https://malang.times.co.id/
Opini

Era Baru Pemberantasan Korupsi

Rabu, 07 Mei 2025 - 16:01
Era Baru Pemberantasan Korupsi Ahmad Fizal Fakhri, S.Pd., Assistant Professor at Uinsa, Activist, Media Team of Uinsa Postgraduate Program

TIMES MALANG, SURABAYA – Revisi terhadap wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali menjadi sorotan publik setelah muncul interpretasi bahwa KPK tidak lagi memiliki kewenangan untuk menangkap petinggi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dengan alasan mereka bukan termasuk “penyelenggara negara”. 

Dalih hukum ini muncul pasca putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menafsirkan ulang definisi subjek hukum dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. Dampaknya, ruang lingkup kerja KPK sebagai lembaga pemberantas korupsi paling kredibel di negeri ini menjadi semakin terbatas.

Argumen bahwa direksi atau petinggi BUMN bukanlah penyelenggara negara patut dipertanyakan. Bagaimanapun juga, BUMN adalah entitas bisnis milik negara. Seluruh kekayaan BUMN merupakan kekayaan negara yang dipisahkan, dan pengelolaannya tetap berada dalam lingkup kepentingan publik. 

Ketika seseorang diangkat menjadi direktur utama atau komisaris utama BUMN, ia tidak hanya menjalankan fungsi korporasi, melainkan juga fungsi sosial dan politis atas nama negara. 

Oleh karena itu, posisi tersebut memiliki tanggung jawab publik yang sangat tinggi dan harus tunduk pada prinsip transparansi dan akuntabilitas yang sama dengan pejabat negara lainnya.

Pembatasan wewenang KPK untuk menyentuh petinggi BUMN membuka ruang abu-abu yang bisa dimanfaatkan oleh aktor-aktor koruptif. Selama ini, tidak sedikit kasus besar korupsi yang melibatkan petinggi BUMN, mulai dari Jiwasraya, Asabri, hingga Garuda Indonesia. 

Tanpa kewenangan KPK yang kuat, potensi penyelewengan di tubuh BUMN hanya akan semakin menggurita. Jika penegakan hukum hanya diserahkan kepada kepolisian atau kejaksaan, maka kekhawatiran akan politisasi dan intervensi sangat mungkin terjadi. KPK dibentuk sebagai lembaga independen justru untuk menambal kelemahan institusi penegakan hukum konvensional.

Opini bahwa KPK tidak boleh menangkap petinggi BUMN karena mereka bukan "penyelenggara negara" juga bertentangan dengan semangat pemberantasan korupsi itu sendiri. Dalam banyak kasus, tindakan korupsi dilakukan oleh mereka yang berada dalam posisi strategis, termasuk di sektor korporasi milik negara. 

Jika pembatasan ini diterapkan secara rigid, maka akan banyak pelaku korupsi yang lolos dari jerat hukum hanya karena status formal jabatannya berada di luar tafsir sempit "penyelenggara negara".

Lebih jauh lagi, keputusan seperti ini menciptakan preseden yang berbahaya dalam sistem hukum kita. Ia memperlemah semangat reformasi dan mengaburkan batas antara tanggung jawab publik dan kepentingan pribadi. 

Padahal, prinsip utama dalam demokrasi modern adalah bahwa siapa pun yang mengelola kekayaan negara, terlepas dari status administratifnya, harus dapat diawasi dan diadili jika menyalahgunakan kekuasaannya.

Sebagian pihak berpendapat bahwa langkah ini adalah upaya untuk memperjelas batas wewenang KPK dan menghindari kriminalisasi terhadap pelaku bisnis. Namun, pendapat ini mengabaikan konteks khas Indonesia di mana keterkaitan antara politik, bisnis, dan kepentingan negara sangat kompleks. 

Di negara seperti Indonesia, di mana BUMN memiliki peran dominan dalam perekonomian nasional, mengisolasi BUMN dari pengawasan KPK sama saja dengan mencabut sebagian gigi lembaga anti-rasuah tersebut.

Apalagi, saat ini publik tengah kehilangan kepercayaan terhadap lembaga-lembaga negara yang dianggap semakin jauh dari nilai-nilai integritas. Pembatasan kewenangan KPK ini justru memperparah krisis kepercayaan itu. 

Di satu sisi, pemerintah gencar berbicara soal good governance dan akuntabilitas, tapi di sisi lain, aturan hukum malah melemahkan upaya penegakan integritas.

Sudah saatnya masyarakat bersuara lantang menolak segala bentuk pelemahan terhadap KPK. Pemerintah dan DPR harus merevisi kembali aturan-aturan yang multitafsir dan berpotensi menjadi celah bagi korupsi. 

Bila perlu, definisi tentang “penyelenggara negara” dan siapa saja yang menjadi subjek hukum korupsi harus diperluas secara eksplisit dalam Undang-Undang agar mencakup seluruh pejabat publik, termasuk mereka yang bekerja di BUMN, BUMD, dan anak perusahaan negara.

KPK juga perlu mengajukan judicial review terhadap tafsir hukum yang membatasi ruang geraknya. Lembaga ini tidak boleh dibiarkan terkungkung oleh batasan semu yang tidak mencerminkan realitas korupsi di lapangan. 

Korupsi di BUMN bukanlah fiksi ia nyata dan merugikan negara triliunan rupiah. Tidak ada alasan logis atau etis yang bisa membenarkan penghilangan wewenang KPK dalam menangani pelaku korupsi di lingkungan BUMN.

Dalam demokrasi yang sehat, penguatan lembaga pengawas seperti KPK seharusnya menjadi prioritas utama. Bukan sebaliknya dibatasi dengan argumentasi legalistik yang sempit dan tidak berpihak pada kepentingan rakyat. 

Maka, jika kita benar-benar ingin menjadikan Indonesia bersih dari korupsi, kita harus menolak segala bentuk pembatasan yang tidak masuk akal terhadap KPK. 

Keadilan tidak boleh dikalahkan oleh status administratif. Siapa pun yang menyalahgunakan kekayaan negara, baik itu menteri maupun direktur BUMN, harus bisa dijerat hukum secara setara.

***

*) Oleh : Ahmad Fizal Fakhri, S.Pd., Assistant Professor at Uinsa, Activist, Media Team of Uinsa Postgraduate Program.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Malang just now

Welcome to TIMES Malang

TIMES Malang is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.