TIMES MALANG, MALANG – Peristiwa dua mahasiswa asing dari Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya (FKUB) Malang yang terseret ombak di Pantai Jembatan Panjang, Kabupaten Malang, Sabtu (7/7/2023) menjadi perhatian berbagai pihak.
Salah satunya dari ahli tata kelola pemerintah dari Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya (FIA UB), Romy Hermawan. Ia mengatakan, banyaknya lokawisata pantai di Kabupaten Malang, tentu menjadi daya tarik tersendiri untuk terus dikembangkan. Akan tetapi, melihat peristiwa yang baru terjadi, hal itu menjadi fakta baru bagaimana karut-marut tata kelola lokawisata pantai di Kabupaten Malang.
Menurut Romy, loka wisata pantai di Kabupaten Malang terindikasi tidak dalam pengelolaan Pemerintah Kabupaten Malang. Akan tetapi, secara de jure dikuasai oleh Perhutani. "Sehingga, kurang tergarap secara optimal, karena permasalahan yang sulit diselesaikan," ujar Romy, Selasa (11/7/2023).
Data yang dipublikasi oleh situs eppus.perhutani.co.id, setidaknya ada 39 lokawisata pantai di Kabupaten Malang.
Lokawisata tersebut, dimunculkan dokumen MoU antara PD Jasa Yasa dan Perhutani pada tahun 2014, di antaranya adalah Kondang Merak, Modangan, Lenggoksoni, Goa China, Sendangbiru, Bajul Mati, Sipelor dan Jonggring Saloki.
Akan tetapi, dokumen tersebut perlu diverifikasi ulang, karena beberapa perubahan regulasi dari kepemimpinan di Kabupaten Malang dari masa ke masa.
Saat ini, lanjut Romy, lokawisata pantai selatan di Kabupaten Malang telah berkembang secara pesat sejalan dengan selesainya Jalan Lintas Selatan.
Namun, ia menyebut, hal itu masih meninggalkan berbagai macam masalah yang terindikasi tidak memiliki izin dari Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Satu Pintu Kabupaten Malang.
"Jika dipandang dalam perspektif tata kelola lokawisata, permasalahan yang muncul menjadi sangat kompleks. Bukan hanya masalah perizinan saja, akan tetapi yang paling penting adalah perspektif pelayanan publik, dimana lokawisata pantai harus dikelola dengan baik, sehingga masyarakat tidak menjadi korban ketidakjelasan regulasi," ujarnya.
Carut marutnya tata kelola lokawisata pantai di Malang, memunculkan keprihatinan bagi masyarakat. Di mana, kini muncul pertanyaan besar, kata Romy, seperti siapa pengelola lokawisata pantai tersebut, apakah sudah memiliki izin, bagaimana standart operational procedure (SOP) pelayanan, hingga soal bagaimana pertanggungjawaban ke publik apabila muncul musibah.
"Mungkin masih banyak lagi pertanyaan yang lain yang menjadi kekhawatiran masyarakat untuk berwisata ke pantai selatan Kabupaten Malang," katanya.
Permasalahan tatak kelola itu kini menjadi masalah pokok yang tak terselesaikan. Kata Romy, setidaknya dalam tata kelola harus bersifat demokratis atau setidaknya terbuka, sehingga tetap penting untuk memahami dampak kebijakan pemerintah terhadap masyarakat.
"Seharusnya pemerintah dalam tatakelola yang baik harus menyediakan berbagai layanan kepada masyarakat, baik sendiri maupun bekerja sama dengan pihak swasta," tuturnya.
"Ini sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai dalam tatakelola, yakni untuk menciptakan pemerintah yang transparan, akuntabel, berkeadilan, peningkatan akuntabilitas politik dan juga peningkatan partisipasi warga negara," sambungnya.
Pria yang juga menjadi anggota Tim Percepatan Potensi dan Peluang Investasi Pemerintah Kabupaten Malang ini menyebut bahwa peristiwa tersebut sangat tepat jika dibilang menunjukkan carut marutnya pengelolaan lokawisata pantai, terutama dari segi aspek perizinan dan tanggungjawab pengelola terhadap para korban.
Hal itu merujuk kepada pihak Perhutani yang harusnya mengambil langkah lebih kongkret dan tentunya bisa menyelesaikan dan bertanggung jawab atas peristiwa-peristiwa yang terjadi.
Bukan hanya itu, pihak PD Jasa Yasa sebagai leading sector juga perlu turut andil menyelesaikan masalah-masalah yang bersifat substantif.
"Jangan sampai ada pihak saling melempar tanggung jawab dan akhirnya masyarakat menjadi korban. Sesuai prinsip tata kelola yang baik, pengelola wajib bertanggung jawab dalam segala aspek dan yang telah tertuang dalam aturan," tandasnya.
Seperti diberitakan sebelumnya, lima orang dilaporkan terseret ombak besar di Pantai Jembatan Panjang pada Sabtu (7/7/2023) lalu. Mereka terdiri atas dua mahasiswa asing asal Spanyol bernama Ana, dan Swiss bernama Jana. Kemudian tiga orang lainnya merupakan Warga Negara Indonesia (WNI) yang berperan sebagai pemandu wisata saat puluhan mahasiswa dari FKUB menjalani study tour.
Kemudian, dua orang kini berhasil ditemukan selamat, yakni satu pemandu wisata bernama Pendik dan satu mahasiswa asing FKUB asal Spanyol bernama Ana.
Hingga kini tim gabungan SAR dibantu dengan Basarnas Surabaya masih terus melakukan pencarian terhadap tiga korban lainnya yang masih belum ditemukan. (*)
Pewarta | : Rizky Kurniawan Pratama |
Editor | : Ferry Agusta Satrio |