencerminkan kontribusi nyata bagi kehidupan masyarakat. Dampak ini mencakup beragam bidang, termasuk sosial, ekonomi, budaya, teknologi, lingkungan hidup.

Singkatnya, “berdampak” berarti kampus harus mampu menghadirkan perubahan positif yang bersifat berkelanjutan dan signifikan melalui pelaksanaan pendidikan, penelitian, serta pengabdian kepada masyarakat. 

Perguruan tinggi tidak hanya berfungsi sebagai pusat ilmu dan teknologi, tetapi juga sebagai wadah inovasi serta agen transformasi sosial yang menyesuaikan dengan tuntutan zaman. 

Dengan demikian menurut saya “kampus berdampak” sangat sejalan dengan nafas Tridharma perguruan tinggi, dimana pada pelaksanaan dharma pertama (pendidikan dan pengajaran) melalui kebijakan kampus berdampak akan menghasilkan lulusan yang tidak hanya unggul secara akademik, tetapi juga lulusannya memiliki kesadaran dan kemampuan untuk memberi kontribusi positif secara nyata bagi masyarakat dan dunia kerja.

Dhrama kedua, (penelitian) tentunya fokusnya pada pengembangan ilmu yang dapat diaplikasikan untuk menyelesaikan permasalahan nyata di masyarakat, sehingga penelitian tidak hanya bersifat teoritis tetapi juga aplikatif dan berdampak langsung terhadap masyarakat.

Ketiga, PKM, melalui kegiatan PKM maka kampus dapat menjalankan peran sebagai motor penggerak dalam pembangunan masyarakat tentunya dengan berbagai program yang bisa meningkatkan kualitas hidup masyarakat dan memfasilitasi transfer of knowledge serta teknologi pada lingkungan masyarakat.

Arah Kebijakan dan Implementasi di Lapangan

Apakah Anda melihat kebijakan ini telah memiliki arah yang jelas dalam peraturan atau panduan teknis bagi perguruan tinggi?

Secara spesifik peraturan tersebut belum saya baca, namun dari berbagai pandangan yang dilontarkan pada kegiatan seminar yang pernah saya ikuti tentang kampus berdampak, kebijakan ini telah memiliki arah yang jelas dalam peraturan atau panduan teknis bagi perguruan tinggi. 

Jadi, intinya bahwa meskipun arahan kebijakan sudah ada, namun tentunya tingkat pemahaman dan kesiapan perguruan tinggi dalam menerjemahkan kebijakan tersebut ke dalam program operasional bisa bervariasi. 

Beberapa perguruan tinggi bisa jadi ada sudah mulai mengembangkan standar operasional dan panduan teknis internal untuk menjalankan Kampus Berdampak, akan tetapi bisa jadi tidak sedikit kampus yang masih dalam tahap adaptasi.

Apa tantangan utama dalam menggeser orientasi dari kebebasan belajar ke dampak nyata yang terukur? Apakah semua kampus siap?

Menggeser orientasi dari kebebasan belajar ke dampak nyata yang terukur memang menuntut perubahan mendasar dalam cara kerja perguruan tinggi, baik secara budaya, kompetensi, maupun sumber daya. 

Menurut saya tentunya tidak semua kampus sudah siap secara menyeluruh (karena ini kebijakan baru) sehingga tentunya perlu adanya pendampingan, pelatihan, dan penguatan kapasitas yang berkelanjutan agar seluruh perguruan tinggi mampu mengimplementasikan kebijakan Kampus Berdampak secara efektif dan berkelanjutan.

Dalam konteks manajemen kampus, apa perubahan strategis yang perlu dilakukan rektorat untuk menyambut paradigma ini?

Kalau dari pandangan saya (bukan sebagai pejabat kampus) tentunya perubahan strategi yang perlu dilakukan adalah adanya perubahan mindset dari seluruh sivitas akademik, memberikan pemahaman yang mendalam terkait kebijakan kampus berdampak. Dan tentunya perlu diperkuat oleh peraturan sebagai payung hukumnya sehingga implementasi kampus berdampak ada landasan hukumnya.

Dimensi Kurikulum dan Pembelajaran

Bagaimana “Kampus Berdampak” akan memengaruhi kurikulum dan metode pembelajaran? Apakah program magang dan studi independen masih relevan? 

Selama ini UM senantiasa meninjau ulang kurikulum prodi untuk menselaraskan apa yang menjadi kebutuhan masyarakat, dengan penerapan Project Based Learning (PjBL) maupun Case Method dalam pembelajaran/perkuliahan yang selama ini telah diterapkan oleh selurun dosen UM tentunya sangat signifikan terhadap implementasi kampus berdampak. Saya kira program magang dan studi independen masih sangat relevan dengan nafas kampus berdampak.

Apa bentuk konkret pembelajaran berbasis dampak sosial yang bisa diterapkan di kelas maupun di luar kampus? 

Dengan mengitegrasikan hasil penelitian dosen ke dalam pembelajaran bisa menambah wawasan bagi mahasiswa dan hasil penelitian dosen tersebut bisa diperdalam lagi oleh mahasiswa dengan melalui studi lapangan yang akan menambah kontribusi pada dampak social masyarakat.

Kolaborasi dan Keterlibatan Masyarakat

Kampus Berdampak tampaknya mendorong kolaborasi dengan mitra eksternal. Bagaimana bentuk kemitraan ideal antara kampus dengan dunia industri atau masyarakat sipil? 

Kemitraan ideal (salah satunya dengan prinsip transparansi dan saling kepercayaan) antara kampus dengan dunia industri dan masyarakat sipil merupakan kemitraan yang strategis, berorientasi hasil, dan berkelanjutan, dengan kolaborasi aktif di berbagai bidang.

Misalnya dari penelitian, pendidikan, pengabdian masyarakat, hingga pengembangan kampus. Saya kira dengan pendekatan ini akan memperkuat peran kampus sebagai agen perubahan sekaligus memperkuat relevansi dan kualitas lulusan di dunia nyata.

Apakah kebijakan ini akan memperkuat fungsi pengabdian masyarakat sebagai bagian integral dari pendidikan? 

Tentunya dengan kebijakan Kampus Berdampak, fungsi pengabdian masyarakat akan semakin diperkuat dan menjadi bagian integral dari seluruh aktivitas akademik dan riset di perguruan tinggi. 

Dengan demikian menurut saya kegiatan pengabdian masyarakat sebagai wahana strategis untuk mewujudkan manfaat nyata dan berkelanjutan bagi masyarakat serta pengembangan kualitas pendidikan tinggi itu sendiri.

Penilaian, Evaluasi, dan Indikator Dampak

Bagaimana cara mengukur “dampak” yang ditimbulkan oleh perguruan tinggi secara objektif dan adil? 

Cara mengukur dampak perguruan tinggi secara objektif dan adil tentunya memerlukan perencanaan secara matang, menggunakan indikator yang tepat, evaluasi berkala, serta keterlibatan berbagai pihak untuk menjaga transparansi dan akuntabilitas.

Beberapa pihak khawatir bahwa orientasi dampak bisa menjauhkan kampus dari riset fundamental. Bagaimana Anda menanggapi kritik ini?

Kritik itu kurang tepat ya karena saya yakin bahwa orientasi pada dampak nyata dalam kebijakan Kampus Berdampak tidak dimaksudkan untuk menggantikan riset fundamental, melainkan memperkuat keterkaitan riset fundamental dengan kebutuhan nyata masyarakat dan industri. 

Dengan pendekatan ini, tentunya riset di perguruan tinggi dapat menjadi lebih relevan, berkelanjutan, dan memberikan kontribusi yang lebih besar bagi pembangunan nasional.

Apa saran Anda kepada para dosen dan pimpinan fakultas agar dapat menyesuaikan diri dengan paradigma baru ini? 

Sebagai Dosen, tentunya saya harus senantiasa mengembangkan kemampuan dan kompetensi melalui berbagai aktivitas, misalnya pelatihan, seminar, dan workshop. Dan kepada jajaran pimpinan fakultas atau universitas, bisa saya sarankan untuk memberikan peningkatan penghargaan dan insentif bagi dosen yang aktif dalam menjalankan tri dhrama perguruan tinggi. 

Selama ini terkait dengan insentif kinerja, saya rasa ada ketidakadilan jika dilihat dari jenjang jabatan. Misalnya dosen biasa (DS) dengan jabatan fungsional lebih tinggi dari dosen dengan tugas tambahan (DT), insentif kinerja nya jauh berbeda nah untuk itu perlu ditinjau ulang tentang hal tersebu atau perlu diselaraskan.

Refleksi dan Pesan

Dari pengalaman Anda, adakah praktik baik (best practice) dari kampus-kampus yang sudah “berdampak” secara nyata dan bisa dijadikan teladan nasional?

Salah satunya kampus UM tentunya ya bisa dijadikan best practice.

Apa pesan Anda bagi mahasiswa sebagai generasi yang sedang belajar di tengah pergeseran besar arah pendidikan tinggi ini? 

Mahasiswa tentunya sebagai ujung tombak perubahan dan inovasi, di tengah pergeseran besar arah pendidikan tinggi ini, maka jadilah pribadi yang tidak hanya cerdas secara akademik (intelektual) saja tetapi juga peduli dan berkontribusi nyata untuk masyarakat. 

Gunakan setiap peluang baik yang ada di dalam kampus maupun di luar kampus untuk mengasah kemampuan, memperluas wawasan, menambah jejaring (networking) dan mempersiapkan diri menjadi agen perubahan yang berdampak positif bagi masa depannya. 

Politik Kebijakan Pendidikan Tinggi

Dalam pandangan Anda, adakah indikasi bahwa kebijakan “Kampus Berdampak” ini lebih merupakan langkah politis ketimbang hasil refleksi akademik yang mendalam?

Kebijakan kampus berdampak bukan merupakan langkah politis, namun lebih pada kebutuhan dari perkembangan global dengan melihat kondisi masyarakat. 

Kebijakan Kampus Berdampak pada dasarnya berakar pada konsep tridharma perguruan tinggi yang sudah lama ada namun dengan penekanan baru pada dampak sosial-ekonomi yang terukur dan berkelanjutan. 

Saya mencoba mengulik dari sisi kajian komparatif dengan kebijakan pendidikan tinggi di negara lain, misalnya di USA banyak kampus besar mengadopsi misi dampak sosial dan kewirausahaan yang mendorong pengembangan startup dan riset yang berdampak luas, dengan sistem monitoring kinerja yang ketat. 

Sangat mungkin di Indonesia mengadopsi hal tersebut sehingga kebijakan kampus berdampak saya kira bukan merupakan langkah politis.

Apakah menurut Anda perubahan ini berisiko menciptakan disorientasi di lingkungan kampus, mengingat kita belum selesai sepenuhnya dengan evaluasi program Kampus Merdeka? 

Saya rasa perubahan paradigma dari Kampus Merdeka ke Kampus Berdampak memang memiliki risiko salah satunya yaitu bisa menimbulkan disorientasi atau kebingungan, dengan catatan apabila perubahan tidak didukung dengan informasi yang jelas dan terstruktur mengenai peralihan tersebut. 

Supaya tidak menimbulkan kebingungan atau disorientasi maka perlu dilakukan sosialisasi yang massif dan terstruktur, melalui pendekatan komunikasi yang tepat, integrasi program yang sinergis, pengembangan kapasitas yang berkelanjutan, dan evaluasi yang terus-menerus.

Bagaimana Anda menanggapi anggapan publik bahwa setiap pergantian menteri selalu membawa perubahan jargon dan arah kebijakan, sehingga menciptakan ketidakpastian di level implementasi? 

Menurut saya, pergantian menteri atau pejabat merupakan bagian yang alami dari dinamika pemerintahan dengan sistem demokratis, di mana setiap pemimpin membawa visi, gaya kepemimpinan, dan prioritas yang berbeda. 

Jadi, wajar sih jika ada anggapan publik seperti itu. Hanya saja hal tersebut perlu diatasi dengan yang tadi saya sampaikan sebelumnya bahwa kebijakan baru perlu disosialisasikan secara massif dan tersistematis, sehingga tidak menimbulkan “kegaduhan” dan “kebimbingan” pada ranah publik terlbih khusus pada kampus.

Menurut Anda, apa yang bisa dilakukan agar kebijakan pendidikan tinggi bersifat lebih berkelanjutan dan tidak terjebak pada siklus “ganti menteri, ganti kebijakan”? 

Agar kebijakan pendidikan tinggi tidak terjebak dalam siklus “ganti menteri, ganti kebijakan,” beberapa langkah strategis dapat diambil.

Pertama, regulasi yang dibuat harus jelas, mengikat, dan memiliki mekanisme evaluasi serta revisi berkala yang terencana, bukan bergantung pada pergantian pejabat.

Kedua, mengacu pada bukunya Frank Fischer pada Part IV: Policy Decision Making: Rationality, Networks, and Learning, dijelaskan bahwa “Kebijakan harus berbasis data dan evidence-based policy, sehingga keputusan yang diambil lebih objektif dan akan sulit diganti tanpa alasan kuat”.

Jika memang orientasi “dampak” ini adalah hal penting, mengapa tidak diperkuat saja program Kampus Merdeka sebelumnya, ketimbang mengganti wajah dan narasinya secara drastis? 

Di awal tadi saya sudah memberikan respon terkait KM dan KB secara detail, bahwa KM lebih menitikberatkan pada kebebasan belajar, fleksibilitas kurikulum, dan pemberian ruang eksplorasi bagi mahasiswa untuk memperluas pengalaman di luar kampus.

Namun demikian saya ulas lagi bahwa walaupun program KM telah membuka kesempatan bagi inovasi dan fleksibilitas pembelajaran. Tentunya pemerintah dalam hal ini kementerian terkait mengambil langkah guna memenuhi tuntutan akan pencapaian hasil yang lebih nyata, terukur secara sistematis, dan berkelanjutan dengan memalui kebijakan KB. 

Pergeseran ini bukan hanya soal penguatan, tapi juga perubahan paradigma dari “kebebasan belajar” ke “kontribusi berdampak”, yang secara konseptual lebih menuntut sinergi tridharma perguruan tinggi dan pengukuran hasil yang lebih konkret. (*)

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Wahyu Nurdiyanto
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Malang just now

Welcome to TIMES Malang

TIMES Malang is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.