TIMES MALANG, SURABAYA – Minggu lalu, saya membuat artikel dengan judul "Saatnya Kita Bicara Emas dan Freeport”. Sebuah uraian sederhana dalam frame edukasi, yaitu potret kekayaan alam kita dan bagaimana proses di dalamnya. Sebuah pandangan hubungan antara manusia dan kekayaan alam.
Sebagai prajurit yang lahir dan tumbuh di Madura, saya ingin berbagi cerita lain. Cerita dari sebuah pulau yang juga kaya, pulau yang melahirkan pahlawan dan menumbuhkan pejuang.
Memang Madura tidak seperti alam Papua, tidak memiliki gunung penghasil emas, tembaga dan nikel. Madura mendapat anugerah yang berbeda. Pulau kecil yang dikelilingi lautan madu. Pulau yang memiliki luas sekitar 5.379,23 kilometer. Lautnya yang yang tidak pernah lesu menyemburkan gas alam, penghasil ikan terbaik.
Meski Artikel yang saya tulis ini tidak membahas kekayaan yang terkandung dalam perut bumi, melalui tulisan sederhana ini, saya ingin mengajak kita semua untuk melihat Madura dari sudut yang sangat sederhana, sebuah kondisi yang dirasakan masyarakat keumuman.
Yaitu bukit-bukit indah yang menumbuhkan tembakau. Tembakau bukan sekedar tanaman biasa. Dia adalah warisan. Dia adalah cuaca dan musim yang ditunggu. Satu jenis tanaman membiayai jenjang pendidikan hingga pernikahan.
Madura merupakan pemilik tembakau daun emas (Campalok), satu jenis tembakau yang menyentuh harga Rp5.000.000 per kilogramnya.
Tembakau emas (Campalok) berada di Dusun Jambangan. Desa Bakeong, Kecamatan Guluk-Guluk, Kabupaten Sumenep. "Tembakau kualitas tinggi yang sebelum ditanam sudah habis dibayar tahunan”.
Sayangnya, tembakau ini hanya ada pada lahan yang terbatas. Tidak semua petani punya nasib yang sama. Di lahan yang bersebelahan saja, harganya sudah berbeda.
Berdasarkan data dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Jawa Timur, industri tembakau menjadi salah satu komoditas yang menyerap tenaga kerja terbesar. Menurut Disperindag Jatim pada tahun 2023 tercatat di sisi off farm, penyerapan tenaga kerja sebesar 90 ribu tenaga produksi/pabrik. Ya, tentu ini jumlah yang luar biasa. Satu jenis tanaman yang memberikan peluang penghidupan.
Pada sektor on farm, angkanya lebih tinggi lagi. Tercatat telah melibatkan tenaga kerja kurang lebih mencapai 387.000 petani dan buruh tani tembakau dan cengkeh di seluruh sentra-sentra produksi tembakau di Jawa Timur.
Sedangkan untuk petani dan buruh tani khusus tembakau tercatat mencapai kurang lebih 279.000-an orang.
Sementara itu, di Madura saja diperkirakan mencapai 95.895 kepala keluarga. Entah berapa jumlahnya jika mereka bekerja bersama anak dan menantunya. (Tahun 2024 Belum ada data update)
Data di atas belum termasuk tenaga kerja yang ada pada sektor pendukung Industri Hasil Tambakau "IHT" yang meliputi distribusi dan retail yang sangat mungkin jumlahnya mencapai ribuan tenaga kerja. Tetapi ikhwal ini bukan sekedar pekerjaan bagi petani, melainkan sebuah energi yang menyambungkan nafas pada hari-hari tua.
Berikut saya uraikan juga hasil catatan yang didapat dari hasil diskusi saat saya pulang kampung setidaknya dalam satu tahun terakhir. Terkadang saya menyempatkan diri berkumpul dengan saudara dan teman-teman lama, terutama di Pamekasan dan Sumenep.
Dengan begitu, artikel ini tidak muncul hanya berdasar pemikiran saya sendiri, melainkan sebuah rangkuman data, dari petani, pabrik kecil, hingga menengah yang punya harapan dan keinginan yang sama pula. Yaitu adanya regulasi dan keberpuhakan.
Yang pertama dari sudut IHT, "industri hasil tembakau." Pemilik pabrik-pabrik kecil. Menurut mereka, mereka juga tidak mau menjual rokok tanpa pita alias "bodong." Mereka juga siap taat seperti pabrik besar, Gudang Garam dan Sampoerna. Asal ada kebijakan relaksasi berupa penurunan atau penyesuaian terhadap tarif Cukai, PPN dan PPH. Kebijakan yang membuat mereka punya cukup waktu berproses mengembangkan bisnisnya.
Kedua, dari sudut petani. Para petani tembakau merasa sebagai ujung tombak industri yang juga terpinggirkan dari radar kebijakan pemerintah.
Di balik gemuruh mesin pabrik rokok di Surabaya, Kediri, dan Jember, ada tangan-tangan kasar petani tembakau Madura yang memetik daun emas, dari ladang-ladang kering di Pamekasan, Sumenep, Bangkalan, dan Sampang, di mana keberadaan mereka tak pernah dikenal di panggung nasional, namun memiliki kontribusi nyata.
Mereka ikut menopang Rp216,9 triliun: Ini adalah total pendapatan cukai hasil tembakau yang diperoleh pada tahun 2024. Dari total angka itu, Jawa Timur menyumbang lebih setengahnya. Jatim memberikan kontribusi sekitar 55,73% dari total penerimaan DBH CHT nasional. Mungkin itu yang dimaksud "Ladang-Ladang Membayar Pajak Negara."
Tembakau bukan hanya sekedar komoditas, bukan hanya soal ekonomi. Kata mereka, "Tembakau lebih dari itu. Tembakau adalah warisan dan kebanggaan masyarakat Madura”. Ia mewarisi aroma peluh nenek moyang dengan kadar nikotin yang kuat.
Tembakau Madura menjadi campuran favorit pabrik rokok kretek tangan (SKT), salah satu jenis rokok yang masih menyerap banyak tenaga kerja dan berkontribusi besar terhadap angka pendapatan cukai negara.
Sayangnya, kaum petani merasa bahwa sumbangsih mereka terhadap pundi-pundi negara tidak dibarengi perlindungan. Harga tembakau kerap anjlok saat panen raya.
Tengkulak dan kartel pembeli kadang masih ada yang bermain harga. Petani merasa tidak memiliki posisi tawar. Ini masih menjadi masalah klasik yang belum mampu dibereskan.
Meski penerimaan cukai rokok dari Jawa Timur adalah yang terbesar di Indonesia, beberapa petani menimpali, "Ya pendapatan cukai memang tinggi, tetapi nasib kami tetap rendah." Uangkapan ini saya tulis sebagai pesan titipan petani. Mereka juga tahu bahwa di setiap tahunnya Cukai Hasil Tembakau selalu mengalami peningkatan.
Hal itu bisa dilihat dari Dana Bagi Hasil (DBH) Cukai Hasil Tembakau (CHT) terbesar di Indonesia. Pada tahun 2024 saja, DBH CHT yang diterima oleh pemerintah provinsi Jawa Timur mencapai Rp2,77 triliun, atau 55,73% dari total DBH CHT nasional.
Meski begitu, Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT), petani sering kali hanya kebagian sisa.
Sejak 2020, Pamekasan dan Sumenep mendapat kucuran DBHCHT miliaran rupiah tiap tahun. Sebagian besar dialokasikan untuk pengawasan rokok ilegal atau program kesehatan, bukan secara langsung masuk pada kantong petani yang menanam tembakaunya.
Celah ini membuat kesejahteraan petani tetap terasa jalan di tempat. Padahal kalau kita ambil satu contoh saja berdasarkan data dari Dinas Pertanian Sumenep, sekitar 21.000 hektare lahan pada tahun 2024 digunakan untuk penanaman tembakau.
Para petani berharap pada pemerintah tentang kebijakan yang lebih membumi. Ini persoalan keberpihakan.
Sebagian mereka berharap ada solusi berupa pembentukan koperasi petani tembakau berbasis desa. Apalagi jika program unggulan Presiden Prabowo segera realisasi dengan koperasi merah putihnya. Mereka punya keinginan memutus ketergantungan pada tengkulak.
Saya juga catat pesan dari petani tembakau tentang Pemanfaatan "DBHCHT" dianggap kurang tepat sasaran. Pembangunan gudang penyimpanan tembakau, alat pengering, dan pelatihan pascapanen. Bagi petani, program itu belum bisa dirasakan manfaatnya.
Ditambah lagi dengan penggunaan DBHCHT yang tidak transparan. Di tengah isu kesehatan yang makin kencang menekan industri rokok, posisi petani tembakau makin terjepit. Bagi petani, jika konsumsi rokok dikendalikan, maka diversifikasi komoditas dan perlindungan sosial bagi petani menjadi hal wajib.
Terakhir, saya ingin berpendapat tentang pentingnya keadilan untuk mereka yang menghidupi negeri. Petani tembakau Madura bukan pencari rokok, mereka pencari nafkah. Mereka bukan produsen racun, tapi penyedia bahan mentah yang menopang ekonomi negara.
Ketika negara memetik manisnya cukai, maka sudah seharusnya petani di ujung kebijakan juga merasakan manisnya hasil kerja keras mereka. Keadilan fiskal bukan hanya soal pembagian dana, tetapi soal memastikan bahwa setiap orang yang ikut menghidupi negeri ini termasuk petani tembakau Madura tidak ditinggalkan di barisan belakang, agar masyarakat Madura bisa sejahtera dengan "Tambang emas versi mereka sendiri."
***
*) Oleh : Mayjen TNI Dr. Farid Makruf, M.A, Tenaga Pengkaji Lemhannas RI.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |