TIMES MALANG, MALANG – Mungkin masih ada yang belum paham tentang beda zakat fitrah dan zakat mal. Hal itulah yang coba dipaparkan oleh dosen Hukum Keluarga Islam Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Agus Supriadi, Lc, M.H.I.
Agus menjelaskan, zakat merupakan salah satu rukun Islam yang memiliki peran penting dalam kehidupan sosial dan ekonomi umat Islam. Sebagai kewajiban bagi setiap Muslim yang mampu, zakat tidak hanya menjadi bentuk ibadah, tetapi juga instrumen pemerataan kesejahteraan. Dalam Islam, di antara jenis zakat yang populer adalah zakat fitrah dan zakat mal.
Zakat fitrah wajib dikeluarkan menjelang Idul Fitri sebagai bentuk penyucian diri, sementara zakat mal dikenakan atas harta yang telah mencapai batas nisab dan haul. Meskipun hukum zakat telah diatur dengan jelas dalam syariat Islam, masih banyak masyarakat yang belum memahami secara mendalam tentang kewajiban ini, termasuk konsekuensi bagi mereka yang tidak menunaikannya.
Agus menekankan bahwa hukum dasar zakat adalah wajib bagi mereka yang memenuhi syarat.
"Jika seseorang tidak membayar zakat karena tidak percaya bahwa zakat itu wajib, maka ia dikategorikan sebagai kafir. Namun, bagi mereka yang mengakui kewajiban zakat tetapi enggan menunaikannya karena kikir, mereka tergolong dalam dosa besar,” ujarnya.
Ia menjelaskan bahwa ada pengecualian bagi orang-orang yang tidak membayar zakat karena ketidaktahuan, seperti mualaf atau mereka yang tinggal di daerah terpencil. Dalam kondisi ini, mereka tidak dianggap kafir, tetapi perlu mendapatkan edukasi terkait zakat.
Agar zakat mal dapat tersalurkan dengan baik, diperlukan manajemen yang efektif. Ia menekankan pentingnya peran lembaga zakat dalam mengelola dana zakat secara profesional.
Dia menyebut, di Indonesia, potensi zakat mal sangat besar, bahkan diperkirakan mencapai Rp300 triliun. Oleh karena itu, pengelolaan zakat yang transparan dan akuntabel sangat diperlukan agar manfaatnya benar-benar dirasakan oleh penerima yang berhak.
"Lembaga zakat membantu mengidentifikasi mustahik (penerima zakat) dan muzaki (pemberi zakat) dengan lebih optimal. Dengan sistem yang terorganisir, pendistribusian zakat menjadi lebih tepat sasaran," jelasnya.
Secara umum, zakat fitrah dan zakat mal memiliki perbedaan mendasar. Zakat fitrah dikeluarkan pada bulan Ramadan sebelum Idul Fitri dan tidak memiliki syarat nisab maupun haul. Besarannya setara dengan 2,5 kilogram bahan makanan pokok, yang di Indonesia umumnya berupa beras. Ulama juga memperbolehkan zakat fitrah dikonversikan dalam bentuk uang demi kemaslahatan penerima.
"Di sisi lain, zakat mal memiliki syarat nisab sebesar 85 gram emas dan harus dikeluarkan setelah mencapai haul atau kepemilikan selama satu tahun. Misalnya, jika seseorang memiliki penghasilan bersih sebesar Rp120 juta per tahun, maka ia wajib membayar zakat mal karena telah melebihi nisab yang setara dengan Rp85 juta," terangnya.
Dengan memahami ketentuan zakat fitrah dan zakat mal, umat Islam diharapkan lebih sadar akan kewajiban ini. Zakat bukan sekadar kewajiban, tetapi juga bentuk kepedulian sosial yang mampu mengurangi kesenjangan ekonomi di masyarakat.
“Merujuk pada Surat At-Taubah ayat 103, ada delapan golongan yang berhak menerima zakat, di antaranya fakir, miskin, amil zakat, mualaf, hamba sahaya, orang yang berutang demi kebutuhan pokok, mereka yang berjuang di jalan Allah, serta ibnu sabil atau musafir yang kehabisan bekal,” pungkasnya. (*)
Pewarta | : Achmad Fikyansyah |
Editor | : Hendarmono Al Sidarto |