TIMES MALANG, MALANG – Program Makan Bergizi Gratis (MBG) kembali menjadi topik diskusi di Malang, melibatkan berbagai pihak, mulai dari pengelola pesantren, guru, pelaku UMKM, hingga kader Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII). Diskusi ini bertujuan untuk memahami lebih dalam kebijakan MBG, mekanisme pelaksanaannya, serta mengevaluasi apakah program ini efektif dan layak diteruskan dalam jangka panjang.
Dicky Wahyu Firmansyah, Ketua Pengurus Cabang Global Malang, menegaskan bahwa MBG akan tetap berlanjut sebagai bagian dari kebijakan prioritas.
"Pasti ada keberlanjutan karena program ini merupakan bagian dari satu periode kepengurusan. Papar Bowo sangat antusias untuk meneruskannya. Kami ingin memberikan penyadaran kinerja, terutama mengenai program prioritas beliau yang akan berjaya gratis," ujarnya.
Namun, sejumlah tantangan teknis dan operasional mengemuka dalam diskusi ini.
Distribusi dan Waktu Pelaksanaan MBG
Salah satu kekhawatiran utama datang dari para guru yang menyoroti jadwal distribusi MBG. Makanan yang datang setelah pukul 10.00 pagi dianggap mengganggu proses belajar siswa. "Kalau pengantaran makanan terlambat, siswa kehilangan waktu belajar," kata seorang guru. Oleh karena itu, jadwal distribusi perlu dievaluasi agar tidak bertabrakan dengan jam pelajaran.
Selain itu, pesantren kecil dengan jumlah santri di bawah 3.000 menghadapi tantangan fasilitas. Banyak di antara mereka harus menggunakan dapur pesantren lain karena keterbatasan infrastruktur. Sementara itu, pesantren besar harus menghadapi biaya operasional harian yang cukup tinggi, mencapai Rp35–40 juta per hari untuk menyediakan ribuan porsi makanan.
Kesesuaian Menu dengan Budaya Lokal
Persoalan lain yang menjadi sorotan adalah menu makanan MBG. Di beberapa daerah pedesaan, makanan yang disediakan sering kali tidak sesuai dengan kebiasaan makan lokal. "Masyarakat di desa lebih akrab dengan lauk sederhana seperti tempe dibandingkan produk susu atau bahan asing," ungkap salah satu peserta diskusi. Oleh karena itu, menu MBG perlu lebih fleksibel dan menyesuaikan dengan budaya setempat agar lebih diterima oleh masyarakat.
Mekanisme pembayaran juga menjadi perhatian serius. Pembayaran yang seharusnya dilakukan setiap dua minggu sering mengalami keterlambatan. Kondisi ini menyebabkan gangguan dalam arus modal bagi pengelola dapur, mempersulit ketersediaan bahan baku, serta berdampak langsung pada stabilitas ekonomi pelaku UMKM yang terlibat dalam rantai pasok program ini.
Rekomendasi Perbaikan MBG
Dari hasil diskusi, ada beberapa rekomendasi untuk meningkatkan efektivitas MBG, yakni Peningkatan kualitas gizi melalui pengawasan ahli gizi di masing-masing daerah agar makanan yang diberikan sesuai kebutuhan anak. Penyempurnaan standar operasional dengan menyesuaikan kondisi dan budaya setempat agar program lebih adaptif.
Kemudian, Distribusi yang lebih tepat sasaran, bukan merata ke semua sekolah, melainkan ke pihak yang benar-benar membutuhkan, dan Kolaborasi dengan BUMDes dan BUMD untuk menciptakan sirkulasi ekonomi lokal yang lebih sehat dan berkelanjutan.
Dicky Wahyu Firmansyah juga menyoroti pentingnya sistem pengolahan makanan yang lebih baik. Ia mengungkapkan, "Sistem di lapangan harus diatur sedemikian rupa untuk menghindari potensi ancaman, seperti makanan yang dimasak pada pukul 02.00 pagi dan didistribusikan pada pukul 09.00 pagi, sehingga berpotensi mengalami penurunan kualitas, misalnya terdapat makanan yang sudah berlendir."
Menurutnya, pemantauan dapur MBG di Kota Malang masih kurang maksimal. Beberapa aspek penting, seperti kelayakan lahan, fisik dapur, hingga kualifikasi ahli gizi dan juru masak, belum diperiksa secara menyeluruh. Oleh karena itu, pihaknya bersama PMII berencana untuk menyampaikan temuan ini kepada DPR agar mendapat perhatian lebih serius.
MBG Perlu Ditingkatkan, Bukan Dihentikan
Terlepas dari berbagai tantangan, diskusi ini menyimpulkan bahwa Program Makan Bergizi Gratis memiliki potensi besar untuk meningkatkan gizi anak-anak dan santri, sekaligus mendukung UMKM lokal.
Dengan penyesuaian jadwal distribusi, penyusunan menu yang sesuai budaya lokal, serta mekanisme pembayaran yang lebih tertib, MBG dapat berjalan lebih optimal dan berkelanjutan. Kolaborasi antara pemerintah, lembaga pendidikan, pelaku usaha, dan kader PMII menjadi kunci agar program ini benar-benar menjadi solusi strategis dalam menekan angka kelaparan dan meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia. (*)
Pewarta | : TIMES Magang 2025 |
Editor | : Imadudin Muhammad |