TIMES MALANG, JAKARTA – Keberhasilan ibadah puasa orang muslim pada bulan Ramadhan kerapkali diibaratkan seperti puasanya ulat saat menjadi kepompong, hingga kemudian bermetamorfosis menjadi seekor kupu-kupu. Bukan seperti puasanya ular yang hanya mengganti kulitnya, kemudian ukurannya menjadi besar, namun tidak mengubah sifat parasitnya sebagai ular.
Seekor ulat, saat menjadi ulat sifatnya parasit terhadap tanaman atau tumbuhan. Ulat memakan dedaunan dan pucuk-pucuk tanaman yang masih muda. Membuat tanaman dan tumbuhan menjadi rusak. Lalu mereka bermetamorfosis menjadi kepompong. Selama dalam proses menjadi kepompong, mereka berpuasa tidak makan atau pun minum. Hingga berubah menjadi seekor kupu-kupu.
Awalnya saat masih ulat, berbulu, menakutkan dan terkadang membuat orang jijik melihatnya. Begitu menjadi kupu-kupu, dari tampilan fisik memiliki sayap yang indah dan bisa terbang. Selain itu setelah menjadi kupu-kupu, juga tidak memakan daun tanaman atau pun tunas muda tumbuhan lagi, melainkan menghisap nektar pada bunga, sekaligus banyak membantu penyerbukan benang sari ke putik bunga tanaman dan tumbuhan hingga kemudian menjadi buah. Yang artinya, semula dari sifatnya parasit dan destruktif, berubah menjadi mutualisme dan konstruktif terhadap tumbuhan dan tanaman.
Seorang muslim idealnya setelah menjalani puasa, memang seperti gambaran bagaimana transformasi seekor ulat dari kepompong lalu menjadi kupu-kupu. Karena sebagaimana dari Abu Hurairah RA., Rasulullah SAW pernah bersabda: "Barangsiapa yang berpuasa di bulan Ramadhan karena iman dan keikhlasan, maka akan terlepas dari dosa-dosanya sehingga menjadi bersih kembali seperti bayi yang baru dilahirkan dari rahim ibunya" (HR. Bukhari dan Muslim).
Namun tentu metaformosis pasca puasa umat muslim, tidak sebatas terhenti pada bersih dari dosa dan kembali seperti bayi yang baru lahir. Karena layaknya anak bayi yang harus tumbuh, juga harus tumbuh menjadi pribadi baru yang lebih baik setelah Idul Fitri.
Yaitu ditandai dengan terjadinya sebuah perubahan secara keimanan menjadi kokoh, fisik menjadi lebih sehat, mental menjadi kuat, secara jiwa menjadi lebih jernih, dan hati menjadi suci. Yang tergambar dari pribadinya menjadi lebih menyenangkan, akhlaknya membuat nyaman, lebih berkarakter, terpancar ketulusan dari wajahnya, dan terpancar keikhlasan dari dalam hatinya.
Hari Raya Idul Fitri dan Kemenangan
Bagi umat Islam, Hari Raya Idul Fitri kerap diidentikkan sebagai hari kemenangan, karena telah menyelesaikan ibadah yang penuh tantangan, yaitu puasa Ramadan. Umat Islam dianggap telah meraih kemenangan, setelah sebulan menjalani ibadah puasa dan melalui berbagai ujian, baik secara fisik maupun spiritual.
Sejatinya, puasa bukan sebatas menahan lapar dan haus, namun juga melatih diri untuk mengendalikan hawa nafsu, meningkatkan keimanan dan ketakwaan, menjauhkan diri dari godaan duniawi, meningkatkan kesabaran, dan memperbanyak ibadah.
Dalam sejarah umat Islam, Hari Raya Idul Fitri disebut sebagai hari kemenangan, juga merujuk kepada dua peristiwa besar atas kemenangan umat Islam. Yaitu pertama, keberhasilan Rasulullah dalam mengubah tradisi kaum Arab jahiliyah yang mempunyai dua hari raya dan dirayakan sangat meriah di setiap tahunnya untuk pesta, diisi dengan mabuk-mabukan dan menari, dengan hari raya Idul Fitri dan Idul Adha.
Dalam kitab ‘Risalah fil Aqaid’ dijelaskan Hadratussyekh Muhammad Hasyim Asy’ari (juz 3: 68), dua hari yang setiap tahunnya digunakan pesta pora kaum jahiliyah itu disebut hari Nairuz dan Marjaan. Setelah turunnya kewajiban puasa Ramadhan, Rasulullah SAW kemudian menggantinya dengan hari raya Idul Fitri dan Idul Adha. Dengan tujuan agar umat Islam mempunyai tradisi lebih baik dan sejalan dengan syariat Allah SWT.
Adapun kedua, tidak terlepas juga dari awal mula dilaksanakannya hari raya Idul Fitri pada tahun ke-2 Hijriah. Dimana saat itu bertepatan dengan kaum muslimin baru saja berhasil memenangkan pertempuran besar pertama melawan kaum Quraisy di perang Badar. Dengan pasukan hanya berjumlah 313 menghadapi pasukan Quraisy dari Mekkah berjumlah 1.000 orang.
Kemenangan itu pun menjadi sejarah di balik perayaan Idul Fitri dan perjuangan para sahabat dalam meraih kemenangan memperjuangan agama Islam di Mekkah. Secara tidak langsung, pada momen itu umat Islam sekaligus merayakan dua kemenangan, yaitu kemenangan telah berhasil berpuasa selama satu bulan dan kemenangan dalam perang badar.
Yang menarik begitu selesai perang Badar, diriwayatkan oleh Jabir RA., "Datang kepada Rasulullah SAW., orang yang baru selesai berperang. Lalu Rasulullah SAW. berkata: "Kalian menuju ke tujuan yang terbaik. Kalian menuju dari jihad (perang) yang lebih kecil menuju jihad (perang) yang lebih besar.” "Mereka bertanya: "Apa itu jihad (perang) yang lebih besar?" Nabi menjawab: "Perjuangan seorang hamba melawan hawa nafsunya." (HR. Baihaqi).
Pribadi Baru yang Terus Menumbuhkan Kebaikan
Selama satu bulan penuh umat muslim kemarin menjalani puasa di bulan Ramadhan. Telah banyak melakukan proses ritual kebaikan, baik spiritual maupun sosial. Telah merajut kembali hubungan baik dengan Allah SWT (hablum minallah) dan hubungan baik dengan sesama (hablum minannas).
Selama berpuasa melakukan berbagai ibadah spiritual seperti shalat tarawih, tadarus, dzikir, dan iktikaf. Juga berbagai ibadah sosial seperti bersedekah, berbagi takjil, memberi hadiah, menunaikan zakat fitrah, dan menjalin hubungan silaturahmi.
Kebaikan-kebaikan yang telah dibangun selama bulan Ramadan itu, idealnya tidak sekadar dipertahanlan, namun selayaknya harus menjadi standar kebaikan yang perlu ditingkatkan di bulan Syawal setelah lebaran. Terlebih sebenarnya secara makna, kata ‘syawal’ adalah ‘peningkatan’.
Sehingga ‘bulan Syawal’ bisa diartikan sebagai ‘bulan peningkatan’. Yaitu peningkatan dalam ibadah, peningkatan kualitas diri, dan peningkatan dalam semua hal baik yang telah dilakukan sepanjang bulan Ramadan. Dengan demikian, buah dari proses menjalani puasa benar-benar menjadikan pribadi baru yang mampu terus menumbuhkan kebaikan.
Sayyidina Ali bin Abi Thalib RA., pernah berkata, “Siapa yang hari ini lebih baik daripada hari kemarin, maka dialah orang beruntung. Siapa yang hari ini sama dengan hari kemarin, maka dialah orang tertipu. Siapa yang hari ini lebih buruk daripada hari kemarin, maka dialah orang yang terlaknat.”
Tentulah jika itu bisa dilakukan, maka akan menjadi orang yang bisa dikategorikan sebagai berutung seperti yang disebut oleh Sayyidina Ali ra. Karena orang yang hari ini lebih baik daripada hari kemarin, dialah orang beruntung. Meski tidak dipungkiri, bukan perkara mudah hal itu bisa dilakukan. Namun bukan berarti, tidak bisa dilakukan.
Niat dan Tekad yang Kuat
Adalah niat dan tekad, di sini kemudian bisa dijadikan sebagai kunci untuk tumbuh menjadi pribadi baru yang lebih baik pasca lebaran. Karena tidak bisa dipungkiri, niat memiliki kekuatan luar biasa untuk meneguhkan diri dalam beramal.
Sebagaimana ketika akan berpuasa, banyak di antara umat muslim yang semula ragu apakah akan mampu sehari penuh tidak makan dan minum, sekaligus menghindari semua hal yang membatalkan. Namun berkat niat berpuasa, seakan menambah kekuatan dalam menahan semua godaan yang bisa membatalkan.
Prof. Nasaruddin Umar menjelaskan, jika hadist mutawatir dari Rasulullah SAW menjadi panduan utama dalam memahami kekuatan niat. Rasulullah SAW bersabda, “innama al-a’mal bi al-niyat” yang artinya, “sesungguhnya nilai amal itu ditentukan oleh niat”.
Esensi dari hadist ini menurut Prof. Nasaruddin, memperingatkan bahwa setiap perbuatan tanpa niat yang benar adalah sia-sia. Perspektif itu kemudian juga tercermin dalam ilmu fikih, khususnya dalam ajaran Imam al-Syafi’i, yang mengharuskan adanya niat sebagai bagian integral dari ibadah.
Lebih lanjut, Prof. Nasaruddin menjelaskan, jika konsep niat merupakan bagian dari inti setiap tindakan manusia. Niat bukan sekadar langkah awal, tetapi juga fondasi dari penciptaan kedua yang melibatkan implementasi nyata. Dalam konteks agama, niat dianggap sebagai penciptaan pertama, sementara implementasinya adalah penciptaan kedua.
Idealnya orang Islam, dijelaskan Prof. Nasaruddin, melakukan amal perbuatan dengan merenungkannya dua kali: pertama dalam niat atau perencanaan, dan kedua dalam tindakan nyata.
Di sisi lain, konsep niat menurutnya juga dapat diartikan sebagai sebuah programming atau perencanaan dalam bahasa manajemen. Di dunia modern, manajemen vektor keberhasilan seringkali juga ditentukan oleh seberapa baik suatu pekerjaan diprogram. Tanpa perencanaan yang matang, hasil yang diharapkan sulit dicapai. Analogi ini turut menciptakan jembatan antara ajaran agama dan prinsip manajemen kontemporer.
Itulah mengapa, Prof. Nasaruddin Umar mengingatkan, segalanya harus berakar dari niat yang baik. Kekuatan niat bukan hanya mengubah tindakan kita, tetapi juga menciptakan dimensi ilahi dalam setiap karya manusia. Atau dalam istilah manajemen kontemporer, niat yang baik menjadi jaminan output dan outcome yang lebih baik. Niat yang baik, menciptakan mental pekerja keras dan kinerja yang baik.
Kunci kedua adalah tekad yang kuat (‘azimah). Para ulama mendefinisikan ‘azimah sebagai suatu kekuatan batin yang kokoh untuk melakukan suatu kebaikan atau mencapai suatu tujuan mulia. Dengan penuh keyakinan dan keteguhan hati, tanpa mudah goyah oleh rintangan atau halangan.
Menjadi pribadi baru yang lebih baik pasca lebaran harus juga diiringan dengan tekad yang kuat. Karena selepas bulan Ramadhan, godaan untuk kembali kepada kebiasaan lama yang tidak baik atau bahkan buruk, jauh lebih besar. Selama Ramadhan penuh ujian manusia datang dari nafsunya sendiri, karena setan-setan dibelenggu.
Sebagaimana Rasulullah SAW, bersabda, “Jika bulan Ramadhan datang, maka pintu-pintu surga dibuka, pintu-pintu neraka ditutup, dan setan-setan dibelenggu." (HR. Muslim). Adapun selepas Ramadhan, setan-setan dilepaskan dari belenggunya dan kembali bebas menggoda manusia untuk menjerumuskan kepada maksiat dan dosa.
Di sinilah kemudian menjadi penting untuk mengiringi niat dan tekad, juga dengan terus berdoa dan meminta pertolongan kepada Allah SWT agar senantiasa dijaga dalam kebaikan. Karena sebagaimana sebuah pesan bijak dikatakan, bahwa usaha melakukan kebaikan tanpa diiringi doa adalah bentuk sebuah kesombongan. Adapun doa baik tanpa diusahakan adalah sia-sia.
***
*) Oleh : Rochmad Widodo, Founder Penerbit Biografi Indonesia dan Aktif sebagai Penulis Biografi Tokoh-tokoh Nasional.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |