TIMES MALANG, MALANG – Perjalanan panjang tentang proses pemilu telah sampai pada pengumuman hasil resmi dari lembaga penyelenggara pemilu yakni Komisi Pemilihan Umum (KPU). Berbagai macam dinamika dan peristiwa terjadi mulai dari persoalan Gibran Rakabuming Raka hingga tahan tangis pembacaan ketua KPU terkait dengan hasil pemilu.
Hal yang menarik kali ini tentang seluruh persoalan buruk dan cara yang tidak baik dilakukan oleh penguasa terjadi begitu saja, bahkan dinyatakan sah sebagai pemenang pemilihan presiden (Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka). Lalu yang paling menyakitkan suara–suara rakyat tentang keresahan selama pemilu tidak dihiraukan, cerita tentang persoalan keputusan MK, bagaimana prosesi pengubahan aturan dan produk hukum terjadi tidak pernah disuarakan oleh si paling maha, yakni mahasiswa.
Keadaannya semua membisu sampai akhirnya keputusan KPU keluar yang menghasilkan kemenangan bagi Prabowo Gibran. Jika ada pertanyaan tentang kemana dan apa peran mahasiswa jawabannya ialah diam. Beberapa hari yang lalu koordinator nasional Badan Eksekutif Mahasiswa Perguruan Tinggi Nahdlatul Ulama (BEM PTNU) Ahmad Baha’ur Rifqi menyampaikan agar semua damai dan tidak meributkan hasil pemilu, pernyataan ini seolah menjadi sikap dari sebagian mahasiswa bahwa semua telah benar dalam nilai demokrasi atau memang ada hal dan maksud lain dibalik pernyataan tersebut.
Kita sebenarnya sama-sama memahami rentetan kejadian dalam pemilu bukan lagi menjadi ruang rahasia privat tetapi telah tersebar di publik, ancaman intimidasi pengungkapan kasus korupsi baik desa dan pejabat daerah. Meski selalu ditampik dengan pernyataan dimana semua bukti, ini hanya tuduhan, fitnah para kontestan yang kalah, atau suara–suara menjatuhkan pihak yang menang. Akhirnya Masyarakat menerima informasi lapangan dibawah yang saling tersebar satu sama lain. Sedangkan media dan pemberitaan tidak mengungkap karena sumbernya tidak ada, tidak ada yang berani dan berkenan menyampaikan sebab ini tentang keberlanjutan hidup.
Lalu dimana pengawal reformasi mahasiswa dan masyarakat tentang demokrasi yang pernah diperjuangkan. Akankah mereka kembali bersatu, bersatu dalam pembagian keuntungan, bukan bersatu dalam memperjuangkan kebenaran dan keadilan sebagaimana seharusnya. Perpecahan yang dibuat baik di tataran mahasiswa, dilingkungan akademisi hingga perpecahan pandangan publik baik dimasyarakat secara langsung atau di media, menjadikan tujuan kepentingan dari kekuasaan. Berjalan dengan mulus tanpa hambatan yang berarti.
Sehingga dalam hal ini segala ambisi politik kekuasaan para pemangku kekuasaan melakukan kontruksi sosial yang sangat baik, tampak bekerja dan berusaha untuk rakyat dengan segala pencitraan mimik wajah hingga tingkah laku, namun dibalik semua itu ada satu tujuan yakni mengambil simpati perhatian masyarakat yang menjadi kepercayaan dan membuat semua hal benar, masyarakat loyalis.
Sadar atau tidak keadaan masyarakat berada pada dua titik. Pertama loyalis sebagaimana di atas. Namun perlu diketahui rasanya-rasanya loyalis selalu punya makna. Kita sama-sama tahu bahwa politik selalu dinamis. Ya, bagaimana tidak penghargaan yang diberikan oleh Partai Solidaritas Indonesia (PSI) misalnya pada Prabowo Subianto selaku pembuat hoaks terbaik nasional akibat kasus Ratna Sarumpaet tahun pemilu 2019, sikap budiman sudjatmiko, purnawirawan wiranto yang akhirnya berubah 180 derajat. Sehingga loyalis akhirnya sesuai dengan keadaan dan kesempatan yang ada, maka tidak heran juga jika pengawal reformasi banyak yang melenceng dan mendiamkan. Bisa saja itu kemungkinan loyalis sebab perawatan (berlangsungnya kehidupan).
Kedua, masyarakat yang bersikap apatis dan hanya menikmati seluruh rangkaian proses pemilu atau mengabaikan yang tidak perlu. Hal ini akhirnya melakukan sesuatu atas dasar keuntungan, kepentingan, tujuan pragmatis yang dibungkus dengan narasi ilmiah atau semacam pembenaran idealis untuk menutupi seluruhnya menjadi baik, benar dan layak dilakukan. Akhirnya tanpa malu dan merasa bersebrangan dengan nilai mereka melakukan sebagai pekerjaan meskipun persetan dengan nilai dalam politik semua akan punya sudut pandang.
Demokrasi kita semakin tumbuh, dalih demokrasi menjadi senjata untuk menghalalkan segala cara dengan intervensi kekuasaan dalam mencapai tujuan dan menjadi tameng pelindung atas seluruh pandangan yang disampaikan. Namun salah satu yang hilang dari demokrasi adalah isi dari kebebasan berpendapat. Semua yang tidak sesuai dengan kekuasaan hanya menjadi suara-suara yang tersampaikan tanpa bermakna lalu hilang dan pemerintah kembali berjalan sesuai keinginan tanpa penghalang.
***
*) Oleh : Ahmad Fauzi, Mahasiswa Administrasi Publik Universitas Islam Malang
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Pewarta | : Hainorrahman |
Editor | : Hainorrahman |