https://malang.times.co.id/
Opini

KPK dan Stigmatisasi Hadiah untuk Guru

Kamis, 08 Mei 2025 - 16:22
KPK dan Stigmatisasi Hadiah untuk Guru M. Sahrozzi

TIMES MALANG, JAKARTA – Dalam alur penegakan hukum antikorupsi di Indonesia, terdapat ironi yang mencolok ketika Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan bahwa hadiah yang diterima guru dari wali murid termasuk dalam kategori gratifikasi ilegal. 

Keputusan ini tidak hanya mencerminkan pendekatan kaku terhadap pemberantasan korupsi, tetapi juga menunjukkan ketidakpekaan terhadap konteks sosial budaya dan realitas profesi keguruan di negeri ini.

Profesi guru di Indonesia telah lama dikenal sebagai "pahlawan tanpa tanda jasa"-sebuah terminologi yang secara implisit mengakui bahwa penghargaan material yang mereka terima tidak sebanding dengan kontribusi mereka terhadap pembangunan bangsa. 

Dengan gaji yang seringkali jauh di bawah standar hidup layak, banyak guru yang harus menjalani kehidupan penuh pengorbanan. Dalam konteks ini, hadiah sederhana dari wali murid seharusnya dipandang sebagai bentuk apresiasi tulus, bukan indikasi korupsi.

KPK tampaknya gagal membedakan antara gratifikasi yang bermotif mempengaruhi kebijakan dengan ekspresi terima kasih yang tulus. Seorang pejabat yang menerima "hadiah" dari kontraktor yang sedang mengikuti tender jelas berbeda dengan seorang guru yang menerima kue buatan rumah atau syal rajutan dari orang tua murid saat perayaan Hari Guru. Menyamaratakan kedua konteks ini adalah simplifikasi berlebihan yang justru mencederai semangat pemberantasan korupsi itu sendiri.

Keputusan ini juga menimbulkan pertanyaan mendasar: apakah KPK tidak memiliki prioritas yang lebih mendesak dalam upaya pemberantasan korupsi? Di tengah kasus-kasus korupsi besar yang melibatkan miliaran bahkan triliunan rupiah, mengapa perhatian diarahkan kepada "korupsi" berupa kalendar, parsel lebaran, atau bingkisan sederhana untuk guru? Bukankah ini menunjukkan ketidakmampuan dalam menentukan proporsi dan prioritas penegakan hukum?

Lebih jauh lagi, kebijakan ini secara tidak langsung merusak ikatan sosial antara guru, murid, dan orang tua. Tradisi memberikan penghargaan kepada guru merupakan bagian dari nilai-nilai luhur budaya Indonesia yang menjunjung tinggi rasa hormat terhadap pendidik. Dengan mengkriminalisasi praktik ini, KPK secara tidak sadar telah mengintervensi hubungan sosial yang seharusnya dijaga dan dipelihara.

Pada tataran implementasi, bagaimana KPK akan mengawasi dan menindak ribuan guru di seluruh Indonesia yang menerima hadiah? Apakah akan ada "polisi gratifikasi" yang berkeliling sekolah saat Hari Guru atau menjelang Lebaran? Atau mungkin akan dibentuk satuan tugas khusus untuk menginterogasi guru-guru yang kedapatan menerima kue dari orang tua murid? Absurditas ini menunjukkan bahwa kebijakan tersebut tidak hanya problematis secara konseptual, tetapi juga hampir mustahil untuk diterapkan secara adil dan konsisten.

Mari kita pertimbangkan juga dampak psikologis dari kebijakan ini. Guru yang sudah terbebani dengan tuntutan administratif dan ekspektasi tinggi dari masyarakat, kini harus pula menanggung stigma sebagai "penerima gratifikasi" ketika menerima ungkapan terima kasih dalam bentuk material. Ini adalah pukulan keras bagi martabat profesi yang seharusnya dihormati dan dihargai.

KPK perlu memahami bahwa pemberantasan korupsi tidak hanya soal penerapan hukum secara kaku, tetapi juga memerlukan sensitivitas terhadap konteks sosial budaya. Hadiah untuk guru, khususnya yang bernilai wajar dan diberikan pada momen-momen tertentu seperti Hari Guru atau perayaan keagamaan, seharusnya dikecualikan dari definisi gratifikasi ilegal. 

Alih-alih menghabiskan energi untuk mengejar "korupsi" skala kecil ini, KPK seharusnya fokus pada penindakan kasus-kasus korupsi besar yang secara nyata merugikan keuangan negara dan menghambat pembangunan. 

Bukankah lebih masuk akal untuk memburu tikus-tikus besar yang menggerogoti fondasi ekonomi negara daripada menargetkan semut-semut kecil yang hanya mengambil remah-remah?

Jika KPK tetap bersikukuh dengan pendekatan ini, maka lembaga yang seharusnya menjadi ujung tombak pemberantasan korupsi justru berpotensi menjadi alat penindasan terhadap kelompok profesional yang sudah terpinggirkan. KPK perlu melakukan introspeksi dan meninjau kembali kebijakan kontroversial ini.

Pemberantasan korupsi tentu merupakan misi mulia yang harus didukung oleh semua elemen bangsa. Namun, ketika semangat anti-korupsi justru berbelok menjadi kekakuan birokratis yang mencederai nilai-nilai kemanusiaan dan kearifan lokal, kita perlu bertanya: apakah ini masih sejalan dengan semangat keadilan yang menjadi landasan hukum di negeri ini?

Sudah saatnya KPK kembali merefleksikan esensi dari pemberantasan korupsi: memastikan bahwa pelayanan publik berjalan dengan bersih dan profesional, bukan mematikan rasa terima kasih dan penghargaan yang merupakan fondasi dari hubungan sosial yang sehat dalam masyarakat kita.

***

*) Oleh : M. Sahrozzi.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

 

 

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Malang just now

Welcome to TIMES Malang

TIMES Malang is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.