TIMES MALANG, MALANG – Malang populer dikenal sebagai salah satu kota pendidikan di Indonesia. Slogan itu, hampir dipakai menjadi “maskot” oleh banyak perguruan tinggi di kota dingin itu. Namun, nama kota pendidikan itu, kini mulai “tercemar” dengan praktik hubungan cinta terselubung yang dilakukan oknum mahasiswa yang sedang menimba ilmu, kuliah di Kota Malang.
Hasil investigasi TIMES Indonesia, yang dilakukan sebulan lamanya, telah menemukan praktik perilaku “haram” yang dilakukan oknum mahasiswa, yang ngekost atau kontrak rumah di beberapa kecamatan di Kota Malang.
Bermula dari sebuah rumah kontrakan, yang ada di salah satu kawasan perumahan di Kecamatan Lowokwaru, Kota Malang. Ada kehidupan pasangan mahasiswa dan mahasiswi, yang diam-diam menjalin cinta terselubung, yang dibalut dengan alasan adik kakak satu darah (keluarga) dan berkedok pasangan suami istri.
Sore itu, sekira pukul 15.27 WIB, Sabtu 5 Juli 2025, di sebuah rumah kontrakan yang tak begitu besar, dengan terdapat tiga kamar, satu ruang tamu, dilengkapi dengan kamar mandi dan dapur, pintunya tertutup.
Di dalam rumah kontrakan bercat warna putih itu, hidup empat pasang mahasiswa, layaknya kehidupan rumah tangga, pada umumnya. Di dalam rumah itu, seakan ada dunia kecil yang hidup satu nafas dan satu selera rasa dibalut cinta dan kepentingan sesaat.
Empat pasangan mahasiswa itu, yang tinggal di kontrakan di kawasan perumahan itu, adalah satu kehidupan “tirai cinta tertutup” yang menyatu dalam selimut kumpul kebo, yang ada di Malang. “Monggo mas masuk,” kata pria berinisial PR, salah seorang mahasiswa dan penghuni kontrakan itu.
Di rumah itu, kelengkapan bahan makanan dan minuman terlihat lengkap tersedia di lemari dapur. “Minum kopi atau teh mas?,” lanjut PR, setelah mempersilahkan TIMES Indonesia duduk di kursi sofa, di ruang tamu.
Berlanjut ngobrol panjang soal kehidupan mahasiswa di Malang. PR berkisah soal kondisi dirinya dan teman tidurnya, yang memiliki cita-cita dan kepentingan sama, selama menempuh proses kuliah, di salah satu perguruan tinggi negeri ternama, di Kota Malang.
“Kita hidup bersama satu rumah kontrakan ini, karena memiliki kesamaan cita-cita dan kepentingan. Biaya hidup kuliah, mulai makan dan minum sehari-hari, bisa diatasi dengan memasak di kontrakan. Tidak usah beli makan keluar. Biaya agak minim,” kata pria yang mewanti-wanti namanya tidak disebutkan.
Dengan berbagi biaya sewa, makan, dan listrik, hidup terasa lebih ringan. Namun, dibalik kenyamanan itu, diakui PR memang ada rasa cemas yang tak pernah padam. Jika orang tua berkunjung, aneka skenario pengungsian harus disiapkan. Supaya tidak diketahui pihak keluarganya.
“Yang bukan anaknya langsung ngungsi. Sementara waktu, harus numpang di kos teman-temannya,” aku PR, dengan pandangan mata menerawang jauh kedepan, seakan meratapi kondisi hidup yang selama ini dijalani bersama pacar tercintanya.
Diakui PR, empat pasang mahasiswa itu, sejak awal memang sudah saling kenal dan berteman. Walau berbeda kampus dan beda jurusan. Empat pasangan itu sudah saling sepakat untuk hidup bersama dalam satu rumah kontrakan dengan pasangan masing-masing.
“Sudah saling sepakat dan komitmen untuk tidak saling mengganggu, usil dan saling merahasiakan soal kehidupan masing-masing pasangan. Karena memang berpacaran. Saling mencintai. Tapi memang belum menikah,” katanya.
Empat pasangan itu, sama-sama menjalani hidup beraktivitas seperti mahasiswa pada umumnya. Tidur memang bersama satu kamar layaknya suami istri. “Masing-masing pasangan tidak saling ganggu. Saling menjaga privasi masing-masing. Tapi, tidak boleh ada yang sampai hamil. Itu harus dijaga betul,” akunya.
Fenomena kumpul kebo, hidup bersama tanpa ikatan pernikahan resmi, memang sudah menjadi rahasia umum di kota pelajar ini. Tidak hanya terjadi di rumah kontrakan di kawasan perumahan. Ada juga di rumah kontrakan di kampung, rumah kontrakan milik warga dan ada yang kos-kosan bebas.
Sewa Rumah di Perumahan Bisa Palsukan Dokumen
Bagi oknum pasangan kumpul kebo di Malang, tinggal di kawasan perumahan adalah dunia paralel yang penuh kebebasan. Hidupnya bisa merdeka tanpa ada ketentuan ketat dari lingkungan atau RT/RW setempat. Tak ada ibu kos yang mengetuk pintu tiba-tiba. Tak ada Satpam yang mengintai mengawasi setiap rumah.
Bahkan, sebagian oknum mahasiswa mengaku pernah memalsukan dokumen syarat untuk bisa kontrak rumah di perumahan. “Kita menyiapkan dokumen foto bareng, biar kelihatan foto kakak adik saudara kandung,” cerita PR.
Namun, untuk kontrakan rumah milik warga di perkampungan, memang sangat minim kontrakan yang bisa dipakai kumpul kebo. “Karena tidak bebas dan pasti diawasi oleh warga pemilik rumah. Termasuk juga diawasi oleh RT/RW setempat. Yang jelas bebas lah,” cerita PR, sembari menghisap rokok filter Mild kesukaannya.
Jika rumah kontrakan ada di kawasan perumahan, memang lumayan bebas. Kondisi di kawasan perumahan, sifatnya lebih individualis. Memang terlihat paling aman bagi mahasiswa. “Namun, jika perumahan elit, sangat ketat ketentuannya bisa ngontrak,” tambahnya.
Di kawasan atau lingkungan masyarakat di perumahan, memang cenderung acuh, tak peduli kondisi sekitarnya, minim interaksi sosial antar masing-masing penghuni. Pemilik rumah hanya mengurus uang sewa atau kontrak. “Tidak terlalu ketat syaratnya, siapa saja yang akan menempatinya. Asal bayar tidak telat sudah aman,” katanya.
“Di perumahan ini, para tetangga, nggak peduli rumah sebelah tinggal sama siapa. Bahkan antar penghuni, ada yang nggak pernah tukar sapa bertahun-tahun. Penghuni di perumahan ini sudah sibuk mengurus hidupnya masing-masing,” ujar PR, yang sudah tiga tahun tinggal bersama pacarnya, di rumah kontrakan tersebut.
PR juga mengaku tidak tahu kehidupan seperti yang dijalaninya akan bertahan dan berakhir sampai kapan. “Kami hanya mencari kebahagiaan. Tapi, kadang kalau malam hari, sedang sendirian, juga terlintas dalam pikiran saya, apa benar yang sudah saya jalani ini? Entahlah saya belum bisa memutuskan harus bagaimana,” katanya pasrah.
Fakta 31 Mahasiswa Kumpul Kebo di Rumah Kos
Data dari pihak Satpol PP Kota Malang, sudah ada 31 mahasiswa dan pasangan bukan suami istri, sudah terciduk dalam penggerebekan rumah kos, di Jalan Sigura-gura, Kecamatan Lowokwaru, Kota Malang. Penggerebekan itu berlangsung pada Kamis malam, 27 Februari 2025.
Lima wanita yang diamankan dalam Operasi Cipta Kondisi itu, diketahui telah melakukan open BO. Langkah tegas pemerintah Kota Malang, seluruhnya langsung dibawa ke kantor Satpol PP Kota Malang, untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut, dan langsung diserahkan ke Dinas Sosial untuk pembinaan lebih lanjut.
Operasi yang dilakukan Satpol PP Kota Malang itu, berawal dari laporan masyarakat yang resah dengan aktivitas penghuni di sebuah rumah kos, di Jalan Sigura-gura itu. Warga sudah curiga jika tempat tersebut memang sering digunakan untuk kumpul kebo oleh pasangan yang bukan suami istri.
Menurut Kepala Bidang (Kabid) Trantibum Satpol PP Kota Malang, Mustaqim, operasi dilakukan setelah ada laporan dari warga setempat. Dan pihaknya memang terus mengawasi dan aktif menindak tegas kos-kosan yang menjadi tempat kumpul kebo oknum mahasiswa. Namun, pihaknya belum melakukan penelusuran ke rumah kontrakan yang ada di lingkungan perumahan.
Atas kejadian tersebut, pihak Pemkot Malang sudah mengambil langkah tegas, memberikan sanksi tipiring, wajib lapor secara berkala ke kantor Satpol PP Kota Malang. Seluruhnya memang berstatus mahasiswa.
Razia untuk kasus tersebut, memang sudah dilakukan secara rutin oleh pihak Satpol PP Kota Malang. “Ada beberapa tempat yang menjadi sasaran. Masyarakat diharapkan juga super aktif melaporkan ke kami, jika ada kos-kosan atau kontrakan yang mencurigakan. Kami akan langsung bergerak,” tegas Mustaqim.
Satu Pasangan Kumpul Kebo Lahirkan Bayi dalam Diam
Kehidupan kumpul kebo antar oknum mahasiswa di Malang, tak hanya sekedar percintaan biasa-biasa saja. Tidak semua pasangan kumpul kebo aman, tidak diketahui oleh kedua orang tuanya. Ada beberapa yang hingga terlewat batas, tak terkendali, hingga hamil dan melahirkan bayi dengan sempurna.
“Saya dan pacar saya kebablasan. Sudah tak bisa menahan diri. Kandungan tak bisa digugurkan. Terpaksa saya harus melahirkan bayi yang ada dalam perut saya secara normal,” cerita NY, dengan suara bergetar, karena ingat sosok bayi dari darah dagingnya.
Pacar NY berinisial AF, yang kini sudah putus. Tak lagi hidup bersama dalam sebuah rumah kontrakan di sebuah perumahan. Kini, SR hidup sendiri di sebuah kamar kos di Malang. NY masih proses menyelesaikan kuliahnya, untuk menyandang sarjana.
NY berkisah, hidup bersama pacarnya, awalnya memang terasa indah, saling mencintai. Hidup bersama. Saling membantu dalam kebutuhan biaya hidup. Tapi, setelah mengetahui dirinya hamil, kegelisahan dan beban pikiran berat mulai datang. Rasa takut pada keluarga mulai menghantuinya.
Saat alat pendeteksi kehamilan alias test pack ada tanda merah. Pikirannya mulai kacau. Rasa emosi terus datang. Ketidakharmonisan dan saling menyalahkan antara NY dan AF mulai terjadi. “Pikiran sudah kacau. Saya sudah panik,” aku NY, mengenang.
NY dan AF memang sempat mencari cara untuk menggugurkan kandungan. “Saat itu saya panik. Nggak siap untuk melahirkan dan punya anak,” katanya dengan nada suara bergetar. Namun, upaya menggugurkan kandungan gagal. Dibawa ke dokter kandungan dan konsumsi obat sudah tidak bisa. Karena kandungannya sudah membesar.
Saat hamil tujuh bulan, NY harus meminta uang senilai Rp 35 juta, kepada orang tuanya di kampung halaman. Alasannya, uang itu untuk menyelesaikan administrasi kuliah dan keperluan tugas akhir di kampusnya. Tanpa curiga, pihak orang tuanya langsung memutuskan untuk menjual sebidang tanah miliknya, demi anak tersayangnya kuliah di Malang.
Setelah orang tua NY menjual tanah, uang senilai Rp 35 juta itu ditransfer ke salah satu rekening Bank milik SR. Uang itu yang digunakan SR untuk biaya proses persalinan. Lahirlah bayi dengan normal. Tanpa diketahui kedua orang tua SR dan ES. Bayi yang dilahirkan NY adalah bayi perempuan.
Setelah sukses melahirkan seorang bayi di sebuah rumah sakit ternama di Kota Malang, NY dan AF sepakat bayinya diserahkan kepada orang lain untuk diadopsi. Sudah disepakati untuk diasuh orang lain.
Bayi tersebut tidak boleh diambil lagi sampai kapanpun. NY dan AF tak boleh menemui bayinya lagi. Karena sudah diserahkan sepenuhnya untuk diasuh orang lain menjadi anaknya. “Semoga anak saya baik-baik saja dan jadi anak yang shalehah nantinya,” harap NY.
“Ini menjadi sejarah kelam hidup saya. Saya akan kubur dalam-dalam perjalanan hidup saya ini. Saya sudah melupakan pacar saya itu (AF). Tak akan pernah berkomunikasi lagi. Saya akan tata hidup saya dengan normal. Meminta ampun kepada Allah,” kata NY dengan nada suara lirih, meneteskan air mata.
Sementara itu, P yang ditemui di rumah kontrakannya mengaku tak tahu sampai kapan ia bisa bertahan dengan cara hidup seperti ini. “Kami cuma cari bahagia. Tapi kadang kalau malam mikir, apa ini benar? Entahlah,” katanya pelan.
Jiwa Sedih dan Kecewa Orang Tua Mahasiswa Kumpul Kebo
“Saya hanya ingin anak saya lulus kuliah tepat waktu. Bisa pulang menyandang Sarjana. Mendapatkan ilmu dari kuliah. Tapi apa daya, harapan itu sirnah,” kenang orang tua NY, yang berhasil ditemui TIMES Indonesia, di Malang, di sebuah cafe sederhana di wilayah Lowokwaru, Kota Malang.
Orang tua NY berinisial TS itu, berkenan diwawancarai, namun mewanti-wanti untuk tidak disebutkan nama dalam investigasi TIMES Indonesia. Ia juga tak berkenan disebut alamat kampung halamannya. TS hanya mau bercerita kondisi dirinya dan anaknya tersebut.
TS nekat ke Malang untuk menemui anaknya secara langsung. Namun, setelah tiba di sebuah kontrakan, yang selama ini ditempati NY, sudah tidak ditempatinya lagi. Pintu rumah kontrakan NY sudah terkunci, tak ada penghuninya. NY sudah menghindar, sudah kabur bersama pacar pacarnya AF. “Saya tidak tahu kabur kemana,” katanya sambil menangis.
NY kata TS, belum siap ketemu orang tuanya. Ia takut karena ketahuan hamil dan melahirkan bayi diluar nikah. “Yang lebih sakit di hati saya, uang Rp 35 juta itu dipakai untuk biaya melahirkan di rumah sakit. Padahal kami rela berkorban supaya dia bisa sukses jadi Sarjana,” kata sang ibu NY dengan nada emosi.
Kisah hidup kumpul kebo NY dan AF ini, hanyalah satu pasangan dari banyak cerita oknum mahasiswa lainnya, yang ada di Malang. Di balik tirai rumah kontrakan, di kawasan perumahan di Lowokwaru, Kota Malang, ada luka yang disembunyikan, ada keluarga yang patah hati menjadi sejarah kelam hidupnya semasa kuliah.
Hingga berita ini ditulis, TS belum juga mendapat kabar keberadaan anaknya NY. Ia masih belum siap memberikan kabar keberadaan dirinya kepada kedua orang tuanya. “Saya kuliah sambil kerja. Nanti kalau sudah mau wisuda, saya akan berkabar ke orang tua saya,” kata NY dikonfirmasi TIMES Indonesia, melalui sambungan pesan pendek.
Dari Kumpul Kebo, Hamil, Membuang Bayi hingga Digerebek Polisi
Fenomena kumpul kebo antar mahasiswa di Malang, memang sudah bukan hal baru. penemuan bayi di beberapa tempat di Kota Malang sering terjadi. Baik bayi yang masih hidup atau yang ditemukan dalam kondisi meninggal.
Data TIMES Indonesia mencatat, sepanjang dua tahun terakhir, untuk kasus penggerebekan oleh pihak kepolisian dan warga, sudah beberapa kali terjadi. Pasangan muda-mudi yang berstatus mahasiswa, tanpa ikatan pernikahan, hidup dalam satu rumah.
Di wilayah kecamatan Lowokwaru, warga sudah menggerebek rumah kontrakan yang dihuni oleh enam pasangan bukan suami istri. Enam pasangan itu, sudah diserahkan ke pihak kepolisian setempat. Bahkan, di wilayah Kecamatan Klojen, ada mahasiswi yang digerebek sudah dalam kondisi hamil.
“Tapi, penggerebekan sudah bukan jadi solusi. Mereka akan pindah ke tempat lainnya,” kata seorang Ketua RT, di kawasan Tlogomas.
Menurutnya, masalah oknum mahasiswa ‘kumpul kebo’ itu sudah seperti fenomena gunung es. Hanya terlihat sedikit di permukaannya. Padahal, di bawahnya jauh lebih besar.
“Jika ini dibiarkan, tak ada pengawasan ketat dari warga dan pemerintah Kota Malang, akan menodai Malang sebagai kota pendidikan,” kata Ketua RT, yang tak mau disebutkan namanya.
Untuk rumah kontrakan yang ada di kawasan perumahan, memang sulit pengawasannya. Seperti yang terjadi di wilayah Lowokwaru. Karena pemilik rumah tidak ada di tempat. Rumah yang dikontrakkan hanya aset dari pemilik, yang tidak semua tinggal di Malang. Bahkan bukan milik warga Kota Malang.
Di Lowokwaru, misalnya, warga pernah mendapati enam pasangan bukan suami istri tinggal dalam satu rumah. Mereka langsung diserahkan ke pihak kepolisian untuk dibina. Di Klojen, mahasiswa yang digerebek bahkan ada yang ketahuan sedang dalam kondisi hamil.
“Penggerebekan bukan solusi. Mereka hanya pindah ke tempat lain,” kata seorang ketua RT di kawasan Tlogomas. Menurutnya, masalah ini seperti fenomena gunung es: yang terlihat hanya sedikit, padahal di bawahnya jauh lebih besar.
Ahli Sosiologi: Terjadi Kumpul Kebo karena kontrol Sosial yang Hilang
Menurut Yulinda Nurul Aini, Peneliti dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), yang meneliti kohabitasi (hidup bersama tanpa pernikahan sah) di terbitkan di Jurnal Intelek Insan Cendikia. Dijabarkan bahwa fenomena kumpul kebo yang terjadi pada mahasiswa, erat kaitannya dengan lemahnya kontrol sosial di lingkungan mahasiswa tinggal.
“Lingkungan perumahan yang individualis membuat perilaku menyimpang sulit dideteksi. Di sisi lain, mahasiswa berada pada fase eksplorasi identitas dan emosi,” jelasnya.
Di balik tirai yang tertutup rapat itu, ditemukan ada banyak hati yang retak dan sakit hati dengan hubungan cinta yang dijalaninya. “Kita tidak boleh membiarkan fenomena ini dianggap biasa. Pendidikan harus menyentuh sisi moral, keluarga harus terlibat, dan lingkungan tidak boleh acuh,” jelas Yulinda.
Dalam teori social disorganization yang juga dijabarkan oleh Shaw & McKay, bahwa sangat relevan menggambarkan kasus ini. Ia menyebutkan bahwa masyarakat dengan kontrol sosial lemah, cenderung membiarkan perilaku yang melanggar norma.
“Jika tetangga saling acuh, jika pemilik rumah hanya peduli uang, maka ruang untuk penyimpangan akan terbuka lebar,” tulis Prof Robertus, dalam jurnal yang tulisnya.
Sementara itu, menurut Psikolog perkembangan, Dr Fitria Wulandari, fenomena kumpul kebo itu juga dipicu oleh beban akademik. Biaya hidup yang tinggi, dan rasa kesepian yang menyelimuti mahasiswa.
“Hidup bersama pasangan dianggap solusi praktis. Ada teman, ada yang berbagi beban, sekaligus masuk pada keintiman emosional,” jelasnya.
Namun, ia menegaskan bahwa dampak psikologis jangka panjang bisa berat, terutama jika sudah terjadi kehamilan atau konflik dalam kehidupannya.
Fakta yang terjadi di lingkungan padat kontrakan dan kosan di Kota Malang, warga di sekitar kosan dan kontrakan, memang banyak yang memilih tutup mata dan diam tak peduli apa yang dilakukan mahasiswa yang tinggal di dalam kosan dan kontrakan.
“Warga tak mau ikut campur apa yang dilakukan mahasiswa. Selama tidak mengganggu warga, dibiarkan saja. Memang kadang melihat ada pasangan berbeda-beda datang pergi. Ya, warga pura-pura nggak tahu saja,” aku Cindy Agustin, seorang ibu rumah tangga, di kawasan perumahan di wilayah Lowokwaru, Kota Malang. (*)
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Imadudin Muhammad |