TIMES MALANG, MALANG – Fenomena fatherless atau kehilangan figur ayah bukan lagi sekadar isu sosial nasional, tetapi telah menjadi tantangan nyata bagi ketahanan keluarga di Kota Malang. Di balik gemerlap urbanisasi dan dinamika kerja yang tinggi, banyak anak tumbuh tanpa kehadiran sosok ayah baik secara fisik maupun emosional.
Menurut dr. Rully Suwartiningsih, berpotensi memicu berbagai masalah psikologis pada anak, mulai dari gangguan emosi, rendahnya kepercayaan diri, hingga meningkatnya risiko perilaku berisiko.
Dinas Kesehatan Kota Malang sendiri, kata Rully, mulai memperkuat perhatian terhadap fenomena tersebut melalui layanan kesehatan jiwa di puskesmas, edukasi kesehatan mental, hingga kerja sama lintas sektor dengan lembaga sosial dan pendidikan.
Bagaimana Anda melihat fenomena fatherless di Indonesia, khususnya di Kota Malang?
Iya, fenomena fatherless di Kota Malang ini memang masalah yang cukup serius dan butuh perhatian dari banyak pihak. Berdasarkan data dari BKKBN, sekitar 20,9% anak di Indonesia tumbuh tanpa kehadiran sosok ayah dan angka itu juga tercermin di Malang, walaupun belum ada data lokal yang lebih spesifik.
Kalau kita lihat di lapangan, penyebabnya cukup beragam. Ada yang karena perceraian, ada juga karena pekerjaan ayah yang menuntut mereka sering bepergian atau tinggal jauh dari keluarga. Tapi yang paling sering muncul justru bukan ketiadaan fisik, melainkan ketidakhadiran emosional. Ayahnya ada di rumah, tapi tidak benar-benar hadir secara batin atau komunikasi dengan anak.
Dampaknya tentu tidak ringan. Banyak anak yang kehilangan figur ayah akhirnya mengalami masalah dalam aspek psikologis dan sosial. Misalnya, mereka jadi lebih tertutup, sulit membangun relasi dengan teman sebaya, bahkan ada yang performa akademisnya menurun.
Beberapa penelitian juga menunjukkan potensi gangguan kesehatan mental seperti kecemasan dan depresi bisa meningkat pada anak-anak yang tumbuh tanpa dukungan ayah.
Di Malang sendiri sebenarnya sudah ada beberapa upaya dari pemerintah dan komunitas, seperti program “Ayah Mengantar Anak” dan “Ayah Teladan.” Program-program ini tujuannya untuk mendorong para ayah supaya lebih terlibat dalam pengasuhan dan pendidikan anak. Selain itu, kampanye kesadaran tentang pentingnya peran ayah dalam keluarga juga mulai digalakkan lewat kegiatan kelurahan dan posyandu keluarga.
Tapi kalau kita bicara efektivitas, memang masih perlu diperluas dan diperkuat. Kadang kegiatan seperti ini hanya bersifat simbolik, belum sampai pada perubahan perilaku yang nyata di tingkat keluarga.
Jadi ke depan, yang dibutuhkan bukan hanya program seremonial, tapi juga pendampingan berkelanjutan dan dukungan lintas sektor termasuk dari lembaga pendidikan, tenaga kesehatan, dan tokoh masyarakat.
Harapannya, lewat kerja sama semua pihak, fenomena fatherless ini bisa ditekan. Anak-anak di Kota Malang bisa tumbuh dengan dukungan emosional yang utuh, bukan hanya dari ibu, tapi juga dari sosok ayah yang aktif dan hadir dalam kehidupan mereka.
Adakah data dan temuan lapangan terkait anak yang tumbuh tanpa kehadiran figur ayah?
Dinas Kesehatan Kota Malang belum memiliki data spesifik terkait jumlah anak yang tumbuh tanpa kehadiran figur ayah atau fenomena fatherless di Kota Malang. Berdasarkan data dari BKKBN, sekitar 20,9% anak di Indonesia tumbuh tanpa kehadiran sosok ayah.
Dari sisi kesehatan mental, apa dampak paling nyata yang dialami anak-anak fatherless di Kota Malang?
Pertama, Gangguan Emosi. Rentan mengalami gangguan emosi seperti kecemasan, depresi, dan kesulitan mengontrol emosi.
Kedua, Perilaku Negatif. Perilaku negatif seperti perilaku agresif, sulit diatur, dan merugikan diri sendiri.
Ketiga, Kepercayaan Diri Rendah. Sering mengalami kepercayaan diri yang rendah, membuatnya sulit untuk bersosialisasi dan mengembangkan keterampilan interpersonal.
Keempat, Risiko Perilaku Berisiko. Berisiko lebih tinggi terlibat dalam perilaku berisiko, seperti penggunaan narkoba atau alkohol.
Untuk mengatasi dampak ini, diperlukan dukungan psikologis dan konseling untuk membantu anak-anak fatherless mengatasi masalah emosional dan perilaku yang muncul.
Banyak penyebab fatherless bersumber dari perceraian dan ayah yang bekerja di luar kota. Bagaimana di Malang?
Perubahan struktur keluarga saat ini makin terasa. Banyak ayah yang harus bekerja di kota, sementara ibu dan anak-anak tetap tinggal di desa atau sebaliknya. Situasi seperti ini membuat interaksi antara ayah dan anak jadi berkurang, bahkan dalam beberapa kasus bisa menimbulkan jarak emosional. Di sinilah awal mula munculnya risiko fatherless, ketika kehadiran ayah terasa makin jauh dari kehidupan anak.
Mobilitas kerja yang tinggi juga sering membuat ayah kurang terlibat dalam keseharian keluarga. Waktu bersama anak menjadi sangat terbatas, dan kualitas kebersamaan pun menurun. Akibatnya, anak kehilangan figur panutan yang seharusnya hadir di masa tumbuh kembangnya.
Tak jarang, kondisi ini membuat ibu harus mengambil peran ganda menjadi pengasuh sekaligus pengganti figur ayah di rumah. Tanggung jawab yang bertambah ini tentu menambah beban fisik dan emosional bagi ibu.
Urbanisasi dan mobilitas kerja memang bisa meningkatkan penghasilan keluarga, tetapi di sisi lain juga menambah tekanan. Biaya hidup yang tinggi, ritme kerja yang padat, dan tuntutan ekonomi sering memicu stres serta ketegangan dalam rumah tangga.
Ketika komunikasi antara suami dan istri makin jarang, konflik pun mudah muncul. Pada akhirnya, keluarga yang seharusnya menjadi ruang hangat justru berisiko menjadi renggang karena kurangnya waktu, perhatian, dan kedekatan emosional di antara mereka.
Apakah layanan kesehatan di tingkat puskesmas sudah memasukkan isu kesehatan mental anak dari keluarga tanpa ayah ke dalam program skrining rutin?
Jadi, di Kota Malang, puskesmas memang punya perhatian khusus terhadap aspek kesehatan jiwa, termasuk anak-anak yang mungkin tumbuh tanpa figur ayah.
Kami melakukan skrining kesehatan jiwa untuk semua kelompok usia mulai dari anak-anak, remaja, sampai dewasa. Tujuannya agar gangguan mental bisa dideteksi sejak dini.
Selain itu, ada juga penggunaan kuisioner dan alat Heart Rate Variability Analyzer (HRV) untuk memantau kondisi psikologis dan tingkat stres. Saat ini, sudah ada tiga puskesmas di Kota Malang yang memakai alat HRV ini.
Puskesmas juga punya program kesehatan jiwa yang isinya cukup lengkap. Mulai dari deteksi dini gangguan jiwa, edukasi kesehatan mental bagi pasien dan keluarga, sampai pendampingan bagi mereka yang sedang menjalani perawatan.
Kami juga melakukan kunjungan rumah (home care) untuk memberikan edukasi langsung kepada keluarga pasien dan memastikan kepatuhan dalam pengobatan. Jadi, bisa dibilang, isu kesehatan mental anak dari keluarga tanpa ayah sudah menjadi bagian dari perhatian rutin di layanan primer kami.
Dalam konteks perlindungan anak, sejauh mana koordinasi antara Dinas Kesehatan dan lembaga seperti Dinas Sosial atau P2TP2A berjalan?
Kalau bicara soal koordinasi, sebenarnya kerja sama antara Dinas Kesehatan, Dinas Sosial, dan P2TP2A di Kota Malang sudah berjalan cukup baik, terutama dalam konteks perlindungan anak dan perempuan. Kami di lapangan sering saling berkoordinasi ketika ada kasus yang membutuhkan penanganan lintas sektor.
Misalnya, di Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A), lembaga ini berfungsi sebagai pusat layanan bagi perempuan dan anak korban kekerasan.
Dalam prosesnya, mereka bekerja sama dengan berbagai dinas termasuk kami di Dinas Kesehatan untuk memastikan korban mendapat layanan kesehatan dan pendampingan psikologis yang memadai.
Selain itu, kami juga punya jaringan kerja sama dengan Dinas Pendidikan dan Dinas Sosial, supaya penanganan korban bisa lebih komprehensif. Ada juga kegiatan sosialisasi dan advokasi yang dilakukan bersama, tujuannya untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang perlindungan anak dan pencegahan kekerasan.
Ketika ada kasus kekerasan yang masuk, P2TP2A dan Dinas Kesehatan akan turun bersama untuk memberikan layanan mulai dari pemeriksaan medis, konseling, hingga pendampingan lanjutan. Koordinasi seperti ini penting untuk memastikan setiap anak atau perempuan yang menjadi korban bisa mendapat perlindungan dan pemulihan secara menyeluruh.
Adakah program pendampingan khusus bagi ibu tunggal atau keluarga dengan risiko kehilangan figur ayah di Kota Malang?
Ada, Di Kota Malang sudah ada beberapa program pendampingan yang bisa membantu ibu tunggal atau keluarga yang berisiko kehilangan figur ayah.
Salah satunya adalah Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak (P2TP2A). Lembaga ini memang dibentuk khusus untuk menangani persoalan kekerasan terhadap perempuan dan anak berbasis gender.
Tapi, mereka juga membuka layanan pendampingan dan konseling bagi ibu tunggal serta keluarga yang sedang menghadapi situasi sulit karena kehilangan peran ayah.
Selain itu, ada juga Pelayanan Pendampingan dan Konseling dari P2TP2A dan Pusat Pelayanan Terpadu (PPT) BKBPM Kota Malang. Di sini, masyarakat bisa mendapatkan bantuan dari tim yang berisi advokat untuk urusan hukum, tenaga kesehatan (termasuk tim keswa untuk masalah kesehatan jiwa), dan psikolog untuk membantu pemulihan mental dan emosional.
Pemerintah Kota Malang juga punya Program Pendampingan Keluarga yang tujuannya memperkuat ketahanan keluarga dan mencegah risiko kehilangan figur ayah. Program ini melibatkan tenaga kesehatan, kader PKK, dan kader KB yang terjun langsung ke masyarakat, memberikan edukasi dan dukungan bagi keluarga yang membutuhkan.
Kalau ingin tahu lebih detail atau butuh bantuan langsung, bisa menghubungi: P2TP2A Kota Malang, PPT BKBPM Kota Malang, Dinas Sosial, Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (Dinsos P3AP2KB) Kota Malang. Mereka biasanya siap membantu dan memberi rujukan sesuai kebutuhan keluarga.
Dari hasil survei nasional, kekerasan dalam rumah tangga juga disebut sebagai penyebab fatherless. Bagaimana menurut Anda menangani trauma anak korban KDRT?
Menangani trauma pada anak korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) memang tidak bisa dilakukan secara instan. Di tingkat layanan kesehatan primer seperti Puskesmas, pendekatannya harus menyeluruh dan melibatkan banyak pihak.
Langkah pertama yang bisa dilakukan adalah deteksi dini. Petugas kesehatan di Puskesmas perlu peka terhadap tanda-tanda anak yang berisiko atau sudah menjadi korban KDRT. Ini bisa dilakukan lewat pemantauan rutin tumbuh kembang, observasi perilaku, atau wawancara ringan saat pemeriksaan kesehatan.
Selanjutnya, Puskesmas perlu menyediakan pelayanan kesehatan yang komprehensif. Artinya, bukan hanya pengobatan luka fisik, tapi juga penanganan psikologis, konseling, dan jika perlu rujukan ke layanan spesialis seperti psikiater anak atau terapis trauma.
Selain itu, kerja sama lintas lembaga sangat penting. Dinas Kesehatan Kota Malang biasanya berkoordinasi dengan lembaga perlindungan anak dan perempuan, seperti P2TP2A, agar setiap kasus anak korban KDRT mendapatkan perlindungan hukum dan pendampingan psikososial yang memadai.
Tidak kalah penting, penguatan kapasitas tenaga kesehatan juga perlu dilakukan. Petugas di Puskesmas harus dibekali pelatihan tentang penanganan trauma dan kekerasan berbasis gender, agar tahu bagaimana bersikap empatik dan profesional ketika berhadapan dengan anak korban.
Kemudian, dukungan emosional juga menjadi bagian tak terpisahkan. Anak-anak korban KDRT butuh ruang aman untuk bercerita, merasa diterima, dan membangun kembali rasa percaya dirinya. Konseling dan terapi kelompok bisa menjadi cara efektif untuk membantu proses pemulihan.
Dan bila kondisi anak membutuhkan perawatan lebih lanjut, Puskesmas dapat melakukan rujukan ke layanan spesialis seperti psikiater anak, psikolog klinis, atau lembaga rehabilitasi psikososial.
Dengan pendekatan seperti ini, Dinas Kesehatan Kota Malang melalui jaringan Puskesmas bisa berperan besar dalam membantu anak-anak korban KDRT pulih dari trauma dan tumbuh kembali dalam lingkungan yang aman dan penuh kasih.
Bagaimana peran tenaga kesehatan, khususnya psikolog dan petugas puskesmas, dalam mendeteksi dini gejala gangguan emosional pada anak-anak fatherless?
Tenaga kesehatan, terutama psikolog dan petugas kesehatan jiwa di Puskesmas, punya peran besar dalam membantu anak-anak yang tumbuh tanpa figur ayah atau disebut fatherless. Mereka bukan hanya berfokus pada aspek fisik, tetapi juga pada kesehatan mental dan emosional anak.
Langkah pertama yang dilakukan biasanya adalah skrining dan pemantauan rutin. Petugas Puskesmas akan memperhatikan tanda-tanda awal gangguan emosional, seperti anak yang tampak murung, mudah marah, menarik diri, atau kesulitan berinteraksi dengan teman sebaya. Melalui pemantauan tumbuh kembang, mereka bisa mendeteksi lebih dini perubahan perilaku yang mencurigakan.
Bagi Puskesmas yang memiliki layanan psikolog klinis, anak-anak yang kehilangan figur ayah dapat mengikuti asesmen dan konsultasi psikologis. Dari proses ini, psikolog bisa memahami kondisi emosional anak, tingkat stres, hingga dampak psikologis yang mungkin timbul akibat ketiadaan figur ayah dalam keseharian mereka.
Petugas kesehatan juga berperan dalam mengidentifikasi faktor risiko yang bisa memperburuk kondisi emosional anak, misalnya tekanan ekonomi keluarga, lingkungan yang tidak suportif, atau pengalaman traumatis di masa lalu.
Setelah itu, mereka menyusun rencana intervensi yang disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing anak. Bentuk intervensinya bisa berupa terapi bermain, konseling individu, atau pendampingan keluarga untuk memperkuat dukungan emosional di rumah.
Tak kalah penting, kolaborasi dengan keluarga dan sekolah menjadi bagian utama dari upaya deteksi dini ini. Petugas kesehatan bekerja sama dengan guru dan orang tua untuk memantau perkembangan anak di rumah maupun di sekolah. Dengan begitu, jika muncul gejala gangguan emosional, penanganan bisa dilakukan lebih cepat dan tepat.
Melalui peran aktif psikolog dan petugas kesehatan jiwa di tingkat Puskesmas, anak-anak fatherless mendapat ruang untuk bercerita, didengar, dan ditolong sejak awal. Ini menjadi langkah penting agar mereka bisa tumbuh dengan jiwa yang kuat, stabil, dan tetap bahagia meski tanpa kehadiran figur ayah di rumah.
Apakah sudah ada kolaborasi dengan sekolah-sekolah atau pesantren di Malang untuk membangun literasi kesehatan mental anak dan peran ayah dalam keluarga?
Beberapa langkah kolaboratif memang sudah mulai dilakukan untuk membangun literasi kesehatan mental anak, termasuk di lingkungan sekolah dan pesantren. Meskipun di Kota Malang sendiri belum ada program besar yang secara spesifik mengangkat tema “peran ayah dalam keluarga,” namun upaya peningkatan kesadaran tentang pentingnya kesehatan mental anak sudah mulai bergerak ke arah itu.
Salah satu pendekatan yang cukup populer adalah pendekatan Whole School. Ini bukan hanya fokus pada siswa, tapi melibatkan seluruh ekosistem sekolah mulai dari guru, staf, hingga orang tua untuk bersama-sama menciptakan lingkungan yang ramah dan mendukung kesehatan mental. Jadi, sekolah bukan sekadar tempat belajar akademik, tapi juga ruang tumbuh yang aman secara emosional bagi anak-anak.
Selain itu, di beberapa pesantren juga sudah mulai diterapkan program psikoedukasi literasi kesehatan mental. Lewat program ini, para santri dan pengasuh pesantren diberikan pemahaman tentang cara mengenali tanda-tanda gangguan emosional, bagaimana menanganinya secara tepat, dan pentingnya peran figur orang tua terutama ayah dalam membentuk kepribadian dan keseimbangan psikologis anak. Menariknya, hasil dari kegiatan semacam ini menunjukkan peningkatan pengetahuan dan kesadaran yang cukup signifikan.
Harapannya, ke depan, kolaborasi seperti ini bisa lebih terarah tidak hanya bicara soal kesehatan mental secara umum, tapi juga menyoroti pentingnya kehadiran figur ayah dalam tumbuh kembang anak. Peran ayah bukan sekadar pencari nafkah, tetapi juga pilar emosional yang sangat menentukan keseimbangan psikologis anak di masa depan.
Sejauh mana masyarakat memahami pentingnya keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak di era modern ini?
Untuk meningkatkan kesadaran dan keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak, perlu dilakukan upaya edukasi dan sosialisasi tentang pentingnya peran ayah dalam keluarga. Lembaga pendidikan, komunitas, dan pemerintah dapat bekerja sama untuk menyediakan program-program yang mendukung keterlibatan ayah dalam pengasuh anak .
Kalau kita lihat sekarang, sebenarnya kesadaran masyarakat tentang pentingnya peran ayah dalam pengasuhan anak sudah mulai meningkat. Pola pikir lama yang menganggap ayah hanya bertugas mencari nafkah mulai bergeser. Banyak keluarga muda kini melihat ayah juga sebagai pendamping, pembimbing, bahkan teman bagi anak-anaknya.
Keterlibatan ayah dalam pengasuhan punya dampak besar terhadap tumbuh kembang anak. Misalnya, anak yang dekat dengan ayah biasanya punya kepercayaan diri lebih tinggi. Kehadiran ayah membuat anak merasa aman dan dihargai, sehingga lebih mudah membangun identitas diri yang positif.
Selain itu, ayah juga berperan dalam membentuk kecerdasan emosional anak. Ketika ayah mau mendengarkan, berdialog, atau sekadar menemani anak bermain, hal itu membantu anak belajar memahami dan mengelola emosinya dengan baik. Anak jadi lebih mudah bergaul, tidak mudah cemas, dan punya empati terhadap orang lain.
Keterlibatan ayah juga terbukti berkorelasi dengan prestasi akademik. Anak-anak yang mendapat dukungan dari ayahnya biasanya lebih termotivasi belajar dan mampu fokus pada tujuan. Mereka juga cenderung memiliki kedisiplinan dan rasa tanggung jawab yang lebih tinggi.
Dan yang tidak kalah penting, ayah berperan sebagai teladan karakter. Anak yang tumbuh melihat ayahnya berperilaku jujur, sabar, dan konsisten biasanya akan meniru nilai-nilai itu. Dari sinilah karakter yang seimbang terbentuk bukan hanya cerdas secara intelektual, tapi juga matang secara emosional dan moral.
Meski kesadaran mulai tumbuh, praktiknya masih banyak keluarga yang perlu dorongan. Karena itu, edukasi dan sosialisasi tentang peran ayah dalam pengasuhan perlu terus diperkuat.
Sekolah, komunitas, hingga lembaga pemerintah bisa berperan dengan membuat program yang mendorong ayah lebih aktif hadir dalam kehidupan anak, entah lewat kelas parenting, seminar keluarga, atau kegiatan berbasis komunitas.
Kehadiran ayah bukan hanya soal fisik, tapi tentang kehadiran hati. Anak yang tumbuh dengan ayah yang terlibat aktif biasanya punya pondasi emosional yang kuat dan itu akan jadi bekal penting bagi masa depan mereka.
Apa tantangan terbesar dalam mbangun kesadaran publik agar figur ayah tidak sekedar pencari nafkah?
Tantangan terbesar dalam membangun kesadaran publik agar figur ayah tidak hanya dipandang sebagai pencari nafkah memang cukup kompleks. Banyak faktor sosial, ekonomi, dan budaya yang mempengaruhi cara masyarakat menempatkan peran ayah di dalam keluarga.
Yang paling kuat tentu adalah budaya patriarki. Dalam pola pikir lama, ayah dianggap cukup berperan jika sudah memenuhi kebutuhan finansial keluarga. Urusan mengasuh dan mendidik anak masih sering dianggap sebagai tanggung jawab ibu. Akibatnya, banyak ayah yang merasa tidak perlu ikut terlibat dalam hal-hal emosional atau keseharian anak.
Selain itu, tekanan ekonomi juga menjadi tantangan besar. Banyak ayah yang harus bekerja lembur, bahkan merantau jauh dari keluarga. Kondisi ini membuat mereka kehilangan waktu untuk berinteraksi dengan anak, sehingga hubungan emosional dalam keluarga menjadi renggang.
Ada juga masalah kurangnya pengetahuan dan keterampilan parenting. Sebagian ayah sebenarnya ingin terlibat, tapi tidak tahu bagaimana caranya. Mereka tidak terbiasa mengekspresikan kasih sayang, mendengarkan keluh kesah anak, atau membimbing secara emosional.
Dampak teknologi pun ikut memperumit keadaan. Waktu berkualitas bersama keluarga sering tersita oleh gawai, baik karena tuntutan pekerjaan maupun karena hiburan digital. Padahal, kehadiran emosional ayah jauh lebih penting bagi tumbuh kembang anak daripada sekadar kehadiran fisik.
Dan tentu, stereotip gender masih menjadi bayang-bayang besar. Pandangan bahwa “ayah tidak perlu repot di dapur atau urusan anak” masih banyak ditemui. Akibatnya, perubahan peran ayah menuju sosok yang lebih terbuka dan hangat berjalan lambat.
Untuk mengubah semua itu, dibutuhkan gerakan bersama. Pemerintah, lembaga pendidikan, media, dan komunitas masyarakat perlu berperan aktif dalam mengedukasi publik tentang pentingnya keterlibatan ayah bukan hanya sebagai pencari nafkah, tapi juga sebagai pendidik emosional dan spiritual dalam keluarga. Kampanye publik, pelatihan parenting bagi ayah, hingga cerita-cerita inspiratif di media bisa menjadi cara efektif untuk mematahkan stigma lama dan melahirkan budaya pengasuhan yang lebih setara.
Sementara itu, Dinas Kesehatan Kota Malang juga punya peran penting dalam mengintegrasikan isu fatherless ke dalam kebijakan “Kota Sehat” dan “Keluarga Tangguh”. Beberapa langkah yang bisa dilakukan antara lain:
Pertama, Mengembangkan program kesehatan mental yang fokus pada anak dan keluarga yang berisiko kehilangan figur ayah.
Kedua, Melakukan penyuluhan dan edukasi publik tentang pentingnya peran ayah dalam tumbuh kembang anak, termasuk dampak psikologis dari ketidakhadiran ayah.
Ketiga, Membangun kerja sama lintas sektor, seperti dengan Dinas Sosial, Dinas Pendidikan, dan lembaga keagamaan untuk memperkuat sistem dukungan keluarga.
Keempat, Menyediakan layanan kesehatan yang komprehensif di Puskesmas, termasuk konseling keluarga dan terapi bagi anak-anak yang terdampak fatherless.
Dengan langkah-langkah itu, Dinas Kesehatan bisa menjadi motor penggerak dalam membangun keluarga tangguh bukan hanya sehat secara fisik, tetapi juga kuat secara emosional dan sosial. Sebab, keluarga yang utuh secara fungsi peran, termasuk peran ayah di dalamnya, adalah fondasi utama bagi masyarakat yang sehat dan berdaya.
Bagaimana Dinas Kesehatan mengintegrasikan isu fatherless ke dalam kebijakan kota sehat dan keluarga tangguh di Malang?
Dinas Kesehatan Kota Malang sebenarnya punya peran penting dalam mengintegrasikan isu fatherless ke dalam kebijakan “Kota Sehat” dan “Keluarga Tangguh”. Sebab, persoalan kehilangan figur ayah bukan hanya soal sosial dan psikologis, tapi juga berkaitan erat dengan kesehatan mental dan kesejahteraan keluarga secara keseluruhan.
Langkah pertama yang bisa dilakukan adalah lewat pengembangan program kesehatan mental yang fokus pada pencegahan dan penanganan dampak fatherless.
Misalnya, dengan memperkuat layanan kesehatan jiwa di Puskesmas, menyediakan tenaga konselor, serta mengadakan skrining rutin bagi anak-anak yang berisiko mengalami gangguan emosional karena kehilangan figur ayah.
Kemudian, Dinas Kesehatan juga bisa memperkuat program pendidikan dan penyuluhan tentang pentingnya peran ayah dalam keluarga. Edukasi seperti ini bisa disisipkan dalam kegiatan posyandu keluarga, kelas ibu dan ayah balita, atau kegiatan promosi kesehatan lainnya. Tujuannya agar masyarakat memahami bahwa ayah punya peran penting dalam membentuk karakter dan stabilitas emosional anak, bukan hanya sebagai penyokong ekonomi.
Langkah berikutnya adalah membangun kerja sama lintas sektor. Dinas Kesehatan dapat menggandeng Dinas Sosial, Dinas Pendidikan, hingga lembaga keagamaan untuk menciptakan ekosistem dukungan keluarga yang lebih kuat. Kolaborasi ini bisa melahirkan program pendampingan keluarga, pelatihan parenting bagi ayah, hingga konseling bersama di tingkat kelurahan atau sekolah.
Selain itu, Dinas Kesehatan juga perlu memastikan tersedianya pelayanan kesehatan yang komprehensif. Artinya, layanan kesehatan bukan hanya mencakup pemeriksaan fisik, tapi juga dukungan psikologis, terapi, dan pendampingan bagi anak serta keluarga yang terdampak fatherless.
Dengan langkah-langkah seperti ini, Dinas Kesehatan tidak hanya berperan sebagai penyedia layanan medis, tapi juga sebagai bagian dari solusi sosial. Pendekatannya menjadi lebih holistik membantu membangun keluarga yang bukan hanya sehat secara jasmani, tapi juga tangguh secara mental dan emosional. Karena pada akhirnya, keluarga yang kuat adalah fondasi utama bagi terciptanya Kota Malang yang benar-benar sehat dan berdaya.
Apakah Anda melihat kebutuhan akan kebijakan baru atau intervensi lintas sektor untuk menekan dampak sosial dari fatherless di masa mendatang?
Iya, saya melihat kebutuhan itu sangat mendesak. Masalah fatherless ini kan bukan cuma soal tidak hadirnya sosok ayah secara fisik, tapi juga dampaknya terhadap kesehatan mental, ekonomi keluarga, sampai tumbuh kembang anak. Jadi memang perlu kebijakan yang lintas sektor dan lebih menyentuh ke akar persoalan.
Pertama, pemerintah perlu memperkuat dukungan ekonomi bagi keluarga tanpa figur ayah. Banyak keluarga yang akhirnya goyah karena tekanan ekonomi, jadi bantuan yang bersifat pemberdayaan misalnya pelatihan keterampilan atau akses usaha akan jauh lebih efektif dibanding bantuan sesaat.
Kedua, edukasi dan layanan konseling keluarga juga penting. Anak-anak dan orang tua yang mengalami situasi fatherless ini butuh ruang untuk memahami kondisi mereka dan mendapatkan bimbingan psikologis. Pemerintah bersama lembaga sosial atau pendidikan bisa membuka layanan semacam itu di tingkat kelurahan atau puskesmas.
Ketiga, saya rasa perlu juga ada kebijakan yang mendorong keterlibatan ayah dalam pengasuhan. Misalnya lewat cuti ayah, atau kebijakan tempat kerja yang lebih ramah keluarga. Banyak ayah sebenarnya ingin terlibat, tapi terkendala oleh sistem kerja yang belum mendukung.
Lalu, hal lain yang tidak kalah penting adalah kolaborasi lintas sektor. Masalah fatherless tidak bisa ditangani oleh satu instansi saja. Dinas kesehatan, dinas sosial, lembaga pendidikan, bahkan sektor swasta harus saling terhubung. Masing-masing punya peran dalam memperkuat ketahanan keluarga.
Dan terakhir, kita juga perlu menggerakkan kesadaran publik. Ini bukan sekadar urusan keluarga tertentu, tapi persoalan sosial bersama. Kampanye tentang pentingnya peran ayah, pengasuhan yang sehat, dan ketahanan keluarga perlu digencarkan supaya masyarakat punya empati dan pemahaman yang lebih luas.
Jadi intinya, iya, dibutuhkan kebijakan baru yang lebih holistik, kolaboratif, dan berorientasi pada penguatan keluarga dari berbagai sisi ekonomi, psikologis, dan sosial. (*)
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |