TIMES MALANG, LAMONGAN – Alam hukum Indonesia, dibuat gempar dengan ditangkapnya oknum hakim yang menerima suap 60 M, angka sangat sangat fantastis untuk ukuran negara dengan masyarakat yang kehidupannya masih masih banyak di bawah standar kehidupan layak.
Bunyi kepala (irah-irah) putusan hakim dalam setiap memutuskan perkara adalah "Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa", tampaknya hanya sekedar formalitas verbal, dan pesan pentingnya belum dan atau tidak menjadi darah dagingnya dalam meutuskan suatu perkara.
Di luar itu, dalam struktur sosial dan hukum modern, hakim menempati posisi yang sangat mulia. Mereka bukan sekadar aparatur negara, tetapi simbol keadilan dan kebenaran.
Dalam banyak tradisi, termasuk dalam pemahaman religius, hakim dianggap sebagai “wakil Tuhan di atas permukaan bumi”, mereka yang diberi amanah untuk menegakkan keadilan sebagaimana kehendak Ilahi.
Namun, apa yang terjadi ketika hakim tidak lagi berjalan di atas jalan Tuhan? Ketika palu keadilan digunakan bukan untuk menegakkan kebenaran, melainkan untuk melanggengkan kepentingan pribadi atau kekuasaan?
Realitas hukum di banyak negara, termasuk Indonesia, memperlihatkan wajah paradoksal dari lembaga peradilan. Di satu sisi, sistem hukum berdiri sebagai benteng terakhir dalam menjaga hak asasi manusia, menyelesaikan sengketa secara adil, dan menjadi penjaga konstitusi.
Namun di sisi lain, kita juga menyaksikan bagaimana lembaga peradilan justru menjadi arena praktik transaksional, suap-menyuap, hingga mafia peradilan yang menyentuh ruang-ruang terdalam proses pengambilan keputusan.
Hakim yang seharusnya menjadi representasi tertinggi dari moral, integritas, dan keberpihakan terhadap keadilan, kerap kali justru terjerat dalam skandal korupsi dan penyalahgunaan wewenang.
Mereka yang duduk di kursi pengadil dengan mengenakan toga hitam dan palu di tangan, nyatanya tidak selalu mendengar suara nurani atau bisikan keadilan. Sebagian dari mereka justru lebih tunduk pada amplop, tekanan politik, atau janji promosi jabatan.
Ketika seorang hakim menyimpang dari jalan Tuhan, maka kerusakan yang ditimbulkan tidak hanya bersifat individual, tetapi sistemik. Putusan yang korup bukan hanya menciderai pihak yang dirugikan, tetapi juga merusak kepercayaan publik terhadap hukum itu sendiri.
Masyarakat kehilangan harapan, dan akhirnya memilih jalan kekerasan atau main hakim sendiri karena merasa bahwa keadilan formal tidak lagi bisa diandalkan.
Seorang hakim yang tidak mengikuti jalan Tuhan berarti ia telah mencabut nilai-nilai utama dari keadilan itu sendiri: kejujuran, keberanian moral, kesetaraan, dan kasih sayang.
Dalam konteks religius, setiap keputusan yang diambil seorang hakim seharusnya menjadi cerminan dari keadilan Tuhan—yang tidak memihak pada kekuasaan atau kekayaan, tetapi pada kebenaran sejati. Ketika prinsip itu ditinggalkan, maka hukum berubah menjadi alat kekuasaan, bukan pelindung kebenaran.
Mengapa penyimpangan ini bisa terjadi? Jawaban utamanya adalah karena sistem dan karakter. Banyak hakim masuk ke dunia peradilan dengan idealisme tinggi, namun pelan-pelan dikikis oleh budaya birokrasi, tekanan politik, atau ketamakan pribadi.
Di sisi lain, sistem hukum kita sering kali belum memberikan mekanisme pengawasan yang ketat dan transparan. Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung sebagai pengawas internal kerap dinilai tidak cukup kuat untuk mengawasi perilaku hakim secara menyeluruh.
Selain itu, ada masalah dalam pendidikan hukum yang terlalu menekankan pada aspek teknis dan formalistik, namun abai terhadap dimensi etis dan spiritual dari profesi hakim.
Seorang hakim tidak cukup hanya memahami pasal demi pasal, tetapi ia harus memiliki keberanian moral untuk membuat keputusan yang adil bahkan ketika itu bertentangan dengan arus kekuasaan.
Dalam kitab-kitab suci dan ajaran keagamaan, kita selalu diajarkan bahwa keadilan adalah pilar utama kehidupan bermasyarakat. Dalam Islam, misalnya, Allah memerintahkan untuk berlaku adil bahkan kepada orang yang dibenci.
Dalam Kekristenan, Yesus menekankan kasih dan kejujuran sebagai inti dari hidup bermoral. Ajaran-ajaran ini seharusnya menjadi roh dalam setiap putusan hakim. Tanpa roh ini, hukum akan kering, kosong, dan mudah dimanipulasi.
Namun, penting juga untuk menekankan bahwa tidak semua hakim menyimpang. Masih banyak hakim yang bekerja dalam senyap, dengan integritas tinggi dan keteguhan moral luar biasa.
Mereka inilah yang harus mendapat dukungan, perlindungan, dan pengakuan dari publik. Karena di tengah krisis moral dalam dunia peradilan, masih ada lentera-lentera keadilan yang menyala, meski kecil, namun memberi harapan.
Urgensi Kontrol Publik
Posisi Hakim sangat penting dalam negara hukum, penyimpangan dalam memutus perkara oleh Hakim, akan berdampak kepada hilangnya kepercayaan publik dalam menyelesaikan suatu perkara yang terjadi.
Kekuatiran yang dimungkinkan terjadi adalah lahirnya pengadilan jalanan (street justice) oleh publik, dengan assumsi bahwa pengadilan formal oleh negara sudah lumpuh dan tidak mampu lagi memberikan keadilan kepada para pencari keadilan.
Solusi untuk mengatasi krisis ini harus dimulai dari pembenahan sistem rekrutmen, pendidikan, dan pengawasan hakim. Seleksi hakim harus memperhatikan aspek integritas, bukan hanya kemampuan akademik. Pendidikan calon hakim harus memasukkan dimensi moral dan spiritual, bukan sekadar hukum positif.
Pengawasan terhadap perilaku hakim harus diperkuat dengan partisipasi masyarakat, media, dan lembaga-lembaga independen. Selain itu, publik juga harus aktif mengawal proses peradilan. Kita tidak bisa menyerahkan sepenuhnya urusan keadilan kepada hakim, lalu diam saat terjadi penyimpangan.
Masyarakat berhak untuk bersuara, untuk mengkritik, dan untuk menuntut transparansi dalam setiap proses hukum. Di era digital saat ini, kontrol publik menjadi alat penting dalam menjaga integritas lembaga peradilan.
Tegasnya, ketika hakim sebagai wakil Tuhan tidak mengikuti jalan Tuhan, maka yang runtuh bukan hanya putusan pengadilan, tetapi juga moralitas masyarakat. Namun ini bukan akhir, melainkan awal dari kesadaran bahwa keadilan harus diperjuangkan setiap hari.
Perjuangan itu tidak hanya ada di ruang sidang, tetapi di setiap ruang kehidupan kita di sekolah, di media, di keluarga, dan di hati nurani kita masing-masing.
***
*) Oleh : Anshori, Dosen Fakultas Hukum Universitas Billfath Lamongan.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |