TIMES MALANG, MALANG – Reshuffle kabinet selalu menghadirkan drama politik yang tak pernah sepi dari tafsir. Seperti panggung sandiwara, kursi para menteri digeser seolah papan catur yang sedang disusun ulang oleh pemain tunggal.
Presiden Prabowo, dalam langkah terbarunya, bukan hanya mengocok ulang kartu, melainkan mengguncang bangunan politiknya sendiri. Dari Kementerian Keuangan yang ditinggalkan Sri Mulyani hingga sejumlah pos strategis lain, publik dipaksa menatap sebuah pertanyaan yang lebih besar: ke mana arah kapal besar bernama Indonesia ini hendak dibawa?
Di permukaan, reshuffle sering dikemas sebagai koreksi. Seakan-akan ia adalah pisau bedah yang membersihkan luka. Namun di balik retorika itu, ada aroma politik yang lebih kental: kompromi, tarik-menarik kepentingan, hingga pembagian kue kekuasaan.
Apalagi Prabowo sejak awal pemerintahannya dikelilingi oleh harapan besar sekaligus keraguan yang tak kecil. Setiap janji tentang “kedaulatan pangan”, “pertahanan rakyat semesta”, hingga “ekonomi yang berdikari” kini harus diuji di lapangan. Dan reshuffle adalah tanda bahwa mesin belum berjalan sesuai rencana.
Publik tidak butuh drama politik yang memikat layar televisi. Publik hanya ingin bukti: harga beras yang tak melonjak, lapangan kerja yang terbuka, pendidikan yang tak dijadikan komoditas, kesehatan yang terjangkau tanpa harus menunggu belas kasihan asuransi negara. Namun justru di tengah keresahan itu, reshuffle menjadi pesta politik yang lebih banyak memuaskan elite ketimbang menjawab keresahan rakyat.
Bayangkan, ketika ekonomi global sedang bergejolak, kursi Menteri Keuangan justru dibiarkan kosong dalam kepastian yang kabur. Pasar merespons dengan kepanikan, rakyat pun menatap dengan kebingungan.
Di titik ini, kritik menjadi keniscayaan. Reshuffle bukan semata soal siapa masuk dan siapa keluar, tapi soal arah kebijakan yang ditentukan. Bila pergantian hanya lahir dari rasa tidak puas pribadi presiden, atau sekadar kompromi politik agar partai koalisi tetap patuh.
Maka sesungguhnya yang dipertaruhkan bukan hanya wajah kabinet, melainkan masa depan bangsa. Apa artinya mengganti menteri jika program pangan masih timpang, jika energi hijau masih jadi retorika, jika pendidikan tetap terjebak dalam korupsi dan komersialisasi?
Kinerja kabinet selama seratus hari pertama Prabowo memang masih bercampur warna. Ada gebrakan populis yang mendongkrak citra, tapi juga ada langkah zig-zag yang membingungkan.
Ketika reshuffle terjadi, publik menaruh harapan bahwa setidaknya ada perbaikan serius. Namun harapan itu mudah berubah jadi sinisme jika yang muncul hanya wajah-wajah kompromi politik.
Rakyat tentu tak lupa, sejarah Orde Baru pernah menjadikan reshuffle sebagai alat mempertahankan kekuasaan, bukan memperbaiki pelayanan publik. Apakah kini sejarah hendak diputar ulang?
Dampak program ke depan menjadi titik paling krusial. Kabinet yang baru ini dituntut bukan sekadar menunjukkan kesetiaan kepada presiden, tapi juga kompetensi dan integritas. Misalnya di sektor ekonomi, publik menuntut stabilitas harga kebutuhan pokok, bukan hanya grafik makro yang indah di laporan.
Di sektor pendidikan, rakyat menunggu kebijakan yang melawan komersialisasi dan korupsi, bukan sekadar jargon “merdeka belajar” yang dikhianati oleh praktik kotor di lapangan. Di sektor pertahanan, rakyat ingin keamanan yang melindungi, bukan hanya unjuk kekuatan militer yang menyedot anggaran.
Reshuffle kali ini pada akhirnya menjadi ujian politik. Ujian bagi Prabowo apakah ia benar-benar pemimpin yang mendengar kritik rakyat, atau sekadar pemain yang piawai merangkai kompromi.
Ujian bagi partai politik apakah mereka masih punya nurani untuk mendorong kader terbaik, atau hanya sibuk berebut kursi. Dan ujian bagi rakyat, apakah kita tetap bersuara lantang menuntut perbaikan, atau pasrah menonton drama tanpa ikut mengintervensi jalannya cerita.
Demokrasi hanya bisa tumbuh jika reshuffle tidak berhenti pada pergantian wajah, tetapi melahirkan perubahan nyata. Jika kabinet baru kembali gagal, maka reshuffle hanyalah ritual pengulangan, sekadar menukar pemain dalam drama yang naskahnya tetap sama: kekuasaan demi kekuasaan.
Sementara itu, rakyat akan tetap berada di tribun penonton, menunggu kapan pertunjukan ini benar-benar menghadirkan akhir yang menyejukkan, bukan sekadar babak baru yang penuh kegaduhan.
Reshuffle adalah cermin: ia bisa menunjukkan niat tulus atau sekadar ambisi. Dan dari cermin itu, kita bisa melihat jelas: bangsa ini tidak butuh panggung sandiwara, tapi kerja nyata.
Rakyat bukan boneka yang hanya bisa bertepuk tangan; rakyat adalah pemilik sah negeri ini, yang sabarnya bisa habis jika janji-janji hanya tinggal janji.
***
*) Oleh : Thaifur Rasyid, S.H., M.H., Praktisi Hukum.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |