TIMES MALANG, KALIMANTAN – Di Tengah sorotan global terhadap krisis iklim dan degradasi lingkungan, masyarakat adat Dayak Meratus justru telah lama mempraktikkan prinsip-prinsip keberlanjutan melalui tradisi spriritual Aruh Ganal.
Tradisi Aruh Ganal sebuah ritual syukuran panen yang dilakukan oleh masyarakat adat Dayak Meratus di Kalimantan Selatan merupakan salah satu wujud nyata dalam ketahanan budaya. Lebih dari sekedar perayaan, Aruh Ganal adalah bentuk dialog spiritual, ekologis, dan sosial antara manusia, alam, dan roh leluruh.
Sementara dunia sibuk mencari solusi teknologi untuk menyelamatkan bumi, masyarakat adat Dayak Meratus telah menunjukkannya melalui warisan leluhur yang hidup dan berdampak nyata.
Makna Simbolik dan Fungsi Sosial
Praktik budaya Aruh Ganal jika dilihat dari teori fungsionalisme struktural Emile Durkheim (1912), memainkan peran yang sangat penting dalam menjaga integrasi sosial dan moral kolektif. Durkheim menjelaskan bahwa tindakan kolektif dalam suatu masyarakat menghasilkan conscience collective atau kesadaran kolektif, yang menjadi fondasi keterikatan sosial.
Ketika seluruh komunitas Dayak Meratus berkumpul dalam Aruh Ganal, mereka tidak hanya merayakan panen, tetapi juga memperkuat rasa memiliki, struktur peran sosial, serta moral kolektif.
Sedangkan perspektif geografi budaya, Aruh Ganal merepresentasikan sense of place atau rasa memiliki terhadap ruang hidupnya. Hutan, ladang, dan sungai bukan hanya elemen lingkungan, tetapi juga bagian dari identitas budaya.
Ritual Aruh Ganal menjadi narasi kolektif bahwa ruang geografi mereka bukan sekadar tempat tinggal, tetapi rumah spiritual yang memiliki makna historis dan eksistensial.
Secara tidak langsung, Aruh Ganal berfungsi sebagai penanda istirahat lahan dalam sistem ladang gilir balik masyakarat adat Dayak Meratus. Setelah syukuran, lahan dibiarkan pulih secara alami dan masyarakat mulai merencanakan lokasi ladang baru.
Artinya, ritual ini memiliki implikasi ekologis yang nyata dalam manajemen sumber daya alam. Dalam pandangan geografi lingkungan, ini merupakan bentuk adaptasi lokal terhadap kondisi biofisik wilayah.
Prinsip regenerasi alam, sejalan dengan teori ekologi politik (Blaike & Brookfield, 1987), yang menempatkan pengetahuan lokal sebagai bagian integral dari pengelolaan sumber daya yang berkelanjutan.
Ketahanan Budaya dalam Konteks Perubahan Sosial
Masyarakat adat Dayak meratus selama ini dikenal memiliki sistem kepercayaan yang sangat erat dengan alam. Hutan dan tanah bagi mereka bukan sekedar sumber daya ekonomi, melainkan entitas hidup yang harus dihormati. Aruh Ganal menjadi representasi dari cara pandang ekologi bagi mereka.
Ritual yang meraka lakukan menandakan bahwa panen yang berlimpah bukan hasil usaha manusia semata, melainkan berkah yang harus mereka syukuri dan dijaga kesimbangannya.
Dalam konteks teori ketahanan budaya, sebagaimana yang dikembangkan oleh Berkes dan Ross (2013), Aruh Ganal merupakan instrumen adaptasi Masyarakat Adat Dayak Meratus terhadap tekanan luar seperti pembukaan lahan untuk Perkebunan kelapa sawit dan pertambangan, serta penetrasi dari budaya luar.
Mempertahankan dan memodernisasi bentuk Aruh Ganal (misalnya dengan dokumentasi digital dan keterlibatan pelaku seni budaya), masyarakat lokal menunjukkan bahwa budaya bukan benda statis, melainkan sistem yang dinamis dan mampu bertahan melalui transformasi.
Penting dicatat, bahwa budaya dalam Pembangunan berkelanjutan diakui sebagai pilar yang berdampingan dengan ekonomi, sosial, dan lingkungan.
Tantangan dan Ancaman Eksistensi Budaya
Eksistensi budaya Aruh Ganal saat ini juga menghadapi tantangan serius. Pertama, tekanan dari model Pembangunan ekonomi yang tidak berbasis budaya lokal, seperti ekspansi Perkebunan kelapa sawit dan pertambangan, telah mengubah pola hidup ruang masyarakat adat.
Ketika hutan terdegradasi, maka siklus pertanian gilir balik yang menjadi dasar dari pelaksanaan Aruh Ganal pun akan terganggu. Tanpa panen, tentu tidak akan ada syukuran.
Kedua, generasi muda banyak meninggalkan kampung untuk sekolah atau bekerja di kota. Banyak di antara mereka yang tidak lagi akrab dengan nilai-nilai budaya lokal. Jika tidak ada mekanisme transmisi nilai yang kuat, maka budaya seperti Aruh Ganal ini berisiko mengalami disrupsi atau kehilangan makna.
Ketiga, negara sering memandang bahwa budaya local sebatas atraksi atau pariwisata, bukan sebagai system pengetahuan yang valid dan berdaya guna. Dalam beberapa kasus, Tradisi Upacara Masyarakat adat hanya dijadikan bagian dari kalender event pariwisata, tanpa melibatkan Masyarakat adat sebagai subjek utama.
Upaya Pelestarian
Upaya menjawab tantangan tersebut, pelestarian budaya seperti Aruh ganal harus dilakukan secara kolaboratif. Pertama dari sisi masyarakat adat sendiri, perlu ada inisiatif dokumentasi budaya berbasis komunitas.
Penggunaan teknologi digital, seperti video, media sosial, dan platform daring, bisa menjadi alat untuk menyebarluaskan narasi budaya mereka kepada generasi muda dan masyarakat luar.
Kedua, dunia akademik dan lembaga riset dapat melakukan kajian etnografi dan aksi partisipatif untuk mendampingi masyarakat dalam mendokumentasikan, mengembangkan, dan mengkritisi makna budaya lokal secara reflektif. Penelitian semacam ini penting sebagai basis kebijakan dan pengakuan hukum.
Ketiga, pemerintah daerah dan pusat harus melihat budaya lokal seperti Aruh Ganal sebagai bagian dari sistem ketahanan pangan, ekologi, dan sosial yang berharga. Pengakuan terhadap wilayah adat, perlindungan hutan tradisional, dan dukungan terhadap praktik pertanian berkelanjutan harus menjadi bagian dari politik pembangunan yang berpihak pada masyarakat adat.
Sebagai warisan hidup, budaya Aruh Ganal menunjukkan cara manusia hidup selaras dengan alam dan sesama, bukan sekadar ritus syukuran, tetapi refleksi dari sistem nilai yang menghormati keseimbangan ekologis, keadilan sosial, dan spiritualitas yang mendalam.
Dalam konteks pembangunan berkelanjutan, budaya ini dapat menjadi model alternatif yang berbasis lokal, ramah lingkungan, dan berorientasi pada komunitas.
Mempertahankan budaya bukan hanya tanggung jawab masyarakat adat, tetapi tugas kolektif kita sebagai bangsa yang mengakui keberagaman sebagai kekuatan. Bila budaya punah, maka kita bukan hanya kehilangan sebuah tradisi, tetapi kehilangan bagian dari jati diri kita sendiri.
***
*) Oleh : Selamat Riadi, Dosen Prodi Geografi ULM.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |