TIMES MALANG, JAKARTA – Tradisi Bulan Muharrom yang sangat kental dengan budaya jawa nampaknya memang menjadi satu kebiasaan serta hal lumrah untuk diketahui. Bahkan ada juga banyak mitos yang nampaknya menjadi satu mekanisme penting sebagai bentuk kebudayaan yang telah diyakini secara turun temurun.
Akan tetapi sejalan dengan hal tersebut maka tradisi dan mitos terus berkembang seiring dengan berjalannya waktu. Begitu juga dengan berbagai mekanisme penting yang berkaitan dengan pro dan kontra didalamnya, sebab hal ini memang sangat rentan untuk menimbulkan perbedaan pendapat.
Akan tetapi secara keseluruhan perlu digaris bawahi terlebih dahulu bahwa Tradisi Bulan Muharrom memang telah menjadi akar budaya jawa serta mungkin sangat sulit untuk dihilangkan. Oleh sebab itulah maka secara umum kapasitas tersebut perlu dipahami secara umum dari aspek dasar.
Terutama umat muslim yang sejak awal sangat lekat dengan tradisi jawa tersebut. Salah satu contohnya adalah kebiasaan untuk mencuci dan mengisi pusaka pada malam satu syuro serta bulan muhaarom yang dianggap akan memberikan dampak lebih kepada pemiliknya.
Akan tetapi untuk bisa memberikan pandangan dari garis tengah, maka beberapa aspek berikut ini perlu untuk diperhatikan.
Tradisi Bulan Muharrom Boleh Dilakukan Selama Tidak Bertentangan Dengan Akidah
Aspek pertama yang wajib untuk diperhatikan pertama kali mengenai Tradisi Bulan Muharrom adalah pelaksanaannya tetap diperbolehkan asal tidak bertentangan dengan nilai akidah agama islam. Hal ini juga turut dijelaskan oleh beberapa tokoh agama dari kalangan Nahdlatul Ulama.
Sebab jika pertimbangan akidah tidak diperhatikan terlebih dahulu, maka dikhawatirkan akan berujung pada aspek kesalahan dalam beragama. Setidaknya ada beberapa aspek tertentu yang menjadi pertimbangan dasar penerapana akidah dalam menyikapi tradisi serta mitos didalam bulan muharrom tersebut.
- Meyakini Sebab Akibat Dalam Tradisi dan Mitos
Pertama, jangan sampai meyakini adanya sebab-akibat dalam proses pelaksanaan tradisi tersebut. Artinya jika tradisi tersebut tidak dilakukan maka akan mendatangkan malapetaka, hal ini tentu memiliki asumsi keyakinan terhadap kekuatan selain Allah, anggap saja bahwa tradisi tersebut merupakan kebiasaan dari Allah SWT.
Maka sangat wajar jika dalam beberapa kesempatan adanya asumsi untuk berkewajiban dalam melakukan tradisi tersebut untuk menghindari bencana. Misalnya kewajiban untuk mencuci dan memandikan barang pusaka, mulai dari cincin, keris, pedang, hingga beberapa barag sacral lainnya.
- Meyakini Adanya Kekuatan Dalam Tradisi dan Mitos Dari Selain Allah
Kedua, jangan sampai memiliki anggapa bahwa adanya sebab akibat dari proses Tradisi Bulan Muharrom tersebut berasal dari selain Allah. Jika hal tersebut diyakini maka secara tidak langsung juga akan berakhir pada asumsi bahwa ada kekuatan dan kehendak yang datang dari selain Allah, hal ini tentu merupakan kategori dari murtad.
Umumnya aspek ini rentan sekali terjadi karena keyakinanan adanya kekuatan lain dalam dampak yang dihasilkan dalam melakukan tradisi tersebut akan secara otomatis mengesampingkan kekuatan utama dari Allah.
- Meyakini Adanya Dampak Pasti dari Tradisi Dan Mitos
Aspek terakhir terkait penerapan akidah dalam menyikapi adanya kebiasaan baik mitos atau bahkan tradisi tersebut tentu meyakini bahwa sebab akibat tersebut akan terjadi. Dengan meyakini secara hak tersebut maka secara tidak langsung akan memberikan asumsi atau bahkan mendahului takdir Allah.
Dengan semua pertimbangan diatas maka pemahaman mengenai tradisi tersebut perlu dilakukan secara hati-hati tanpa melampaui batas akidah, terutama bagi sebagian umat muslim yang melakukan tradisi tersebut.
Tradisi Bulan Muharrom Boleh Dilakukan Sebagai Bentuk Pelestarian Kebudayaan
Hal dasar selanjutnya sebagai mekanisme dalam menyikapai mitos serta Tradisi Bulan Muharrom adalah lebih menganggap kebiasaan tersebut sebagai salah satu kekayaan budaya warisan negeri yang juga perlu untuk dilestarikan.
Melihat perjalanan dakwah yang dilakukan oleh beberapa walisongo misalnya, sejak dahulu kebiasaan tersebut tidak pernah dihilangkan. Akan tetapi ditransformasi kembali menjadi bahan dakwah cukup maksimal dalam mempengaruhi masyarakat zaman dahulu untuk memeluk agama islam tanpa menghalangi tradisi turun temurun, seperti di bulan muharrom ini.
Oleh sebab itulah alangkah lebih baiknya sebagai muslim memiliki pemahaman cukup dalam terkait bagaimana mitos dan Tradisi Bulan Muharrom tersebut ada tanpa merusak akidah awal sebagai umat beragama islam.(*)
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Mitos Malam 1 Suro hingga Tradisi Bulan Muharrom, Inilah Aspek Dasarnya yang Perlu Dipahami
Pewarta | : Yatimul Ainun |
Editor | : Imadudin Muhammad |