TIMES MALANG, SUMENEP – Pemerintah melalui Kementerian PUPR telah lama meluncurkan program Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya (BSPS) sebagai bentuk komitmen terhadap pemenuhan hak atas tempat tinggal yang layak, khususnya bagi masyarakat berpenghasilan rendah.
Namun, idealisme yang melandasi program ini kerap kali tak sejalan dengan implementasinya di lapangan. Dugaan penyalahgunaan dana BSPS di Kabupaten Sumenep menjadi salah satu potret buram dari carut-marut tata kelola bantuan sosial di sektor perumahan.
Belum lama ini, sejumlah pemberitaan dan keluhan warga di beberapa kecamatan di Sumenep mengemuka, menyoroti ketidaksesuaian realisasi dana BSPS dengan nilai yang seharusnya diterima oleh penerima manfaat.
Sebagaimana informai yang berkembang, salah satu kecamatan di sumenep yaitu Kecamatan Ra’as banyak warga mengaku hanya menerima bantuan berupa material bangunan dalam jumlah terbatas.
Diduga pula 35 persen dari 395 penerima BSPS adalah fiktif. Bahkan, ada yang mengaku hanya mendapatkan sebagian kecil dari total nilai bantuan yang dijanjikan pemerintah.
Celakanya, dugaan pemotongan dana BSPS ini bukan hanya dilakukan oleh oknum pelaksana lapangan, tetapi diduga melibatkan koordinasi sistematis yang melibatkan anggota DPRD Sumenep.
Hal ini menunjukkan bahwa penyimpangan tersebut bukan kesalahan administratif semata, melainkan sudah masuk dalam kategori dugaan tindak pidana korupsi yang terorganisir.
Ketika dana publik yang seharusnya digunakan untuk meningkatkan kualitas hidup warga miskin justru diselewengkan, maka bukan hanya amanat konstitusi yang dilanggar, tetapi juga nilai-nilai moral pelayanan publik.
Penyimpangan semacam ini seharusnya mendapatkan perhatian serius dari aparat penegak hukum, terutama Kejaksaan dan Kepolisian, serta aparat pengawasan internal pemerintah daerah.
Pengungkapan kasus ini tidak hanya penting untuk memulihkan hak warga penerima manfaat, tetapi juga sebagai bentuk komitmen penegakan hukum dan transparansi dalam pengelolaan anggaran negara.
Jika tidak ditindaklanjuti, kasus semacam ini akan menambah panjang daftar lemahnya pengawasan dan membuka ruang subur bagi praktik-praktik korupsi di tingkat lokal.
Dalam konteks hukum administrasi negara, praktik penyimpangan dana bantuan seperti ini juga mencederai prinsip akuntabilitas dan good governance. Pemerintah daerah sebagai mitra pelaksana seharusnya menjalankan fungsi pengawasan dan pendampingan secara aktif, bukan malah menjadi bagian dari persoalan. Ketika pengawasan melemah, maka keadilan sosial yang menjadi dasar pelaksanaan program bantuan pun sirna.
Kasus di Sumenep ini harus dijadikan pelajaran penting bagi pemerintah pusat untuk mengevaluasi mekanisme penyaluran BSPS, mulai dari seleksi penerima manfaat, pengawasan pelaksanaan, hingga sistem pelaporan penggunaan dana.
Program yang baik tidak akan berdampak apa-apa jika dalam pelaksanaannya justru membuka celah penyimpangan yang merugikan masyarakat.
***
*) Oleh : Mas’udi Hamzah, Kandidat Magester Hukum Universitas Merdeka Malang dan Ketua Ikatan Mahasiswa Ra’as IMR Malang.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |