TIMES MALANG, MALANG – Presiden RI Prabowo Subianto resmi memberikan abolisi kepada mantan Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong (Tom Lembong) dan amnesti kepada mantan Sekjen PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto. Menanggapi hal ini, pakar hukum tata negara, Dr. Fahri Bachmid menyatakan bahwa langkah tersebut sesuai dengan konstitusi dan prinsip-prinsip keadilan.
Fahri menegaskan bahwa pemberian amnesti dan abolisi adalah hak konstitusional Presiden sebagaimana diatur dalam Pasal 14 ayat (2) UUD 1945. Kedua kebijakan itu, menurut Fahri, merupakan bentuk pengampunan yang diberikan Presiden, dengan syarat mempertimbangkan pendapat dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
“Amnesti merupakan penghapusan hukuman yang telah dijatuhkan, sedangkan abolisi menghapus proses hukum yang masih berjalan. Keduanya memiliki dasar hukum kuat, termasuk dalam Undang-Undang Darurat Nomor 11 Tahun 1954,” ujar Fahri, Sabtu (2/8/2025).
Ia menambahkan, meskipun amnesti dapat diberikan tanpa permohonan khusus, prosesnya tetap harus melalui prosedur yang melibatkan Sekretariat Negara dan DPR. Hal serupa berlaku bagi abolisi, meski pengajuannya memiliki syarat lebih spesifik, seperti status hukum terpidana saat pengajuan.
Fahri memandang kebijakan Presiden Prabowo ini didasarkan pada pertimbangan objektif dan mendalam, terutama menyangkut stabilitas nasional serta upaya mencegah perpecahan di masyarakat.
“Presiden tentu telah menghitung secara cermat aspek kepentingan negara yang lebih besar, demi menjaga kesatuan dan keadilan,” ungkapnya.
Ia juga menilai bahwa keputusan ini bukan sekadar kebijakan politis, melainkan bagian dari tradisi kenegaraan yang telah berlangsung sejak era Presiden Soekarno. Dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia, amnesti dan abolisi kerap digunakan sebagai instrumen hukum dan politik untuk menyelesaikan konflik serta mengoreksi ketidakadilan.
Beberapa preseden serupa yang pernah terjadi antara lain:
- 1959: Amnesti dan abolisi bagi pengikut DI/TII Kahar Muzakar.
- 1961: Pengampunan pelaku pemberontakan Daud Bereuh.
- 1977: Abolisi bagi pengikut Fretilin di Timor Timur.
- 1999: Amnesti bagi Budiman Sudjatmiko dan aktivis pro-demokrasi.
- 2019: Amnesti bagi Baiq Nuril, korban kriminalisasi UU ITE.
Fahri menekankan bahwa penggunaan instrumen ini harus dilihat sebagai bagian dari mekanisme ‘check and balance’ dalam sistem ketatanegaraan.
“Keterlibatan DPR dalam pemberian amnesti dan abolisi adalah bentuk kontrol legislatif yang penting agar Presiden tidak bertindak sewenang-wenang,” ucapnya. (*)
Pewarta | : Rizky Kurniawan Pratama |
Editor | : Ferry Agusta Satrio |