TIMES MALANG, MALANG – Era Society 5.0, merupakan gambaran muktahir dari kemajuan teknologi informasi, otomatisasi dan konektivitas yang mengubah cara hidup manusia secara fundamental. Pada era ini juga, setiap indivdu dapat dengan cepat mengakses segala bentuk informasi dari berbagai saluran.
Selain itu, pada periode ini juga mempengaruhi manusia dalam melakukan interaksi komunikasi. Setiap fase dari proses kehidupan tidak akan lepas dari jeratan komunikasi, setiap individu membutuhkan sapaan, sentuhan dan perhatian dari orang lain, sebagai wujud dari komunikasi itu sendiri.
Dalam disiplin Ilmu Komunikasi, orang yang menyampaikan pesan disebut sebagai komunikator. Sedangkan orang yang menerima pesan atau lawan bicara disebut sebagai komunikan. Sebuah komunikasi akan berjalan dengan efektif apa bila pesan atau hal yang disampaikan mempunyai pengaruh dan daya tarik bagi khalayak luas.
Hal ini juga selaras dengan pengertian komunikasi menurut Bapak Komunikasi Dunia, Harold d Lasswell, dalam pengertiannya ia mengatakan Komunikasi merupakan proses siapa, mengatakan apa, dalam saluran apa, kepada siapa dan apa efeknya.
Model komunikasi ala Lasswell ini dititik beratkan pada analisis efek atau dampak dari sebuah pesan yang dilontarkan oleh komunikator ke komunikan, sehingga model komunikasi seperti ini sering digunakan untuk studi propaganda, disiplin ilmu Public Relation atau Komunikasi Publik.
Dalam berkomunikasi seorang komunikator harus memperhatikan struktur dan gaya dalam menyampaikan pesan. Struktur pesan berkaitan dengan sistematika komunikator dalam menyampaikan pesan.
Sedangkan gaya penyampaian pesan merupakan taktik dan strategi komunikator yang harus disesuaikan dalam menghadapi ruang publik, baik itu secara psikologis serta gerakan fisik pada saat komunikasi berlangsung.
Dalam konteks komunikasi publik, seorang komunikator dituntut untuk memahami sistematika, gaya penyampaian dan psikologis komunikan atau penerima pesan, sehingga dapat membangun pola komunikasi yang ideal di ruang publik serta memberikan dampak yang positif.
Pada prinsipnya konsep dasar ruang publik menurut pemikiran Habermas ialah tempat untuk membangun komunikasi sebagai bagian dari pembentukan kehidupan sosial yang bersandar pada rasionalitas komunukatif anggota masyarakat.
Dengan demikian, ruang publik merupakan suatu tempat yang mudah diakses tanpa suatu batasan tertentu, dimana masyarakat dapat melakukan pembicaraan topik tertentu yang berkaitan dengan kepentingan umum yang lebih luas.
Mengingat besarnya pengaruh komunikasi di ruang publik, seorang pembicara atau komunikator harus menguasai ilmu-ilmu komunikasi yang baik dan benar, karena pesan yang disampaikan di ruang publik akan diadopsi oleh masyarakat luas.
Disisi lain, peran komunikasi publik bagi seorang figur publik juga menjadi hal yang penting. Karena, hal yang diucapkan oleh seorang figur publik mecakup berbagai aspek seperti pembentukan opini publik, pengaruh terhadap perilaku masyarakat dan peningkatan kredibilitas mereka di mata publik.
Komunikasi publik juga berfungsi sebagai sarana dalam menjalinan hubungan baik serta membangun kepercayaan antara figur publik dan masyarakat. Selain itu, dengan menerapkan teknik komunikasi publik secara baik, seorang figur publik juga dapat mendorong partisipasi positif dari masyarakat.
Berbicara mengenai konteks indonesia hari ini, penulis melihat fenomena buruk dari respon publik figur atau wakil rakyat dalam hal ini Dewan perwakilan Rakyat (DPR) dalam menanggapi reaksi masyarakat.
Sebagai orang yang dipercayakan untuk menampung aspirasi masyarakat dan memperjuangkan hak-hak akar rumput, anggota DPR harus cakap dalam memahami kondisi psikologis dari masyarakat.
Sebagai figur publik yang memiliki tanggung jawab besar terhadap masyarakat, anggota DPR harus memahami secara konkret situasi dan kondisi psikologis sehingga ucapan dan juga gaya bahasa tubuh yang ditampilkan ke konstituen atau masyarakat luas dapat menjadi obat penenang dari amarah mereka.
Selain itu, buruknya pola komunikasi publik dari anggota DPR semakin memperkeruh keadaan. Hal demikian dapat dilihat dari berbagai platform media, bagaimana respon beberapa anggota DPR dalam mengahadapi kritikan masyarakat.
Femomena respon negatif, mulai dari parodi sound horeg hingga munculnya kata “Tolol” oleh beberapa oknum anggota DPR menyebabkan kemarahan publik di berbagai kalangan dan daerah. Hal ini menandakan ketidak dewasaan diri dan lemahnya kontrol emosional dari seorang anggota DPR.
Sistem pendidikan politik dari masing-masing partai juga menjadi hal yang perlu diperhatikan. Tidak bisa dipungkiri, orang-orang yang berada di parlemen merupakan representasi dari partai politik yang mengusungnya.
Maka dari itu, dibutuhkan mekanisme yang terstruktur dari sistem pendidikan politik bagi kader partai. Beberapa proyeksi yang dapat diterapkan dalam sistem pendidikan partai politik yakni kurikulum berbasis kebutuhan rakyatdan evaluasi orientasi kinerja.
Fokus utama dari dua kurikulum ini meliputi analisis kebijakan yang btentunya bepihak kepada rakyat, membangun etika politik serta responsivitas terhadap keluhan dan aspirasi rakyat.
***
*) Oleh : Daeng Abdulrahman Ramadhan, Mahasiswa Program Studi Ilmu Komunikasi, Universitas Muhammadiyah Malang.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |