TIMES MALANG, MALANG – Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Airlangga (FH UNAIR), Prof. Dr. Nur Basuki Minarno, turut soroti Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP). Ia menegaskan bahwa pembaruan hukum acara pidana di Indonesia tak cukup jika hanya bersifat teknis, tetapi juga harus mendasar dan sistemik.
Menurutnya, RKUHAP harus mampu menghadirkan sistem peradilan pidana terpadu (integrated criminal justice system) melalui pembagian kewenangan yang jelas dan sinergitas antar lembaga penegak hukum.
"Perlu diatur secara eksplisit pembagian kewenangan atau differensial fungsional antara kepolisian, kejaksaan, pengadilan, lembaga pemasyarakatan, dan advokat agar tidak terjadi tumpang tindih. Dengan kewenangan yang tegas, sinergitas antar sub-sistem bisa dibangun dalam kerangka koordinasi yang setara," ujar Prof. Basuki, Kamis (8/5/2025).
Menurutnya, pendekatan terhadap sistem peradilan pidana harus didesain sebagai satu kesatuan yang utuh, bukan fragmentaris. Pilihan terhadap pendekatan sistem secara otomatis meniscayakan hadirnya sub-sistem peradilan pidana yang kuat, yakni kepolisian, kejaksaan, pengadilan, lembaga koreksi, dan advokat.
"Masing-masing institusi itu harus memiliki distribusi kewenangan yang jelas dan tidak saling mendominasi, agar memungkinkan terjadinya koordinasi fungsional yang setara," ungkapnya.
Lebih jauh, Prof. Basuki menekankan bahwa dalam sistem hukum yang terintegrasi, setiap sub-sistem harus diposisikan sebagai “pengendali perkara” dalam domainnya masing-masing. Artinya, semua lembaga penegak hukum (Baik kepolisian sebagai penyelidik dan penyidik, kejaksaan sebagai penuntut, pengadilan sebagai pemberi keputusan, maupun advokat sebagai pendamping pencari keadilan) harus duduk setara secara fungsional.
"Koordinasi fungsional yang setara akan memastikan bahwa tidak ada satu institusi yang mendominasi proses. Tidak boleh ada intervensi lintas kewenangan. Setiap sub-sistem harus sadar pada batas perannya. Inilah prasyarat penting untuk membangun sistem peradilan pidana yang profesional dan akuntabel," terangnya.
Ia juga menyoroti pentingnya sistem pengawasan yang dibangun tidak hanya secara vertikal (dari atas ke bawah), tetapi juga secara horizontal antar sub-sistem penegak hukum. Menurutnya, pengawasan horizontal menjadi kunci untuk menciptakan mekanisme check and balance yang sehat di antara para penegak hukum.
"Batas kewenangan yang tegas akan mendorong munculnya mekanisme pengawasan horizontal. Ini sangat penting agar tidak terjadi penyalahgunaan wewenang (abuse of power), dan proses penegakan hukum berjalan secara adil dan proporsional," tuturnya.
Bahkan Prof. Basuki juga tidak sependapat apabila ideologi di dalam KUHAP berbentuk crime control model, tetapi lebih mendekati due process model. KUHAP telah menganut adanya prinsip akusator, yang dimana tersangka dipandang sebagai subjek pemeriksaan, bukan sebagai objek pemeriksaan.
Dalam konteks ini, Prof. Basuki menekankan bahwa keberadaan advokat sebagai bagian dari sub-sistem peradilan pidana harus diperkuat. Ia melihat bahwa advokat selama ini masih kerap dipinggirkan dalam proses awal penyidikan.
"RKUHAP harus menjamin hak pendampingan hukum sejak awal, agar posisi klien terlindungi. Ini bagian dari jaminan keadilan dan prinsip due process of law," imbuhnya.
Prof. Basuki menilai bahwa beban kerja kepolisian yang selama ini cukup berat dalam penyelidikan dan penyidikan tidak boleh semakin dibebani oleh ketidakjelasan kewenangan lembaga lain.
"Jika tidak ada pembagian tugas yang jelas, penyidikan bisa terganggu, keadilan bisa kabur. RKUHAP harus menghindari potensi konflik kewenangan antara polisi dan jaksa, misalnya dalam menetapkan siapa yang berwenang menilai kelengkapan berkas perkara," jelasnya.
Ia menganggap bahwa keberhasilan reformasi sistem peradilan pidana hanya akan terwujud apabila seluruh aktor hukum memiliki komitmen terhadap pendekatan sistem.
"Jangan ada ego sektoral. Keadilan restoratif, efisiensi proses, dan perlindungan hak asasi hanya bisa dicapai dalam sistem yang tertata, terkoordinasi, dan saling mengawasi," tandasnya. (*)
Pewarta | : Rizky Kurniawan Pratama |
Editor | : Ferry Agusta Satrio |