TIMES MALANG, MALANG – Dari dongeng Malin Kundang hingga legenda Sangkuriang, kisah cinta antara anak dan ibu telah melekat dalam budaya Indonesia. Namun, di tengah perbukitan Tumpang, Kabupaten Malang, kisah serupa justru diabadikan bukan lewat kata, melainkan melalui relief batu. Relief Garudeya di Candi Kidal menjadi saksi bisu dari cinta dan pengorbanan Anusapati kepada ibunya, Ken Dedes. Tak sekadar monumen kuno, candi ini menyimpan cerita yang diabadikan dalam ukiran.
Asal-usul nama “Kidal” sendiri masih menjadi perdebatan. Ada yang menyebut berasal dari kata “kidul” (selatan), karena letaknya yang berada di sisi selatan Gunung Kawi. Namun, pendapat lain mengaitkannya dengan kata “kidal” yang berarti kaki kiri—merujuk pada kemiringan atau posisi bagian kaki candi yang agak condong ke kiri.
Candi ini pertama kali ditemukan oleh Thomas Stamford Raffles pada tahun 1817 saat bertugas di Jawa. Kemudian, pemugaran awal dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1925, dilanjutkan perbaikan dan pelestarian secara berkala hingga kini.
Candi Kidal terletak di Dusun Krajan, Desa Rejokidal, Kecamatan Tumpang, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Dibangun pada tahun 1248 sebagai tempat pendharmaan Raja Anusapati dari Kerajaan Singhasari, candi ini menyimpan kisah spiritual yang menyentuh hati. Kisah itu terukir dalam tiga relief Garudeya di bagian kaki candi, yang menggambarkan perjuangan Garuda membebaskan ibunya dari perbudakan.
Relief ketiga dari rangkaian Relief Garudeya yang terpahat di kaki Candi Kidal menggambarkan Garuda menyangga sosok wanita, momen ketika Ken Dedes dibebaskan dari belenggu perbudakan. (Foto: Abimanyu Satrio Widodo/TIMES Indonesia)
Relief pertama menunjukkan Garuda memikul tiga ular besar, simbol dari beban dan pengorbanan. Relief kedua memperlihatkan kendi di atas kepala Garuda, melambangkan pencarian air suci amerta, sebagai syarat penebusan. Pada panel terakhir, Garuda digambarkan menyangga seorang wanita, ibunya yang akhirnya terbebas. Ketiga relief ini tidak sekadar mitos, melainkan interpretasi simbolik dari kebaktian Anusapati terhadap ibunya, Ken Dedes.
Menurut para ahli, relief Garudeya ini merupakan salah satu narasi mitologi paling lengkap yang terpahat di candi peninggalan Hindu-Siwa. Lebih dari sekadar keindahan artistik, relief ini menjadi metafora spiritual yang kuat—tentang cinta, penebusan, dan kesucian. Para arkeolog dan sejarawan meyakini bahwa pesan ini adalah cerminan kebaktian Anusapati yang mendalam kepada sang ibu.
Candi Kidal dibangun dengan arsitektur khas Jawa Timur, berbentuk bujur sangkar dengan Panjang sisi 8,36 meter dan tinggi hampir 12 meter, serta dilengkapi dengan tangga batu di bagian barat yang menghubungkan pengunjung ke selasar candi. Terbuat dari batu andesit dan bergaya geometri vertikal, bangunan ini memiliki struktur bertingkat yang terdiri dari kaki, tubuh, dan atap yang masih utuh. Meski telah berusia ratusan tahun, pemugaran sejak masa Hindia Belanda hingga kini menjaga keasliannya tetap terawat.
Selain nilai sejarah, Candi Kidal juga menjadi pusat spiritual warga sekitar. Setiap malam 1 Suro, masyarakat menggelar ritual penyucian diri sebagai bentuk penghormatan terhadap leluhur. Tradisi ini memperlihatkan bahwa Candi Kidal bukan sekadar peninggalan masa lalu, melainkan warisan yang hidup dalam budaya lokal hingga kini.
Seorang pengunjung yang tengah mengabadikan keindahan Candi Kidal di sore hari. (Foto: Beril Bestarino/TIMES Indonesia)
Berada sekitar 30 menit dari pusat Kota Malang, Candi Kidal layak menjadi destinasi edukatif dan spiritual. Ia mengajarkan nilai yang tak lekang oleh waktu—bahwa cinta sejati kepada orang tua dapat hidup dalam bentuk apa pun, bahkan dalam batu yang membisu sekalipun. (*)
Pewarta | : TIMES Magang 2025 |
Editor | : Ferry Agusta Satrio |